Bahasa sebagai Media Dakwah
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Senin, 27 Juli 2015 . in Rektor . 10747 views

Udara kota Malang pagi itu cukup dingin. Saya terpaksa mengenakan jas untuk membalut badan agar tidak menggigil. Pukul 4.00 saya meninggalkan rumah bersama istri meunju masjid Agung Jami Malang, masjid terbesar di kota tempat tinggal saya. Dari rumah saya menuju masjid hanya perlu waktu 15  menit, karena di pagi-pagi seperti itu jalan masih sepi. Saya datang di masjid disambut petugas keamanan dan dibantu memarkir mobil tepat di depan pintu gerbang masuk masjid.

 

Tepat pukul 4.30 sholat subuh dimulai. Setelah membaca doa wirid beberapa saat, seorang anggota takmir mempersilakan saya menempati kursi tempat menyampaikan ceramah. Seperti halnya, Ramadhan tahun lalu,  pagi itu saya diberi jadwal untuk memberi kuliah subuh dengan tema “Bahasa sebagai Media Dakwah”. Takmir Masjid Agung Jami Malang memiliki agenda khusus di bulan Ramadhan, yakni mengundang beberapa rektor PT di Malang untuk memberi materi kuliah subuh. Sebelum saya, Rektor Universitas Brawijaya, Prof. Dr. H. M. Bisri, Rektor Universitas Negeri Malang (UM), Prof. Dr. H. Rofiudin, M.Pd., dan Rektor  Unisma Prof. Dr. H. Masykuri, telah menyampaikan materinya masing-masing. Rupanya saya memperoleh giliran terakhir. Prakarsa Takmir Masjid Agung Jami Malang tersebut perlu diapresiasi sebagai upaya menjalin  silaturrahim yang lebih akrab antara perguruan tinggi dan masjid.

Sebelum menyampaikan inti ceramah tentang relasi antara bahasa dan dakwah, dipandu oleh salah seorang takmir masjid, saya awali dulu penyampaian materi tentang bahasa sebagai salah satu karunia Allah yang luar biasa besarnya dan karena itu wajib Ali Imron ayat 110, yang artinya:

“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab (yaitu Yahudi dan Nasoro) beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik”.

 

Sebagai umat terbaik, manusia tidak saja memiliki anggota tubuh yang baik dan sempurna, tetapi karena dibekali akal dan kemampuan berkomunikasi lewat bahasa. Lewat akal dan bahasa, manusia mengembangkan ilmu pengetahuan. Wujud dari pengembangan ilmu pengetahuan itu adalah peradaban. Karena itu, peradaban manusia senantiasa terus berkembang dan perkembangannya semakin hari semakin cepat. Sementara makhluk lain, seperti binatang misalnya, karena tidak memiliki kemampuan berbahasa, tidak bisa mengembangkan peradaban, sehingga sejak awal keberadaannya sifat hewan tidak pernah berubah. Mereka hidup dengan menyesuaikan keadaan alam sekitarnya. Sedangkan manusia, karena kemampuan akalnya, bisa mengolah dan menguasai alam lingkungan untuk disesuaikan dengan kebutuhannya. Singkat kata, manusia bisa mengontrol alam lingkungan untuk disesuaikan dengan kebutuhannya.

Kepada bangsa Indonesia, Allah juga memberikan kelebihan yang tidak tertandingi oleh masyarakat lain di manapun di dunia ini, yaitu menyangkut banyaknya bahasa daerah yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Jika di seluruh dunia saat ini terdapat kurang lebih 6.800 bahasa, Indonesia menyumbang sekitar 746 bahasa daerah. Indonesia menyumbang 10% lebih bahasa dunia, yang itu merupakan kekayaan budaya yang patut disyukuri. Keragaman bahasa berarti menggambarkan keragaman budaya, karena bahasa merupakan anak sah sebuah budaya. Sayangnya di antara ratusan bahasa daerah itu, bebarapa puluh terancam punah karena tidak ada penggunanya.

