Memaknai Hari Ulang Tahun
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Senin, 22 Juni 2015 . in Rektor . 11545 views

Saya sering menerima undangan perayaan atau pesta hari ulang tahun dari kolega atau pejabat. Ada yang bisa saya hadiri, dan ada pula yang gagal karena waktu bersamaan dengan kegiatan lain yang tidak bisa saya tinggalkan.  Suatu kali saya menghadiri perayaan ulang tahun seorang kawan, yang kebetulan menjadi pejabat negara, karena ada waktu longgar. Saya sengaja datang bersama istri, sambil melihat apa saja yang dilakukan  di acara tersebut dan apa maknanya. Maklum, saya sendiri belum pernah sekalipun merayakan ulang tahun hari kelahiran. Maklum saya orang desa, dan tidak mengenal hajatan semacam itu. Tetapi yang saya tahu orangtua saya sering mengadakan selamatan kecil-kecilan dengan mengundang tetangga kanan kiri rumah, kurang lebih sepuluh orang saja, untuk berdoa di setiap hari kelahiran saya.

 

Saya datang agak terlambat di acara perayaan ulang tahun kolega saya itu, sehingga tidak mendengar sambutan yang punya hajat.  Tetapi saya masih sempat mengikuti doa yang dipimpin oleh seorang ustad, yang kebetulan kawan dekat sang empunya hajat. Dalam salah satu bait doanya ialah mendoakan agar yang punya hajat itu (sebut saja Pak Anton) diberi panjang umur, murah rejeki, dan diberi hidup yang barokah yang tentu saja diamini oleh semua hadirin, tak terkecuali anak-anak kecil para cucu shohibul hajat sambil berlalu lalang di ruang besar rumah Pak Anton.

Usai berdoa para hadirin dipersilakan menikmati makanan yang telah disiapkan tuan rumah. Saya perhatikan berbagai aneka makanan dihidangkan, mulai dari makanan-makanan berat seperti sate, gule, rawon, martabak, soto ayam, soto daging, dan tak ketinggalan tumpeng besar yang dilengkapi dengan telur, kentang goreng, bergedel, udang, dan lain-lain. Tak ketinggalan bermacam-macam buah juga siap disantap para hadirin. Sayangnya ketika akan berangkat ke acara itu saya sudah makan lebih dulu, sehingga saya hanya mengambil makanan ringan dan beberapa biji buah kelengkeng karena masih kenyang.

Jam menunjukkan angka 21.30 ketika satu demi satu tamu yang hadir mulai meninggalkan rumah hajatan itu. Saya pun mengikuti para tamu yang pulang. Setiap tamu diberi bingkisan roti besar sebagai oleh-oleh. Saya berkesimpulan tuan rumah itu benar-benar menyiapkan perhelatan itu dengan serius. Tamunya cukup banyak, dan hidangannya sangat istimewa. Saya bayangkan berapa biaya yang harus ia keluarkan untuk acara seperti itu. Untuk orang seukuran saya tidak akan sanggup menyelenggarakan acara peringatan hari kelahiran sebesar itu.

Sampai di rumah dan dalam persiapan tidur saya merenungkan acara yang baru saja saya hadiri dengan mengajukan pertanyaan apa sebenarnya makna peringatan hari kelahiran atau yang lazim disebut hari ulang tahun. Banyak orang menganggap ulang tahun sebagai hari atau momen spesial, sehingga yang diundang juga orang-orang khusus, walau saya tidak tahu apa kekhususan saya di mata kolega itu. Saya merasa orang biasa, dan karenanya agak terkejut ketika menerima undangan menghadiri acara ulang tahun dia.

