Siang itu saya sedang di rumah sambil menunggu tamu yang datang untuk bersilaturrahim di hari raya Idul Fitri 1436 H. Beberapa kawan dekat telah datang usai sholat Ied, walau saya tidak dapat menemui mereka karena saya masih dalam perjalanan pulang dari sholat Ied di luar kota. Kebetulan di rumah ada istri dan anak-anak, sehingga para tamu bisa ditemui walau tanpa saya.
Usai sholat dhuhur, sekitar pukul 13. 00 datang seorang bapak dan istrinya dengan naik sepeda motor Honda yang sudah tampak tua. Pria setengah baya itu mengenakan pakaian batik warna cokelat tua. Katanya dia mengalamai kesulitan mencari rumah saya, sehingga berputar-putar di kampung hingga setengah jam sebelum akhirnya menemukan tempat tinggal saya yang memang masuk gang. Selain itu, nomor rumah saya tidak urut dengan nomor rumah tetangga , sehingga banyak tamu yang akan datang ke rumah saya mengalami kesulitan mencarinya.
Sebelum saya bertanya bapak ini siapa dan dari mana, dia sudah terlebih dahulu mengenalkan diri. Namanya Pak Yusuf, pekerjaannya berdagang sayur mayur kecil-kecilan di pasar, sebuah pekerjaan yang sudah dia tekuni selama bertahun-tahun bersama istrinya untuk menghidupi keluarga dan membesarkan empat orang anaknya. Tentu saja dengan pekerjaan seperti itu beban Pak Yusuf sangat berat. Ditambah lagi usianya yang terus merambat tua, fisik Pak Yusuf pun tidak lagi prima. Karena itu, sayur mayur yang dia jual hanya semampu yang dia bawa dengan naik sepeda motor bersama istrinya ke pasar tradisonal tidak jauh dari rumahnya.
Terasa tidak sabar apa maksud kedatangannya, saya segera bertanya ada apa datang dari jauh-jauh di hari raya yang mestinya nunggu sanak keluarga yang datang bersilaturrahim. Ternyata dia sudah bernadzar ingin bisa datang ke rumah saya di hari pertama hari raya idul fitri. Pasalnya? Dia hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada saya karena saya dianggap berhasil mengantarkan anaknya yang hampir saja gagal studi akhirnya bisa menyelesaikan studi S1 dan menjadi sarjana. Anaknya yang sudah menjadi sarjana itu sekarang menjadi guru PNS di sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Padahal, saya sendiri sudah lupa siapa anak yang dimaksud itu. Sebab, sebagai pendidik salah satu tugas saya adalah mengantarkan anak bimbingan saya berhasil dalam studinya. Tentu saja dia bukan anak satu-satunya yang pernah saya bantu. Umumnya, bantuan yang saya berikan bukan berupa uang, tetapi lebih berupa nasihat bahwa studi harus tuntas. Jangan sampai berhenti di tengah jalan, karena ibarat orang mandi sudah terlanjur basah.
Lama kelamaan saya ingat anak yang dimaksud setelah tamu itu menyebutkan nama dan identitas lainnya. Peristiwa itu berlangsung sekian tahun lalu. Lagi pula saya tidak pernah mengingat-ingat siapa yang pernah saya bantu. Sebagai pendidik membantu mahasiswa merupakan salah tugas utamanya. Lagi pula Islam mengajarkan jangan pernah mengingat-ingat kebaikan yang pernah kita lakukan kepada orang lain. Pun jangan pernah berharap ucapan terima kasih sekalipun dari orang yang pernah kita bantu jika kita berharap yang lebih dari Allah swt. Tetapi sebaliknya kita harus mengingat-ingat kesalahan atau keburukan yang pernah kita perbuat untuk orang lain agar kita mau beristighfar.
Maksud kedatangan Pak Yusuf itu ialah pertama ingin silaturahim mumpung di hari raya. Kedua, ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada saya karena saya dianggap sangat berjasa dalam mengantarkan anak Pak Yusuf itu akhirnya lulus kuliahnya dan menjadi sarjana. Bahkan anaknya yang hampir putus studi itu kini telah bekerja sebagai guru berstatus PNS di sebuah Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di kota kelahirannya dan mengajar Pendidikan Agama Islam.
Kebahagiaan Pak Yusuf terasa sempurna karena selain sudah bekerja dan siap-siap menikah, anaknya itu juga menjadi sangat alim dan menjadi panutan masyarakat di kampung tempat tinggalnya. Kata Pak Yusuf, anaknya berubah 180 derajat dalam hidupya. Dulu nakal, suka membantah nasihat orangtua, sekolah malas, uang biaya sekolah sering disalahgunakan, tidak pernah mau membantu pekerjaan orangtua dan sebagainya. Pokoknya di mata orangtuanya, anaknya itu merepotkan. Padahal, dia anak lelaki satu-satunya yang kelak diharapkan menjadi penerus keluarga dan bisa membimbing adik-adik perempuannya. Singkatnya, dia tidak seperti anak-anak lain segenerasinya. Perilakunya dianggap nyeleneh.
