Saya menyambut datangnya Ramadhan 1436 H ini dengan rasa syukur yang amat dalam karena beberapa alasan. Pertama, setidaknya salah satu doa saya akhir Ramadhan tahun lalu telah dikabulkan Allah. Sebab, saat itu saya berdoa untuk dua hal, yaitu semoga Allah menerima semua amal ibadah saya selama bulan Ramadhan, mulai dari puasa, sholat-sholat wajib dan sunnah (tarawih), tadarus, hingga shodaqoh dan lain-lain. Doa yang kedua adalah semoga saya dipertemukan kembali dengan Ramadhan tahun berikutnya, yakni Ramadhan 1436 H ini.
Tentang doa yang pertama apakah semua amal ibadah saya diterima oleh Allah atau hanya sebagian saja, atau bahkan sama sekali tidak ada yang diterima itu semua menjadi urusan dan hak prerogatif Allah. Allah memang tidak akan pernah memberi tahu apakah ibadah seseorang diterima atau tidak. Namun demikian, saya tetap memohon agar Allah berkenan menerima semua amal ibadah saya selama Ramadhan. Saya berkhusnudzon saja bahwa Allah itu Maha Penerima Doa umatnya.
Alasan yang kedua ialah tepat hari pertama Ramadhan saya berada di Sudan, sehingga dapat melihat dan merasakan langsung bagaimana puasa di sebuah negara yang cuacanya amat panas, yang saat itu sekitar 43 derajat celsius. Cuaca seperti itu cukup panas bagi orang yang terbiasa tinggal di negara dengan iklim sedang seperti Indonesia. Selain berhadapan dengan cuaca yang sangat panas, puasa di Sudan berlangsung hampir 15 jam setiap hari. Karena itu, betapa nikmatnya puasa di Indonesia, selain cuaca tidak begitu panas, lama waktu puasa hanya sekitar 12 jam.
Ketiga, usai kunjungan ke Sudan saya melanjutkan kunjungan ke Arab Saudi dan menikmati puasa hari kedua di Makkah sehingga dapat menjalankan sholat tarawih di Masjidil Haram, walau hanya beberapa hari. Berkunjung ke Masjidil Haram, lebih-lebih di bulan suci Ramadhan, tentu menjadi impian setiap muslim, tak terkecuali saya. Karena itu, kesempatan itu saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk melaksanakan beberapa kegiatan ibadah, seperti melaksanakan umrah, tadarus al Qur’an, sholat tarawih, dan ibadah-ibadah sunnah lainnya. Itulah kesempatan pertama kali dalam hidup saya dapat berpuasa dan sholat tarawih pertama kali di Masjidil Haram, sekaligus dapat menyaksikan bagaimana para tamu Allah dari berbagai penjuru dunia berbuka puasa bersama.
Satu pemandangan indah yang saya saksikan ketika para jama’ah sedang berpuka puasa ialah mereka saling meraih pahala dengan membantu satu dengan yang lain dan memberi makan atau minum kepada orang yang sedang berbuka. Tidak ada orang bertengkar dan ribut. Semua saling menjaga, dan sadar bahwa meraka sedang berada di rumah Allah yang suci, sehingga harus menjaga kesucian rumah Allah tersebut.
Ketika transit di Doha sebelum melanjutkan penerbangan ke Jakarta, ada pengalaman menarik. Saat itu saya sedang duduk di ruang tunggu pesawat bersama sekelompok orang dari Indonesia yang juga baru dari Saudi. Setelah berkenalan dari mana asal mereka, tiba-tiba ada salah seorang dari kelompok itu, yang tidak lain adalah para TKI yang dipulangkan oleh pemerintah Saudi, bertanya kepada saya apakah saya seorang sopir. Daripada pusing-pusing, saya pun menjawab singkat “ya”. Mereka pun percaya dan masih bertanya lagi apakah saya sopir perusahaan atau keluarga. Saya bilang saya sopir keluarga. Setelah itu seorang TKI setengah baya itu nyelonong pergi entah ke mana. Mendengar jawaban saya tersebut, rekan saya Kepala Pusat Kerjasama Internasional, Dr. H. Bakhruddin Fannani, tertawa tidak henti-hentinya. Saya pun segera menasihatinya agar menyadari hal itu karena, sesuai ajaran filsafat bahasa kata-kata seseorang menggambarkan tingkat pengetahuannya. Karena itu, harus dimaklumi mereka adalah para TKI yang tentu pendidikannya tidak setinggi kawan saya itu. Setelah mendengar penjelasan itu, kawan saya itu diam.
Berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah saya dalam keadaan sehat wal ‘afiat, sehingga dapat menjalankan ibadah di bulan Ramadhan ini dengan intensif. Kesempatan ini pula saya manfaatkan untuk melakukan sholat tarawih ke beberapa masjid, sambil silaturrahim. Ketika mengikuti sholat tarawih di sebuah masjid terbesar di kota tempat tinggal saya, saya agak terganggu dengan dua pemuda yang sholat tepat berada di depan saya. Betapa tidak! Pemuda pertama mengenakan kaos oblong yang bagian belakang ada tulisan SEMEN GRESIK. Sedangkan yang satunya mengenakan kaos dengan lambang Partai Demokrat dan gambar SBY dan Budiono ketika mencalonkan diri menjadi presiden beberapa tahun lalu. Saya tidak tahu apakah mereka berdua itu berteman atau secara kebetulan keduanya mengenakan kaos oblong yang sebenarnya tidak tepat dipakai saat sholat berjama’ah di masjid seperti itu. Sebab, pasti orang yang ada di belakangnya akan terganggu konsentrasi sholat.
Dalam hati saya berdoa semoga dua pemuda itu hanya ikut sholat isya saja dan setelah itu pergi, atau setidaknya pindah ke shof yang lain. Usai sholat isya, keduanya juga khusuk berdzikir dan selanjutnya mengikuti sholat tarawih sebagaimana jama’ah yang lain. Satu rakaat demi rakaat juga diikuti dengan tertib. Semua gerakan sholatnya juga tertib dan menggambarkan keduanya memiliki pengetahuan yang cukup, khususnya tentang rukunnya sholat. Sampai di situ saya berharap dua pemuda itu mengakhiri sholat tarawih pada rakaat ke delapan. Ketika rakaat depalan sudah selesai keduanya masih tetap melanjutkan sholat hingga rakaat dua puluh tiga.
Sebenarnya saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak terganggu dengan tulisan dan gambar di kaos yang dikenakan dua pemuda itu dan konsentrasi pada sholat saya sendiri. Ternyata saya gagal. Ketika berusaha memejamkan mata pun hati saya masih terganggu dengan tulisan dan gambar tersebut. Saya pun berpikir dua pemuda itu bisa menjalankan sholat dengan tertib, tetapi mengapa tidak menyempurnakannya dengan mengenakan pakaian yang pantas untuk dipakai sholat di masjid besar yang tentu jama’ahnya sangat banyak.
Usai sholat tarawih sambil pulang saya merenung betapa pentingnya pengetahuan agama bagi umat Islam secara keseluruhan, tidak saja menyangkut isi peribadatan (misalnya memahami makna bacaan-bacaan dalam sholat) dan rukun semua bentuk peribadatan, tetapi juga menyangkut etika beribadah, seperti bagaimana berpakaian yang tepat ketika menuju rumah-rumah Allah. Berpakaian oblong memang tidak kemudian membatalkan sholat, tetapi ketika sholat sebenarnya seseorang sedang berkomunikasi secara langsung dengan dzat yang memberi kehidupan, yang memberi rezeki, yang mengangkat derajat seseorang dan yang Maha Segalanya.
Dengan menyadari bahwa seseorang sedang berkomunikasi langsung dengan sang Maha Segalanya ketika mendirikan sholat, seseorang akan mempertimbangkan untuk mengenakan pakaian yang pantas. Menghadiri undangan rapat RT saja tidak akan mengenakan pakaian kaos oblong, apalagi menghadiri jama’ah untuk menghadap sang Maha Segalanya.
Untuk menghibur kegelisahan saya selama mengikuti sholat di masjid itu saya menghela nafas agak panjang sambil bergumam sendirian bahwa kendati mengenakan pakaian yang tidak tepat dua pemuda itu masih jauh lebih baik daripada pemuda-pemuda perlente dengan pakaian necis yang berkaraoke ria di tempat-tempat hiburan ketika warga lainnya sedang menunaikan ibadah tarawih di bulan Ramadhan.
Kelompok pemuda yang disebut terakhir itu tidak mau bersyukur kepada sang Pemberi rezeki yang sedang memanggilnya untuk beribadah di bulan yang penuh rahmat dan maghfiroh ini. Sambil bernafas, saya pun berucap ‘alhamdulillah’ karena menyaksikan dua pemuda yang tertib menjalankan ibadah sholat isya’ dan tarawih hingga akhir. Itulah sebagian serba-serbi peristiwa yang terjadi pada saya di bulan Ramadhan 1436 H ini. Saya bersyukur dengan semua yang saya alami karena selalu ada hikmah yang dapat saya petik dari peristiwa sekecil apapun dalam hidup saya, termasuk dari tulisan SEMEN GRESIK dan lambang Partai Demokrat dengan gambar SBY dan Boediono di punggung dua pemuda yang sholat di depan saya itu!
___________
Malang, 8 Juli 2015