Menurut saya hari ulang tahun bisa dipakai sebagai momen pengingat untuk melakukan refleksi diri tentang perjalanan hidup seseorang, apa saja yang telah dilakukan, diraih, apa yang belum, apa suka dan duka dalam mengarungi kehidupan ini. Di balik peristiwa ulang tahun terkandung pesan bahwa usia hidup bertambah, tetapi pada saat yang sama kesempatan hidup berkurang mulai hitungan detik, menit, jam, hari, bulan, hingga tahun. Bertambahnya usia juga mengandung makna bahwa tanggung jawab terhadap hidup semakin besar. Karena itu, hari kelahiran bisa dipakai sebagai titik balik untuk menata ulang kehidupan. Yang bengkok-bengkok diluruskan, dan yang sudah lurus dilanjutkan.

Menggali makna ulang tahun berarti pula mengawali menata kehidupan yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Sering kali rutinitas yang kita lakukan karena pekerjaan dan profesi kita membuat kita lupa elemen-elemen penting dalam kehidupan, yaitu memaknai hidup itu sendiri. Hidup bukan untuk hidup, tetapi untuk menyiapkan kehidupan yang akan datang di alam baka.

Saya pernah membaca sebuah artikel seorang ahli psikologi bernama Victor Frankl di sebuah majalah EMERALD Edisi III-2013 (hal. 50-51) yang menyatakan bahwa ketika orang pada sibuk dalam hiruk pikuk pekerjaan dengan target perolehan secara material tertentu, maka pada saat yang sama orang sampai pada titik di mana hubungan antar-individu kosong dan tidak mampu mengisi jiwa. Menurutnya, kondisi itu disebut sebagai lost of meaning. Sebab, setelah semua yang dikejar sudah tercapai (harta, kedudukan, kekayaan, kehormatan), dan ketika usia terus merambah dan tidak bisa diberhentikan oleh siapapun, kita akan kembali dihadapkan pada sebuah pertanyaan “Apa sebenarnya yang ingin kita capai di akhir hidup kita?”.

Mari kita putar ulang perjalanan hidup kita. Rasakan dan maknai sepenuh jiwa agar hidup kita bermakna. Bisakah kita menjadi manusia “baru” di setiap momen kita memperingati hari kelahiran kita, walau tanpa pesta ulang tahun. Manusia “baru” yang saya maksudkan ialah manusia yang semakin baik, baik dalam tata hubungan dengan sesama manusia maupun dengan sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, kepada Tuhanlah kita semua akan kembali.

Semua manusia sesuai fitrahnya ingin hidup tenang dan bahagia, kendati tidak harus tercapai semua yang diimpikan. Menurut saya ketenangan dan kebahagiaan akan terwujud jika manusia memperoleh keseimbangan antara terpenuhinya kebutuhan rohani dan jasmani. Orang-orang kaya seperti teman saya yang merayakan pesta ulang tahun itu sudah tidak memerlukan bantuan materi dari sanak saudara dan kolega yang diundang, tetapi doa dan dukungan moral yang dipanjatkan justru jauh lebih bermakna.

Untuk menyempurnakan makna peringatan hari kelahiran, kita tidak saja berterimakasih kepada siapa saja yang telah membantu atau berkontribusi besar dalam mengantarkan keberhasilan hidup kita, tetapi juga kepada orang-orang yang selama ini menyakiti atau mengganggu kita sehingga kita menjadi pribadi tangguh dan tegar dalam menghadapi masalah. Andai saja tidak ada rintangan dari para pengganggu, kita akan menjadi pribadi cengeng yang penakut, pemalu, peragu dan bentuk-bentuk kecengengan yang lain. Karena itu, menghadiahi orang-orang yang telah menyakiti kita sama pentingnya dengan menghadiahi orang-orang-orang yang telah membantu kita, walau tentu itu tidak mudah. Diperlukan kesabaran dan kearifan luar biasa untuk berterimakasih pada para pecundang kita. Kemampuan kita untuk melakukan itu semua merupakan wujud kedewasaan kita seiring dengan bertambahnya usia hidup kita yang ditandai dengan perayaan hari ulang tahun kelahiran kita .

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up