Sebagai sebuah karunia Tuhan yang luar biasa besarnya, bahasa berfungsi bukan sekadar sekadar alat komunikasi sebagaimana dipahami kebanyakan orang selama ini, tetapi lebih dari itu ia adalah cermin isi hati dan pola pikir penggunanya. Bahasa orang yang sedang gundah, sedih, kecewa  dan sebagainya tentu berbeda dengan bahasa orang yang sedang senang, terharu dan bahagia. Selain tu, para ahli bahasa juga menyatakan bahwa cara berbahasa seseorang juga menggambarkan siapa penuturnya, dari sisi status pendidikan, strata sosial, pekerjaan, dan latar belakangnya.

Pertanyaannya adalah kapan bahasa mulai ada dan bagaimana sejarahnya? Para pakar bahasa berbeda pendapat dengan didasari alasan masing-masing. Ada yang bersifat ilmiah, tetapi ada pula yang spekulatif. Namun demikian asal usul bahasa atau sejarah bahasa hingga kini tetap obscure dan studi tentang asal usul bahasa tidak sesemarak bidang-bidang kebahasaan yang lain. Mengapa? Jawabannya sederhana. Sebab, tidak terdapat bukti yang cukup untuk menyimpulkan kapan sejatinya pertama kali bahasa digunakan oleh manusia, siapa yang memulai dan bagaimana pula memulainya.

Daripada terus merenung tidak ada jawaban yang pasti kapan bahasa dimulai, saya mencoba merujuk ke al Qur’an, surat al-Baqarah ayat 31, yang berisi tentang perintah Tuhan kepada Adam untuk menyebut nama-nama benda dan kemudian ditunjukkan kepada malaikat tentang kemampuan verbalnya itu. Saya menggunakan ayat tersebut sebagai penanda atau peristiwa linguistik dalam sejarah manusia. Mulai dari peristiwa itu, Adam berbahasa dan istri dan anak keturunannya serta berkembang  hingga hari ini.

Lalu bagaimana kaitannya dengan kegiatan dakwah? Bahasa memang bukan satu-satunya media dakwah. Tetapi ia merupakan media paling efektif untuk berdakwah. Berdakwah merupakan aktivitas menyampaikan pesan Tuhan, dan karena itu pekerjaan sangat mulia. Oleh sebab itu, berdakwah harus disampaikan dengan cara yang baik (bil hikmah) agar maksud baik tersebut tidak kontra produktif. Al Qur’an memiliki beberapa rambu-rambu untuk menyampaikan pesan lewat bahasa dengan menggunakan kata qoulan (berarti perkataan), yang disandingkan dengan kata-kata layyina (artinya lemah-lembut, bahwa berdakawah harus disampaikan dengan cara yang lemah lembut),

Selain layyina  adalah makruufa (artinya sopan, halus, baik, menghargai, dan tidak merendahkan), tsaqila (artinya bahwa perintah untuk menyampaikan hal-hal yang berat hendaklah memilih orang yang memiliki jiwa atau mental yang kuat dan kokoh), kariima (artinya mulia, luhur, dan amat berharga, bahwa dakwah harus disampaikan dengan keluhuran hati dan akhlak mulia,  sadiida (artinya benar, jujur, lurus, bahwa berdakwah harus dengan kejujuran, harus sama antara perkataan dan perbuatan), baliigha (artinya sampai bahwa ucapan yang disampaikan dalam dakwah harus sampai pada orang yang didakwai, karena itu menggunakan bahasa pendengarnya)

Wal hasil sebagai kegiatan untuk menyampaikan pesan-pesan agama, berdakwah bukan pekerjaan sederhana. Ia memerlukan piranti komunikasi yang efektif, yakni bahasa. Karena itu, sebagai makhluk pengguna simbol manusia mesti bersyukur karena telah dikaruniai kemampuan berkomunikasi yakni  bahasa. Bahasalah pembeda yang jelas antara makhluk ciptaan Allah yang bernama manusia dan lainnya. Alhamdulillah. !

_____________

Malang, 27 Juli 2015

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up