Orang sering memandang usia balita sebagai usia permainan dan dianggap tidak ada hal penting yang dapat dipetik pelajaran darinya. Bahkan dalam hal kedewasaan, umumnya orang mengukur kedewasaan seseorang dari sisi usia atau umur. Semakin berumur atau semakin tambah umur, seseorang dianggap semakin lebih dewasa daripada orang yang lebih muda. Ketika anak muda melakukan kesalahan, orang mengatakan “maklum masih muda”, atau “maklum belum berpengalaman”, atau “masih belum cukup umur”, dan ungkapan-ungkapan sejenis lainnya. Dengan logika itu, maka dapat disimpulkan setiap orang tua (bukan orangtua) pasti dewasa.
Apa kenyataannya memang demikian? Atau dengan kata lain, apa bertambahnya usia seseorang selalu diiringi dengan sikap kedewasaan? Menurut saya logika tersebut tidak selalu benar. Sebab, dalam kenyataannya banyak orang yang sudah sangat senior tidak dewasa dalam menghadapi sesuatu atau malah jiwa kekanak-kanakannya sesekali masih muncul. Sebaliknya, saya menyaksikan tidak sedikit orang yang masih relatif muda bisa menunjukkan sikap dewasa dalam menghadapi masalah, lebih-lebih yang terkait dengan profesi kerjanya.
Jika kita amati lebih dekat, usia atau umur bukan ukuran kedewasaan seseorang. Para pemerhati anak menyimpulkan bahwa sebenarnya anak-anak balita justru lebih dewasa dan mampu menghargai diri sendiri dengan baik. Perhatikan saja ketika anak-anak sedang bermain-main. Mereka dengan sendirinya akan berhenti bermain di saat merasa lelah untuk beristirahat. Di saat mereka lapar atau haus di saat itu pula mereka meminta makan atau minum tanpa perasaan sungkan atau takut. Ketika mereka merasakan sesuatu yang tidak disukai, mereka juga dengan jujur mengatakan “tidak suka”. Begitu juga ketika mereka kecewa terhadap sesuatu hal, dengan sesuka hati mereka menangis tanpa mempedulikan kondisi yang ada di sekelilingnya. Anak-anak lebih dewasa dalam hal memenuhi kebutuhan dirinya agar bahagia.
Sikap kepolosan anak-anak sebenarnya adalah kejujurannya. Anak-anak belum terkontaminasi oleh berbagai persoalan hidup, sehingga mereka bisa melakukan atau mengatakan apa adanya. Menurut saya anak-anak lebih bisa menunjukkan sikap “diri” mereka ketimbang orang dewasa, dalam artian mampu melakukan sesuatu apa adanya. Banyak kasus kejahatan terungkap dari pengakuan anak-anak. Dalam mengungkap kejahatan, polisi sering menggunakan anak sebagai informan.
Hal yang sama juga ditunjukkan orang-orang lanjut usia (lansia). Kita sering kali salah memaknai bahwa orang-orang lanjut usia itu sudah tinggal menunggu kematian belaka, dan tidak mempedulikan mereka. Dalam bahasa sederhana, para lansia itu tidak lain adalah orang-orang yang sudah pikun dan tidak ada lagi manfaatnya bagi kehidupan. Bahkan saya menyaksikan sendiri di salah satu negara di Eropa para orang lanjut usia dikumpulkan di kompleks orang-orang jompo dan dianggap sebagai orang-orang tak berguna. Mereka terpisah dari sanak keluarga baik secara fisik maupun psikis.
Saya pernah mewancarai salah seorang ibu penghuni panti jompo yang kebetulan lahir di Indonesia dan hijrah ke salah satu negara di Eropa itu karena ikut penjajah dulu. Dia masih ingat nama saudara-saudaranya, tetapi tidak tahu di mana mereka sekarang berada. Ibu yang sudah tua renta itu meneteskan air mata ketika saya bertanya apa tidak ingin pulang saja ke Indonesia. Dia mengatakan sangat ingin pulang ke Indonesia dan bisa meninggal di Indonesia suatu saat. Suaminya yang kebetulan orang Belanda sudah meninggal beberapa tahun lalu di panti jompo juga. Tetapi dia tidak tahu akan menghubungi siapa. Ketika saya tanya apa tidak punya anak dan apa mereka tidak mau merawatnya? Dia mengatakan memiliki dua anak, dan mereka hanya mengunjungi setahun sekali di hari Natal saja, karena kesibukan bekerja. Dari raut mukanya terpancar kegelisahan dan penderitaan karena terpisah dari sanak saudaranya.
Tetapi apa memang orang-orang tua yang ada di panti-panti jompo itu dipahami sebagai manusia-manusia yang sudah tidak berguna, sehingga mereka tidak dihiraukan? Seperti para pemerhati anak balita, pemerhati kejiwaan dan perilaku orang tua juga menemukan hal yang sama bahwa sebenarnya dari para orang-orang lanjut usia bisa ditemukan inspirasi yang berguna bagi orang-orang yang usia produktif untuk menata ritme hidup. Dalam usia senja dan ketika tidak banyak lagi aktivitas yang dilakukan sebagaimana ketika masih muda dulu, banyak orang tua menghabiskan waktu dengan aktivitas spiritual keagamaan atau aktivitas-aktivitas sosial yang bermanfaat bagi orang banyak. Saya menyaksikan orang-orang lansia yang rajin beraktivitas sosial justru lebih sehat ketimbang mereka yang tingal di rumah tanpa aktivitas berarti.
Di usia-usia produktif, orang sering melupakan kebutuhan diri secara kejiwaan. Mereka sibuk bekerja membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan diri secara material. Padahal, kebutuhan hidup tidak hanya berupa materi. Mereka akan menyadari pentingnya kebutuhan jiwa ketika masa muda sudah mereka tinggalkan. Kita juga sering menyaksikan para lansia tekun beribadaha ke masjid atau atau ke tempat-tempat peribadatan lainnya. Sebenarnya saat itu kita sedang menyaksikan bahwa dari para orang lanjut usia ada pelajaran yang kita petik, yakni keinginan mereka untuk mengisi jiwa sebagai bekal menghadap sang Khalik kelak. Mereka tidak perlu lagi uang yang banyak, harta yang melimpah, status sosial atau jabatan tinggi. Yang mereka perlukan adalah kekayaan jiwa, utamanya adalah nilai-nilai spiritualitas. Oleh karena itu, ada baiknya kita belajar dari perilaku anak-anak balita dan para orang lanjut usia, yang selama ini mungkin kita abaikan. Dari anak-anak balita kita belajar kejujuran lewat kepolosannya. Demikian pula, dari orang-orang tua kita belajar bagaimana mengisi hari tua dengan aktivitas untuk mengisi kekosongan jiwa. Selamat merenung!
___________
Malang, 10 Agustus 2015