Suatu hari penulis berkesempatan jalan-jalan ke suatu daerah, tepatnya di Madiun. Di sebuah warung sangat sederhana yang biasa dipakai mangkal orang-orang kecil, penulis ngopi dan minta dibuatkan supermi rebus kepada Ibu pemilik warung tersebut. Di warung itu sudah ada beberapa kerumunan orang yang sedang ngopi dan merokok. Layaknya orang kecil pada umumnya yang familier dan suka bagek (menanyakan keadaan kita, dari mana asalnya, dsb), mereka ngobrol ke sana ke mari. Dari obrolan tersebut ada yang sangat mengagumkan bagi penulis.
Pak Sadimin, demikian nama sebenarnya, dia orang asli Madiun, sosok yang sudah cukup umur, tetapi gaya bahasa dan semangatnya luar biasa. Tidak kalah dengan orang-orang muda sekarang yang terpelajar. Sebagai mantan seorang sopir --menurut pengakuanya-- dia sudah pernah keliling ke berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Jawa hingga luar Jawa. Dari pengalamannya itulah kemudian dia banyak tahu soal karakteristik orang dari berbagai etnis. Termasuk saya cepat kenal karena dia nyletuk berbahasa Madura dengan salah satu rekannya yang berada di luar warung itu. Saya kemudian bertanya: ”Kok bisa berbahasa Madura Pak?” Dia ketawa, dan mulai dari sinilah kemudian dia banyak bercerita soal keberadaan etnis Indonesia dan keunggulan orang Jawa, termasuk cerita tentang ’keberagamaan orang Jawa’. Selanjutnya dia menuturkan: ”Sebetulnya, orang Jawa itu orang yang memiliki kedudukan tinggi di mata bangsa-bangsa di dunia. Orang Jawa itu sebelum kedatangan agama-agama di dunia ini sudah memiliki kepribadian yang unggul”.
Seperti pada umumnya cerita orang kuno yang lain, dia juga menegaskan, bahwa para orang tua kita dulu adalah orang yang memiliki kekuatan luar biasa, mereka memiliki kekesaktian. Dia mencontohkan, orang tua kuno dulu ”ngunduh” kelapa saja tanpa dipanjat, tetapi cukup di-pandeng (dipandang kuat) saja sudah pada rontok. Cerita begini ternyata sudah memembudaya di kalangan para orang tua kuno di lingkungan kita. Sambil mempercayai tutur katanya, saya lalu bertanya: ”Oh ya Pak, kenapa sampai begitu ya, apa yang menyebabkan mereka seperti itu Pak (digdoyo)?”. Jawabnya tegas: ”Karena mereka orang jujur, semua ucapan dan tindakannya benar, dan hati mereka bersih”. Dengan jawaban seperti itu saya terus merenung, sambil berkata dalam hati: ”Betul juga orang ini”. Orang sekarang, menurutnya, tidak banyak yang jujur, badut semua, ”seperti yang di TV-TV itu lo Mas”, katanya. "Orang sekarang” –sambungnya-- “apa yang diucapkan tidak sesuai dengan tindakannya, banyak yang suka ngapusi, korupsi”.
Lantas Pak Sadimin menyinggung soal agama. Menurutnya, semua agama itu baik, tidak Islam, Kristen, Hindu, Budha atau apa saja. Yang tidak baik itu oknumnya, mereka tidak menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang baik itu. Maka tidak benar, jika orang beragama itu saling cekcok dan bentrok. Apalagi jika kemudian yang bentrok itu antara Islam dan Kristen, karena dua agama itu serumpun dan dari asalnya yang sama, yaitu Nabi Ibrahim, Abraham. ”Terus terang Mas, saya ini orang Kristen, tetapi saya tidak membeda-bedakan antara agama ini dan itu. Keluarga saya campuran. Ada yang Islam, Kristen dan juga ada yang Hindu. Menantu saya juga ada yang keturunan Cina. Mase percaya, bapak saya itu orang pesantren, ibu saya Kristen. Tetapi semuanya rukun-rukun saja, tidak ada masalah dengan perbedaan antaragama. Bagi saya, yang penting orang beragama itu harus menghayati dan mengamalkan ajaran agama, membersihkan hati, soal masuk surga atau neraka itu urusan nanti, di akhirat. Jadi, saya ini ’nasionalis’ Mas.” Lanjut Pak Sadimin, ”seharusnya manusia itu seperti suku kata”, artinya, kata-kata itu tidak akan menjadi sebuah kata tanpa ada huruf. Oleh sebab itu huruf-huruf tersebut mesti disatukan, terangkai, sehingga menjadi sebuah suku kata, misalnya kata ”Madiun” tidak akan menjadi sebuah kata jika tidak ada kesatuan huruf-huruf tersebut. Demikanlah seharusnya manusia itu bermasyarakat, demikian tuturnya bersemangat.
