BERPIKIR DEDUKTIF-INDUKTIF DALAM FILSAFAT
Dr. HM. Zainuddin, MA Sabtu, 22 Agustus 2015 . in Wakil Rektor I . 53706 views

 

            Filsafat sebagai pengetahuan tertua, bahkan disebut sebagai induk segala ilmu (mother of sciences) terus bergerak maju untuk menyelediki hakikat yang ada (Being). Sebagai pengetahuan, filsafat berupaya memperoleh hakikat kebenaran melalui pemikiran rasional, mendalam sampai ke akar-akarnya (baca: radikal).


            Berbeda dengan ilmu (science), yang terbatas wilayah kajiannya pada aspek manusia dan alam, maka filsafat meyelidiki ruang jelajah yang lebih luas, mencakup: Tuhan, alam dan manusia. Jika ilmu hanya menyelidiki hal-hal yang bersifat fisik-empirik, maka filsafat menyelidiki hal-hal yang bersifat metafisik-transenden.


            Sebagai makhluk yang dianugerahi potensi akal oleh Tuhan, manusia tidak pernah berhenti untuk berpikir, dan akal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Oleh sebab itu hakikat keberadaan (wujud) manusia adalah karena pemanfaatan akal tersebut. Itulah maka Descartes menegaskan, bahwa “aku ada karena aku berpikir” (cogito argo sum), atau dengan ungkapan lain you are what you think.


            Dalam pandangan Islam, perintah untuk mendayagunakan potensi akal banyak disebutkan dalam al-Qur’an. Al-Qardhawi (1989:1-2) menyebutkan, bahwa kata ‘aql dan yang berkaitan dengannya disebtutkan  dalam al-Qur’an mencapai 800 kali (Bandingkan denagn Fuad Abdul Baqi, tt:469-481).


            Manusia sebagai makhluk yang berakal tidak selalu  puas dengan persoalan-persoalan yang berada di sekelilingnya, bahkan apa yang ada di balik yang nampak pun selalu ingin diketahui dan dipertanyakannya (curriosity).  Sikap selalu ingin tahu dan keinginan tahu inilah yang kemudian melahirkan pemikiran dan rumusan-rumusan teori pengetahuan. Manusia tidak hanya sekadar ingin tahu persoalan alam sekelilingnya dan hakikat manusia itu sendiri, tetapi lebih dari itu ia ingin tahu siapakah Tuhan pencipta alam  dan manusia itu.


            Sejak berabad-abad yang lalu manusia sudah mempertanyakan hakikat yang ada (bieng=wujud): Apakah hakikat yang ada itu? Thales misalnya, seorang filosuf Yunani yang pertama kali mempertanyakan dasar dari alam dan segala isinya. Dia mengatakan, bahwa asal segala sesuatu adalah air. Sementara menurut Anaximandros, bahwa asal segala sesuatu adalah apeiron (yang tak terbatas) yang disebabkan oleh penceraiana (ekrisis).


            Teks-teks keagamaan yang berfungsi sebagai dasar kepercayaan jarang sekali menguraikan masalah ketuhanan, baik secara filosufis, apalagi ilmiah, tak terkecuali Islam. Secara tegas al-Qur’an memang menjelaskan sifat-sifat Tuhan, namun keterangan tentang Tuhan tersebut sering menimbulkan berbagai penafisran yang berbeda-beda.


            Meski al-Qur’an tidak memberikan banyak penjelasan tentang Tuhan, akan tetapi masalah ketuhanan dalam hubungannya dengan zat dan sifat-Nya telah menjadi pokok pembahasan yang ekstensif di kalangan para filosuf dan para ahli kalam (mutakallimin). Bahkan, persoalan-persoalan yang susah dipikirkan oleh manusia, seperti persoalan zat Tuhan, ruh dan soal metafisik lainnya justru menjadi bahan perdebatan yang berkepanjangan.