Sebagai orangtua, kejengkelan Pak Yusuf sangat bisa dipahami. Setiap orangtua tentu menginginkan anaknya rajin, penurut, studinya lancar dan hormat pada orangtua. Tetapi rasa kecewa dan jengkel Pak Yusuf kini telah terobati. Anak yang dulu menjengkelkan itu kini berubah menjadi anak kebanggaan keluarga.
Menurutnya, ketika merenungkan kehidupan anaknya itu, tiba-tiba Pak Yusuf ingat saya sebagai salah seorang guru anaknya itu. Saya menjadi teringat memang beberapa tahun lalu ada orangtua mahasiswa datang menemui saya bersama istrinya mengemukakan tentang persoalan studi anaknya. Selanjutnya, anak itu saya panggil dan saya secara pelan-pelan mulai menyelami kehidupannya. Kebetulan saya memang wali mahasiswa tersebut. Awalnya sangat sulit, karena anak itu sudah masuk dalam grup anak-anak frustasi yang melihat masa depan dengan skeptis. Tetapi saya sadarkan sedikit-demi sedikit hingga akhirnya semangkatnya bangkit hingga lulus studinya walaupun dengan prestasi akademik pas-pasan. Prestasi akademik tidak tinggi tidak mengapa, yang penting bisa lulus dan menjadi sarjana. Prinsip saya anak itu jangan sampai putus studi.
Usai menceritakan maksud kedatangannya ke rumah saya, sambil meneteskan air mata haru, Pak Yusuf didampingi istrinya berpamitan pulang sambil meninggalkan sebuah tas plastik berwarna hitam di kursi ruang tamu rumah saya bersamaan datangnya tamu-tamu lain. Ketika saya sampaikan ada barang yang tertinggal, Pak Yusuf bilang itu tidak tertinggal. Memang sengaja ditinggal untuk saya. Setelah saya buka isinya ternyata sebuah sarung warna merah tua dan ada tulisan tangan di atas kertas “sarung ini untuk bapak pakai sholat”. Agar tidak kecewa, pemberian itu saya terima dengan ucapan terima kasih.
Ketika malam menjelang tidur saya sempat merenung perilaku Pak Yusuf yang datang jauh-jauh dari luar kota bersepeda motor dengan istrinya hanya untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada saya karena merasa anaknya saya bantu. Padahal, itu memang tugas saya selaku pendidik. Sebagai wujud terima kasih itu, saya diberi sebuah sarung yang kira-kira harganya tidak lebih dari Rp. 50. 000. Saya sama sekali tidak mempermasalahkan harga sarung. Yang membuat saya haru ialah sikap tulus seorang ayah karena merasa anaknya dibantu menyelesaikan studi dan akhirnya menjadi sarjana, bekerja sebagai pegawai negeri untuk mengajar pendidikian agama. Lebih dari itu, anaknya menjadi semakin alim.
Perilaku Pak Yusuf kontras dengan perilaku orang kebanyakan saat ini. Beberapa kali saya membantu mengentaskan masalah orang lain, mulai urusan mencari sekolah, ekonomi keluarga, mencarikan pekerjaan, membayar biaya pengobatan rumah sakit, hingga masalah bayar SPP kuliah dan sebagainya. Banyak di antara yang berhasil dan menjadi orang “besar”. Anehnya, justru di antara mereka tak satupun yang pernah berterima kasih, walaupun saya tidak pernah berharap. Malah ada yang sangat menyakitkan karena menebar fitnah yang ujungnya untuk kepentingan perut mereka.
Hidup memang penuh misteri. Ada orang yang pandai bersyukur dan mau berterima kasih walau hanya kita bisa bantu sekedarnya. Sebaliknya, ada yang justru menjadi pecundang walau kita sudah bersusah payah pernah membantunya. Karena itu, kesimpulannya kita harus belajar sekuat tenaga untuk tidak mengharap balasan ketika memberi bantuan kepada orang lain. Memang ini tidak mudah. Lidah kita bisa mengatakan begitu, tetapi hati kita rasanya tetap mengatakan “orang kok gak tahu diri. Sudah dibantu gak mau berterima kasih, malah jadi pecundang”.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan menyimpulkan bahwa belajar tentang kebaikan tidak harus dari orang-orang besar yang berjas dan berdasi serta bersepatu mengkilap. Tetapi justru dari orang-orang kecil seperti Pak Yusuf yang datang dengan tulus ikhlas membalas budi karena merasa telah dibantu. Karena itu, bukan Pak Yusuf yang mesti berterima kasih, tetapi justru saya karena saya telah memperoleh pelajaran sangat berharga dari kunjungannya ke rumah saya di hari raya idul fitri itu!. Tiba-tiba saya menerawang jauh ke belakang teringat guru ngaji di mushola kecil di kampung saya dulu yang pernah mengatakan bahwa “kebaikan itu bisa datang dari mana saja, tidak harus dari orang kaya dan berpangkat tinggi. Dan itu wajib kau terima”. Subhanallah!
_____________
Malang, 21 Juli 2015