Tingkat pemahaman Islam bagi seseorang di kalangan masyarakat tertentu seringkali diukur dengan ukuran sederhana, yaitu sejauh mana mereka menguasai Bahasa Arab. Jika seseorang diketahui mampu berbahasa Arab, apalagi bisa membaca kitab kuning, maka yang bersangkutan dianggap memiliki pengetahuan Islam secara baik. Bahkan ukuran itu kadang lebih sederhana lagi, yaitu diukur dari fasikh tidaknya seseorang tatkala mengucapkan salam. Jika seseorang mampu mengucapkan salam dengan fasikh, maka umat Islam akan menyambut gembira, karena ia dianggap mengerti agama. Begitu pula sebaliknya, seseorang dianggap tidak mengerti agama oleh karena salamnya saja tidak fasikh. Kemampuan berbahasa Arab dan tingkat pengetahuan Islam dianggap identik. Pemahaman seperti itu sesungguhnya tidak terlalu salah, karena sumber ajaran Islam, yakni Al Quran dan Hadits adalah berbahasa Arab, sehingga tidak mungkin ajaran Islam dipahami secara baik jika bahasa dimaksud tidak dikuasai.
Di antara berbagai problem yang dihadapi oleh Perguruan Tinggi Agama Islam --UIN/IAIN/STAIN dan PTAIS, dari dulu hingga sekarang adalah masih sama. Apa yang pernah dilontarkan oleh Prof.Dr.A.Mukti Ali, tatkala beliau menjabat Menteri Agama pada tahun 1970 an, bahwa kelemahan para mahasiswa perguruan tinggi Islam di antaranya adalah keterbatasanya dalam penguasaan bahasa Arab, ternyata hingga sekarang masih belum bisa diselesaikan. Persoalan dimaksud sesungguhnya telah dicoba untuk diselesaikan dengan cara memberlakukan persyaratan tertentu bagi lulusan yang akan mengambil ijazah. Misalnya, mereka harus menunjukkan sertifikat penguasaan Bahasa Arab pada level tertentu bagi lulusan sarjana. Persyaratan itu ternyata tidak berjalan lama dan akhirnya dihapus, sekalipun secara nasional belum didapatkan cara yang lebih baik. Kebijakan Prof. Mukti Ali dimaksud gagal karena mungkin saja hanya dijalankan secara formal dan akhirnya program itu menjadi sebatas bersifat formalitas saja.
Penguasaan Bahasa Arab, seharusnya diwajibkan bagi siapa saja yang belajar di Perguruan Tinggi Islam, seperti UIN/IAIN/STAIN atau PTAIS, tanpa melihat jurusan apa yang dipilih. Pertimbangannya adalah bahwa kajian Islam yaitu meliputi ilmu tafsir, hadits, pemikiran Islam dan lain-lain, pada umumnya menggunakan literatur berbahasa Arab. Kegiatan kajian itu akan dapat berlangsung dengan baik ----luas dan mendalam, jika para mahasiswa menguasai Bahasa Arab secara baik pula. Berapapun banyak waktu yang disediakan (sks/semester) untuk mengkaji bidang studi tersebut, jika persyaratannya tidak dipenuhi, maka tidak akan mendapat hasil yang baik dan maksimal. Posisi bahasa Arab, bagi mahasiswa yang mengkaji Islam adalah sebagai instrumen, alat, piranti atau pintu masuknya. Belajar tafsir, hadits, fiqh dan lainnya tanpa menguasai terlebih dahulu Bahasa Arab secara memadai, maka sama halnya mau menangkap ikan dengan tangan kosong, maka tidak akan mungkin didapat ikan yang segar. Atau, mau masuk rumah tidak mengetahui pintunya, maka tidak akan berhasil.
Mengkaji al Quran dan hadits nabi di kampus-kampus tanpa berbekalkan Bahasa Arab tidak akan mendapatkan apa-apa sekalipun pada akhirnya oleh dosennya ternyata dinyatakan lulus. Posisi Bahas Arab sedemikian penting untuk melakukan kajian Islam, sehingga seharusnya seorang mahasiswa tidak dibolehkan mengambil mata kuliah sebagaimana disebutkan di muka sebelum yang bersangkutan menguasai Bahasa Al Quran. Belajar Bahasa Arab, bagi mahasiswa UIN/IAIN/STAIN atau PTAIS mestinya diberlakukan sama dengan mahasiswa yang akan belajar ke luar negeri. Mereka diharuskan memiliki sertifikat TOEFL dengan skor tertentu ( biasanya 550 atau bahkan untuk Universitas Harvard 630). Mereka yang belum memenuhi persyaratan itu, siapapun seharusnya ditolak dan dianjurkan untuk belajar Berbahasa Arab terlebih dahulu.
