Pengalaman Berharga Dari Bepergian Naik Kereta Api
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Rabu, 29 Juli 2015 . in Dosen . 2990 views

Dulu, pada awal memimpin STAIN Malang, yang kini kampus itu telah berubah menjadi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, saya untuk urusan pengembangan kampus, hampir setiap minggu naik kereta api dari Malang ke Jakarta. Pada waktu itu, kampus yang saya pimpin masih berukuran sangat kecil, sehingga tidak memiliki anggaran untuk biaya bepergian, kecuali naik kereta api. Sekalipun demikian itu, juga harus memilih kereta api yang harga tiketnya paling murah, agar cukup bisa pulang pergi.

Namun setelah kampus tersebut berhasil berkembang dan maju, saya tidak pernah lagi naik sepur, berganti naik pesawat terbang, seperti yang dialami oleh pimpinan perguruan tinggi lainnya. Sangat berbeda dari dulu, sekarang ini, saya lihat tidak saja rektor yang bepergian naik pesawat, bahkan para staf saja, agar lebih ekonomis dan tidak terlalu capek, mereka dibolehkan naik pesawat terbang. Setiap menyaksikan staf dan juga dosen bepergian dengan angkutan modern menyerupai burung itu, hati saya menjadi sangat senang.

Pada Senin, tanggal 27 Juli 2015 yang lalu, saya menghadiri undangan untuk berceramah halal bi halal di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Dari Malang ke kota itu, saya memilih naik kereta api daripada naik pesawat dan harus ke Yogyakarta terlebih dahulu. Dari Yogyakarta ke Purwokerto masih harus naik mobil sekitar 4 jam, dan akan menjadi lebih lama lagi jika macet. Ternyata, naik kereta juga enak, lebih cepat, murah, dan aman.

Banyak pengalaman dan juga renungan yang saya peroleh selama sekitar 9 jam di dalam kereta api itu. Naik kereta api tidak sama dengan naik bus atau kendaraan darat lainnya. Jalan kereta api selalu melewati bagian belakang rumah-rumah penduduk, sawah, pekarangan, kebun, dan lain-lain. Sementara itu, selain kereta api, selalu melewati bagian depan rumah penduduk, perkantoran, pasar atau pertokoan. Jarang sekali rumah penduduk menghadap ke jalan kereta api, dan sebaliknya, pada umumnya justru membelakangi.

Oleh karena itu, siapa saja yang naik kereta api, akan melihat pemandangan yang lebih asli, yaitu berupa persawahan, pekarangan, hutan, kebun, dan juga rumah-rumah penduduk pada bagian bekalangnya. Keadaan penduduk di sepanjang perjalanan dari Malang ke Purwokerto tampak asli atau apa adanya. Tampak sebagian rumah berukuran besar sehingga menggambarkan kemakmuran, akan tetapi juga masih banyak sekali tempat tinggal yang sebaliknya. Rumah-rumah di pedesaan yang dilewati oleh kereta api itu masih banyak yang berukuran kecil dan juga sederhana.

Demikian pula, dari dalam kereta api tampak kebun-kebuh, persawahan, dan juga pekarangan yang semula luas, tetapi kemudian dibagi-bagi, ---diwaris atau dijual, sehingga masing-masing bagian tampak sempit. Antara hamparan kebun, pekarangan, dan sawah itu terdapat rumah-rumah sederhana sebagaimana disebutkan di muka. Perjalanan dengan kereta itu ternyata banyak untungnya. Di sepanjang perjalanan, sekaligus bisa melihat pemandangan sambil membaca kehidupan masyarakat yang sebenarnya. Ternyata, sudah ada di antara warga negara ini yang secara ekonomi sudah tampak berkecukupan, tetapi juga sebaliknya, masih banyak sekali yang dilihat dari keadaan rumahnya, tampak miskin dan bahkan amat miskin.

