Pujian dan cacian adalah dua kosakata yang selalu bergandengan. Dalam perspektif sosiologi dua kosakata itu disebut oposisi biner (binary opposition), seperti halnya baik dan buruk, tua dan muda, siang dan malam, jauh dan dekat dan seterusnya. Karena itu, ketika ada kebaikan di saat yang sama juga ada kejahatan. Begitu pula ketika ada pujian, di saat yang sama ada pula cacian. Pada umumnya orang suka dipuji, dan sebaliknya menghindari cacian. But that is human. Padahal, jika dicermati pujian justru bisa menjerumuskan orang ke jurang yang sangat dalam. Sebab, dengan pujian orang bisa lupa diri dan merasa semua yang dilakukan sudah benar sehingga berbangga diri alias sombong atau takabur.
Dalam kehidupan ini sudah tak terhitung contoh kehancuran seseorang tidak disebabkan oleh orang lain, tetapi justru dari dirinya sendiri melalui sikap sombong atau dalam bahasa agama namanya ujub. Misalnya, seorang direktur perusahaan merasa bangga karena dipuji karyawannya bahwa perusahaannya maju pesat dengan keuntungan berlipat-lipat sejak ia memimpin. Karena pujian tersebut, dia terlena sehingga tidak perlu lagi melakukan perbaikan sehingga suatu saat kalah bersaing dari perusahaan lain yang terus melakukan perbaikan diri. Semakin banyak pujian sejatinya semakin membuat seseorang lupa diri, dan semakin dekat kehancuran yang akan menimpanya.
Menurut Imam Ghozali dalam kitab Ihya Ulumuddin, ujub atau sikap menyombongkan diri masuk kategori salah satu penyakit hati. Bahkan dalam uraiannya lebih lanjut, ujub merupakan salah satu penyebab orang tertunda masuk surga kendati telah berbekal amal sholeh yang cukup banyak. Salah satu wujud sikap sombong adalah menganggap orang lain lebih rendah dan tidak pernah mau menggubris nasehat orang lain, karena dirinya merasa paling hebat sehingga tidak perlu masukan orang lain. Padahal perlu diingat bahwa menganggap orang lain lebih kecil atau lebih rendah dari kita tidak akan pernah mampu membantu kita menjadi lebih besar.
Lalu bagaimana seharusnya sikap kita jika menerima pujian atau cacian? Kita memang tidak bisa mengelak pujian atau cacian dari orang lain terhadap karya atau pekerjaan kita. Itu memang hak orang lain untuk melakukannya. Jika suatu kali ada orang memuji kita, maka sikap yang tepat adalah menerima pujian tersebut dengan biasa-biasa saja atau wajar-wajar saja dan tidak perlu membusungkan dada, apalagi diikuti sikap merendahkan orang lain dan membanggakan diri. Sebab, pada dasarnya hanya Allah yang berhak menerima pujian. Karena itu, cukup dengan ucapan “terima kasih” ketika ada orang memuji kita.
Kita dipuji orang karena kelebihan yang kita miliki sebenarnya karena Allah telah menutup rapat-rapat kesalahan-kesalahan atau aib yang pernah kita lakukan. Karena itu, sangat tidak pantas jika dengan pujian kita lalu merendahkan orang lain dan menganggap kita sendiri yang paling hebat. Sebab, pada dasarnya tak seorang pun di antara kita yang tidak punya kesalahan atau kekeliruan. Anggaplah pujian yang kita terima sekadar sebagai pemanis yang muncul dari ucapan atau tulisan seseorang.
Sebaliknya, bagaimana sikap kita dengan cacian atau celaan yang kita terima karena ketidakberesan kita dalam melakukan pekerjaan? Cacian, kritikan, celaan dan sejenisnya sejatinya bukan hal yang buruk dan tidak perlu dihindari. Karena itu, kita tidak perlu merasa kecewa, apalagi marah, karena kritikan atau cacian seseorang. Sebab, jika direnungkan dalam-dalam kritik atau cacian merupakan masukan demi kebaikan kita.