            Penjelasan nabi yang berbunyi: تفكروا فى خلق الله ولاتفكروا فى ذات الله (Berpkirlah tentang penciptaan  Allah dan jangan berpikir tentang zat-Nya),  dan firman Tuhan: يسىلوونك عن الروح قل الروح من امر ربي (Mereka bertanya tentang ruh, katakan (wahai Muhammad): Ruh adalah urusan Tuhanku), tak menjadi penghalang bagi para filosuf  maupun para mutakallimin untuk membicarakannya. Karena memang, perintah hadis ini bersifat tidak mengikat, artinya menyangkut soal metode, yaitu supaya manusia dalam mengenal Tuhan melalui fenomena alam dan ciptaan-Nya (induktif, fenomenologis), tidak langsung melalui zat-Nya, tetapi juga tidak menjadi soal, jika manusia sudah mampu memikirkan zat Tuhannya untuk mengagungkan Tuhan itu sendiri (deduktif), seperti para filosuf atau mereka yang terpelajar. Hal ini juga seperti firman Tuhan:


 واذا سالك عبادي عني فاني قريب Jika hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka aku dekat...”


            Jika manusia telah sanggup membicarakan tentang Tuhan sebagai Sang Pencipta, maka tentu manusia lebih sanggup lagi untuk  membicarakan ciptaan-Nya, yaitu manusia dan alam. Kenapa Tuhan menciptakan alam? Persoalan Tuhan, manusia dan alam adalah menjadi bahan kajian filsafat.


            Menurut Mukti Ali (dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim, 1989:42), Tuhan (teologi), alam (kosmologi) dan manusia (antropologi), merupakan elemen pokok yang harus diketahui dalam Islam dan juga agama-agama lain. Tiga persoalan tersebut merupakan spikulasi metafisik. Relasi antara Tuhan dan manusia adalah sangat penting bagi hidup dan kehidupan (lihat juga Musa Asy’arie dalam Irma Fatimah, ed., 1992:16).


            Demikian juga relasi antara Tuhan dan alam  sangat penting  untuk dipahami karena salah satu sifat Tuhan adalah rab al-’alamin. Alam diciptakan Tuhan secara teleologis dirancang untuk tumbuh dan berkembang ke arah kesempurnaan, sebagaimana firman-Nya: “Tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta segala yang ada diantara keduanya untuk bermain-main. Kami ciptakan keduanya untuk tujuan tertentu, tetapi (sayang) sebagian besar mereka tidak memahaminya”. Maksud “tertentu” dalam ayat ini adalah tumbuh menuju kondisi yang lebih baik dan menunju kesempurnaan (lihat Ashgar Ali, 1993:36).


            Sebagaimana keterangan Al-Kindi, ketika para filosuf membahas tentang Tuhan, sebetulnya mereka ingin menjelaskan tentang keesaan mutlak-Nya . Tuhan adalah unik, tidak mengandung makna juz’i (particular) dan tidak pula mengandung makna kulli (universal). Tuhan semata-mata satu dan selain-Nya mengandung makna banyak (Harun Nasution, 1979:21).


            Bagi para filosuf Muslim, Tuhan adalah Wujud Murni, sedangkan transendensi rantai wujud dan tatanan eksistensi kosmik dan dunia adalah tergantung (kontingen) (Hoessein Nasr, 1996:40). Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Bekker (1984), bahwa terdapat perbedaan persepsi antara para filosuf muslim (dalam hal ini Ibn Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd) mengenai konsep Tuhan alam dan manusia.


            Demikianlah, bahwa soal memikirkan Zat Allah dan Khalq Allah itu persoalan paradigma, antara deduktif dan induktif. Seperti halnya kita membaca ayat Allah, mau berangkat dari al-Qur’an atau dari fenomena alam sah-sah saja, asal ujungnya pensucian asma-Nya (tanzih). Inilah yang disebut dengan berpikir deduktif-induktif. Hanya bagi orang awam memang belum waktunya untuk berpikir tentang Zat Allah. Sementara itu para filosuf banyak berbincang dan menulis secara ekstensif tentang Zat Allah, karena mereka pasca memikirkan khalq Allah itu sendiri.***


(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up