Sebetulnya masih banyak tuturnya yang mengandung kebenaran dalam konteks ”pemahaman keberagamaannya”. Intinya, bahwa beragama itu yang diukur bukannya simbol-simbol yang bersifat lahiriah, namun keberagamaan seseorang itu harus mengejawantah dalam pribadi-pribadi yang saleh. ”Orang sekarang lebih menonjolkan pepaes-nya, hiasannya dari pada isi”. Itulah yang menipu kita, tegasnya. Lalu, Pak Anam, teman ngobrol di warung itu juga membenarkan penuturan Pak Sadimin yang panjang lebar itu. Dia kemudian juga menyontohkan keluarganya sendiri yang tidak akur satu sama lain. ”Iya Pak, dulu keluarga saya itu rukun dan sering berkunjung satu sama lain. Tetapi sejak mereka menganut aliran-aliran itu mereka menjadi jauh dan tidak akur satu sama lain. Keluarga saya itu ada yang NU, ada yang Muhammadiyah dan ada yang mengikuti aliran Islam garis keras”, tandasnya.
Saya sendiri dalam obrolan ini lebih banyak mendengarkan dan beberapa kali bertanya kepada mereka. Dalam konteks kehebatan orang Jawa kuno misalnya, penulis menanyakan kepada Pak Sadimin: ”Orang-orang tua dulu itu agamnya apa Pak? ”Jawabnya, ” Ya agama Jawa asli, wong dulu itu Islam dan Kristen belum berkembang. Jadi mereka itu orang Jawa murni yang memegang teguh budaya jawa”.
Inti Keberagamaan
Tutur polos Pak Sadimin demikian itu mengingatkan penulis pada jajaran para filsuf zaman Yunani 600 SM silam, yaitu orang-orang yang hidup pada masa sebelum Nabi Isa dan Nabi Muhammad Saw. Mereka itu adalah orang-orang bijak pada zamannya yang memiliki pandangan mendalam (radikal) jauh ke depan. Sebut saja misalnya Thales, seorang filsuf pertama Yunani dalam jajaran filsuf kosmosentris. Dia mengatakan, bahwa asal muasal kejadian alam semesta ini adalah “air”. Ternyata pendapat Thales tersebut benar dalam perspektif ilmu pengetahuan modern. Bahkan dalam al-Qur’an pun ternyata disebutkan, bahwa Tuhan menjadikan segala sesuatu di alam ini berasal dari air (periksa Q.S. al-Anbiya’: 30).
Itulah kemudian, sebagian ahli ada yang mengatakan, bahwa para filsuf zaman Yunani kuno ini dianggap sebagai Nabi, karena pendapatnya yang banyak mengandung kebenaran. Ya, bisa saja Nabi dalam pengertian orang bijak yang membawa “kabar” kebenaran.
Nabi Muhammad sendiri diutus ke bumi ini untuk memperbaiki moralitas bangsa, sebagaimana yang ditegaskan sendiri dalam hadisnya. Jadi, agama itu harus bermuara pada moralitas, etika sosial yang memberikan nilai kemanfaatan pada orang lain. Para orang tua dulu yang dituturkan Pak Sadimin itu, dan juga para filsuf zaman Yunani kuno adalah orang-orang yang memiliki kepribadian dan wibawa yang tinggi di masyarakatnya. Mereka menjadi panutan (uswah dan qudwah) para pengikutnya. Inilah yang disebut “local-wisdom”. Apa yang mereka kerjakan sesuai dengan niat tulusnya. Perilaku seperti inilah yang jarang ditemukan pada tokoh-tokoh kita sekarang ini.
Pak Sadimin sendiri termasuk orang yang masih mengikuti jejak orang kuno atau paling tidak masih mewarisi tradisi ”local-wisdom”-nya. Dalam konteks pemahaman dan sikap keberagamaannya, dia bisa dikelompokkan dalam kategori pluralis. Ketika dia mengatakan, bahwa manusia itu seharusnya seperti ”suku kata” yang harus dihimpun dari huruf-huruf, mengingatkan penulis seperti yang di-dawuh-kan oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw., bahwa posisi orang beriman di antara orang beriman yang lain itu ibarat sebuah bangunan yang satu sama lain saling megokohkan, atau seperti kumpulan gigi manusia yang jika salah satunya sakit, maka yang lain juga merasakan sakitnya.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus mampu memilah-milah, mana dimensi internal dan mana dimensi eksternalnya. Konflik antarumat beragama yang terjadi selama ini, disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam menempatkan sisi-sisi ajaran tersebut. Orang beragama lebih banyak menonjolkan identitas dari pada isi dan sisi kemanusiaan universalnya. Orang beragama sibuk meng-agama-kan orang lain secara kuantitas dari pada membangun moralitas, orang beragama bangga dengan banyaknya jumlah tempat ibadah, dan pada gilirannya umat beragama juga puas jika mereka sudah berhasil mendistkreditkan agama lain. Karena dominasinya alur keberagamaan yang formalistik tadi, maka tak pelak upaya memecahkan kemelut ini nyaris terperosok pada agama yang verbalistik. Perjuangan untuk menegakkan ajaran suci agama lebih banyak diwujudkan dengan membangun tempat ibadah yang mahal dan megah serta tempat-tempat dakwah yang eksklusif lengkap dengan simbol-simbol kebesaran agama masing-masing sebagai bagian dari gebyar agama. Wallāhu A'lam bi al-Šawāb.