Tidak saja bagi kalangan perguruan tinggi, masyarakat luas pada umumnya. juga menganggap bahwa Bahasa Arab adalah merupakan piranti untuk memahami ajaran Islam. Sehingga, seorang mubaligh misalnya, sekalipun berhasil memberikan uraian tentang Islam sedemikian luas dan mendalam, tetapi mereka tetap dianggap belum sempurna jika yang bersangkutan kurang fasikh dalam mengucapkan ayat-ayat al Qur^an dan hadits Nabi. Fenomena seperti itu menggambarkan tentang betapa tingginya masyarakat menghargai Bahasa Arab. Selain itu, betapa Bahasa Arab juga dapat dilihat dari berbagai kegiatan keagamaan di tengah masyarakat luas .Sekalipun seseorang telah menyandang gelar akademik sedemikian panjang, misalnya S.Ag, M.Ag bahkan Doktor di bidang kajian Islam, namun mereka tetap tidak akan mendapatkan pengakuan atau tidak akan dipandang sebagai ahli agama, jika mereka tidak menguasai kitab kuning yang berbahasa Arab yang selalu dijadikan acuan oleh para ulama'. Hal itu semua menunjukkan betapa Bahasa Arab menjadi amat strategis dan dijunjung tinggi di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, betapa pentingnya Bahasa Arab sebenarnya sudah tidak ada orang yang memperselisihkannya. Semua sepakat, Bahasa Arab adalah Bahasa al Qur'an dan oleh karena itu harus dipelajari. Sementara itu bahwa yang diperlukan adalah jalan ke luar untuk mengatasi problem pembelajaran Bahasa Arab yang masih gagal atau belum maksimal. Untuk mencari jalan keluarnya, sebenarnya juga tidak sulit. Telah banyak pengalaman yang dihasilkan. Seharusnya sudah disadari bahwa belajar bahasa Arab dengan menetapkan waktu seminggu dua atau tiga kali dan pada setiap kalinya hanya diberi waktu 2 atau tiga jam, hasilnya tidak pernah memuaskan. Bukti kegagalan itu sudah terlalu banyak. Hanya anehnya, usaha yang tidak pernah berhasil tersebut masih diulang-ulang, sehingga seolah-olah mereka tidak mau belajar dari pengalamannya.
Atas dasar pengalaman dan kenyataan tersebut, maka ketika diberi tugas menjabat sebagai Pembantu Rektor I di Universitas Muhammadiyah Malang, saya mewajibkan seluruh mahasiswa Fakultas Agama agar belajar Bahasa Arab, sebanyak enam hari dalam satu minggu, antara 5 - 6 jam selama setahun. Usaha itu hasilnya ternyata tidak mengecewakan. Para mahasiswa sekalipun pada awalnya, penguasaan mereka terhadap Bahasa Arab sangat minim, namun setelah belajar selama 12 bulan dan pada setiap hari antara lima hingga enam jam, ternyata mereka mampu berbahasa Arab, baik dalam mendengar, bercakap-cakap, dan bahkan juga menulis. Demikian pula, ketika saya dipercaya memimpin STAIN Malang, dan sekarang telah berubah menjadi UIN Malang, pertama kali yang saya lakukan adalah memberlakukan peraturan bahwa setiap mahasiswa baru harus belajar Bahasa Arab secara intensif. Hasilnya, ternyata cukup menggembirakan pula. Para mahasiswa setelah belajar setahun dengan sungguh-sungguh dan intensif, maka mereka menjadi mampu membaca, mendengar, dan bahkan juga menulis karya ilmiah dengan bahasa al Qur'an tersebut.
Mendasarkan pada pengalaman tersebut, maka Bahasa Arab di Perguruan Tinggi Islam harus dikembangkan. Jika tidak, maka akan berakibat sebagai berikut : (1) kajian Islam atau keinginan menjadikan al Quran dan hadits sebagai sumber ilmu pengetahuan tidak akan mendapatkan hasil yang memuaskan, dan yang terjadi hanyalah pengajaran semu atau formalitas belaka. (2) Citra lulusan UIN/IAIN/STAIN/PTAIS di tengah-tengah masyarakat akan lebih rendah dibanding pesantren. Perguruan Tinggi Islam, menurut sejarahnya, ingin melahirkan ulama^ yang intelek dan atau intelek yang ulama. Sebagai seorang ulama pasti dituntut menguasai bahasa al Qur^an ini. (3) sebagai akibat langsung dari kelemahan di bidang Bahasa Arab tersebut, maka daya tarik dan bahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan tinggi Islam tidak akan tumbuh. Orang akan mengatakan bahwa perguruan tinggi Islam tidak mampu melakukan kajian Islam secara benar, dan posisinya akan hanya sekedar formalitas untuk mendapatkan ijazah.
Berdasarkan pengalaman selama ini, saya berpendapat bahwa, mengembangkan program pembelajaran Bahasa Arab adalah tidak sulit dan bahkan akan selalu mendapatkan dukungan masyarakat. Umat Islam sudah menyadari bahwa Bahasa Arab adalah Bahasa al Qur'an, pintu mempelajari Islam, dan Bahasa umat Islam. Oleh karena itu, siapa saja berkeinginan mempelajarinya. Agar usaha itu berhasil, kuncinya juga sederhana, yaitu harus ada kesadaran, kemauan, tanggung jawab, dan cita-cita, baik di tingkat pimpinan perguruan tinggi, dosen, dan para mahasiswanya. Berbagai alasan yang diungkapkan hingga program itu tidak dikembangkan, misalnya adanya keterbatasan anggaran, guru dan sejenisnya, sebenarnya semua itu bisa diatasi. Saya selalu berpandangan bahwa yang sesungguhnya membelenggu hingga seseorang tidak bergerak, bukanlah terletak pada anggaran yang terbatas, tidak cukup dukungan, dan sejenisnya, akan tetapi adalah oleh karena tidak ada kemauan. Saya berkeyakinan, apapun keadaannya jika masih ada semangat, dan cita-cita, maka usaha apa saja selalu ada jalan untuk meraihnya. Akhirnya, saya berpendapat bahwa jika masih ingin agar kajian Islam menjadi semarak di Indponesia, maka Bahasa Arab apapun caranya harus dikembangkan dan sebenarnya pekerjaan itu tidak sulit. wallohu a^lam.