Tapi pada umumnya orang tidak suka cacian atau kritik. Seorang karyawan seharusnya merasa senang ketika atasannya memberikan kritik terhadap kinerjanya. Karena dengan kritik tersebut, dia mengetahui sampai batas mana pekerjaannya belum beres. Tetapi kenyataannya tidak selalu demikian. Sama seperti direktur perusahaan atau pemimpin sebuah instansi yang umumnya suka dipuji, karyawan pun demikian halnya. Tidak jarang kita temukan karyawan kantor yang sukanya dipuji terus dan sebaliknya marah ketika diberi masukan, apalagi kritik. Sebaiknya kita menerima cacian atau kritikan dengan lapang dada, sebab dari situ kita bisa melakukan perbaikan diri. Memang tidak mudah dan pasti terasa pahit. Ibarat jamu atau obat demi kesehatan kita yang pasti pahit, cacian atau kritikan pasti tidak mengenakkan.
Pertanyaan selanjutnya bagaimana pula jika kita memang benar-benar ingin memberi pujian kepada seseorang sebagai bentuk apresiasi kita terhadap karya yang telah diraih? Atau bagaimana pula kita memberi kritik kepada orang lain (baca: bawahan ) karena pekerjaannya tidak beres? Memberi pujian atau memuji tentu saja boleh-boleh saja, apalagi dengan niat tulus memberikan apresiasi kepada seseorang yang telah berkarya dengan baik. Tentu itu sikap mulia. Jika kita ingin memuji seseorang, berilah pujian sewajarnya dan tidak berlebihan dengan bahasa yang wajar pula.
Misalnya, ketika kita memiliki karyawan yang sangat jujur, kita bisa mengatakan “Saya berterima kasih atas kejujuran anda semua, karena dari kejujuran tersebut perusahaan kita maju dan memperoleh banyak keuntungan”. Kalimat seperti itu sudah cukup bermakna, apalagi yang mengucapkan adalah seorang pimpinan tertinggi sebuah perusahaan atau instansi. Sebaliknya, kita tidak perlu mengatakan “Anda semua jujur bagaikan malaikat”. Kalimat terakhir ini justru terasa gurauan atau malah dianggap pelecehan, dan tidak punya makna apa-apa.
Sebaliknya, jika seorang pemimpin menemukan karyawannya atau anak buahnya tidak beres dalam bekerja, berilah masukan atau kritik dengan wajar-wajar pula. Mencaci atau mengritik bawahan dengan kata-kata keras dan kasar justru bisa berakhir dengan sikap antipati terhadap atasan. Jika itu terjadi, maka hubungan atasan dan karyawan tidak lagi harmonis, dan komunikasi birokrasi pun bisa putus. Ujungnya, karyawan tidak lagi produktif. Produktivitas kerja tidak semata ditentukan oleh kompetensi atau kepakaran staf dan atasan, tetapi juga ketersediaan komunikasi yang baik di antara semua yang terlibat, yaitu antara atasan dan bawahan, dan atara staf dan staf.
Peristiwa memuji dan mencaci atau mengritik sejatinya aktivitas yang terkait dengan hati atau jiwa manusia, karena itu tidak mudah. Manusia bukan sembarang makhluk. Manusia adalah makhluk unik dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena itu, jika para manajer atau pimpinan perusahaan atau kantor ditanya urusan apa yang paling sulit dalam mengelola perusahaan atau kantornya, hampir 90% mereka menjawab tentu urusan terkait dengan manusia. Kepiawian memahami perilaku staf atau karyawan, termasuk kapan dan bagaimana memberi pujian dan kritikan, menentukan keberhasilan kepemimpinan seseorang.
Saya ingin mengakhiiri tulisan ini dengan sebuah kalimat pendek untuk menjadi renungan kita bersama bahwa “pujian tidak lain merupakan lawan terindah kita. Karena itu, hati-hatilah dengan pujian yang disampaikan orang lain kepada kita. Sebab, jika tidak hati-hati menyikapinya, dari pujian kehancuran bakal terjadi. Sebaliknya, dari cacian atau kritikan kita bisa memperbaiki diri. Karena itu, kita justru semestinya berterima kasih kepada orang yang mencaci atau mengritik kita. Sebab, cacian atau kritikan adalah kawan atau sahabat terindah kita”. Tetapi sungguh tidak mudah melakukannya. Selamat merenung!
___________
Malang, 2 Agustus 2015