Sebagai seorang guru, ---seperti saya ini, ketika melihat keadaan masyarakat di sepanjang perjalanan antara Malang hingga ke Purwokerto, maka yang segera terbayang atau terpikirkan adalah apa saja yang terkait pendidikan. Berbagai pertanyaan yang muncul di dalam hati misalnya, apakah pendidikan di sekolah selama ini telah sesuai dengan kebutuhan, apa perlunya anak-anak pedesaan diajari biologi, kimia, matematika, fisika, dan laoin-lain. Bukankah sebenarnya mereka lebih membutuhkan ilmu terapan seperti ilmu pertanian, peternakan, koperasi, pengelolaan lingkungan, dan semacamnya. Pikiran itu muncul atas pertimbangan bahwa, pendidikan itu penting untuk membekali anak-anak dengan ilmu yang bermanfaat, agar kehidupan mereka kelak menjadi sukses. Namun, setelah melihat gambaran kehidupan masyarakat seperti itu, maka muncul pertanyaan berikutnya, yaitu apa sebenarnya pengaruh pendidikan yang dijalankan selama ini.

Pertanyaan sederhana terkait dengan hasil pendidikan tersebut muncul setelah melihat bahwa ternyata pengelolaan lingkungan di sepanjang jalan kereta api, seperti persawahan, kebun, pekarangan, saluran air, peternakan, perikanan, dan lain-lain ternyata masih tampak alami. Tanaman pisang, kayu, bambu, padi, sayur, dan begitu pula ternak sapi, kerbau, kambing, lain-lain masih belum kelihatan telah dilakukan atas dasar ilmu pengetahuan. Semua saja masih dijalankan secara alami. Tampak bahwa, pengaruh pendidikan masyarakat atau ilmu yang diperoleh dari sekolah belum kelihatan. Justru yang tampak adalah pengaruh pesantren, atau pendidikan agama, yaitu di mana-mana telah berdiri masjid, mushalaa, dan jenis tempat ibadah lain.

Pendidikan untuk di wilayah Jawa sebenarnya sudah relatif merata. Sekolah menengah, baik pertama maupun tingkat atas, sudah dibangun di mana-mana. Melalui sekolah-sekolah yang dimaksudkan itu, anak-anak pedesaan sudah diajarkan ilmu biologi, fisika, kimia, matematika, ekonomi, koperasi, dan lain-lain. Akan tetapi rupanya, ilmu pengetahuan yang dimaksudkan itu belum terlalu tampak atau berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Perumahan penduduk, cara bertani, berkebun, beternak, dan lain-lain, semua masih bersifat alami. Padahal berbagai jenis ilmu pengetahuan yang diperoleh dari sekolah, seharusnya mereka berhasil merubah cara berpikir, cara pandang, dan cara kerja dalam menjalani hiodup sehari-hari.

Sebagai seorang pendidik, melihat keadaan masyarakat yang sudah merdeka sekian lama, dan pendidikan pun sudah dijalankan, namun keadaannya masih seperti yang digambarkan itu, maka muncul renungan, apa sebenarnya yang salah dari pendidikan selama ini. Penyelenggaraan pendidikan yang sudah menghabiskan anggaran sedemikian besar seharusnya mampu mengubah keadaan masyarakat. Penglihatan yang saya lakukan itu sederhana dan hanya bersifat selintas, yakni hanya dari dalam kereta, tetapi kiranya perlu dijadikan bahan renungan selanjutnya. Bahwa anggaran penyelenggaraan pendidikan yang disediakan oleh pemerintah sudah sedemikian besar, yaitu pada setiap tahun mencapai ratusan triliyun rupiah. Modal dan kekuatan itu harus memberi dampak maksimal pada kehidupan masyarakat. Tidak boleh anggaran sebesar itu hanya berhasil mengantarkan para siswa menjadi lulus dan memperoleh ijazah, tetapi tidak memberikan sumbangan yang berarti bagi upaya meringankan beban kehidupan mereka. Wallahu a'lam.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up