Sering kali terjadi di balik kesuksesan seseorang ada kisah menarik yang dapat dijadikan pengalaman dan pelajaran berharga bagi yang lain. Al kisah, seorang pemuda bernama Rudi, umurnya sekitar 35 tahun, berperawakan kurus dan kecil, berasal dari Banyuwangi dan berpendidikan terakhirnya hanya SMP karena keterbatasan ekonomi orangtuanya. Orangnya ramah dan mudah akrab dengan siapa saja. Pagi itu saya meninggalkan hotel MESRA, tempat kami menginap selama 3 hari menghadiri pertemuan pimpinan PTKIN eks Sunan Ampel di IAIN Samarinda. Kami meninggalkan hotel pukul 8.00 waktu setempat. Diperlukan waktu kurang lebih 2 jam dari Samarinda ke Balikpapan.
Ketika kami berniat menghubungi taksi yang akan kami sewa menuju bandara Balikpapan, tiba-tiba panitia memberi tahu bahwa tuan rumah (IAIN Samarinda) telah menyediakan sebuah mobil kijang Innova yang akan mengantar kami ke bandara. Mobilnya berwarna silver dan tampak masih baru. Begitu mobil mulai meluncur, kami berbincang akrab sambil berkenalan. Mas Rudi, begitu saya memanggilnya, sangat terbuka. Seolah-olah ingin menumpahkan pengalaman dan kisah hidupnya, Mas Rudi sangat bersemangat menceritakan perjalanan hidupnya mulai A hingga Z.
Kisahnya dimulai ketika Mas Rudi ingin menjadi seorang TKI ke Korea bersama teman-temannya. Dorongan yang kuat Mas Rudi untuk menjadi seorang TKI diinspirasi oleh kisah sukses seorang TKI di desa tetangganya. Bersama-sama teman-teman sekampunya, Mas Rudi menghubungi sebuah jasa penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di kota kelahirannya. Untuk bisa menjadi TKI ke Korea, lembaga pengirim jasa TKI itu menarik biaya Rp. 20. Juta per orang. Karena sangat percaya dengan lembaga pengirim jasa TKI itu dan iming-iming kesuksesan hidup sebagaimana TKI desa tetangganya, orangtua mas Rudi mengusahakan biaya Rp. 20 juta itu dengan menjual 6 ekor sapi yang dimiliki keluarga itu. Bagi orangtua Rudi menjual 6 ekor sapi tentu sangat berat, karena sebagaimana diketahui sapi merupakan binatang piaraan warga desa yang sangat bernilai tinggi, bahkan merupakan simbol kekayaan. Bagi sebagian orang desa, seseorang belum dianggap kaya jika tidak memiliki binatang piaraan berupa sapi alau lembu.
Bersama 5 temannya, Rudi mengumpulkan uang Rp. 20 juta kali lima orang, sehingga terkumpul uang sejumlah Rp. 100 juta untuk diserahkan ke petugas PJ TKI. Setelah uang diserahkan dan urusan administrasi beres, Mas Rudi dan kawan-kawan diberangkatkan ke Jakarta, yang menurut salah seorang petugas PJ TKI itu untuk diberi pelatihan dan pengarahan selama bekerja di Korea layaknya para calon TKI lainnya. Keberangkatan 6 pemuda desa ke Jakarta itu disambut gembira oleh semua warga desa tempat Rudi tinggal. Semua memberi doa tulus dengan harapan mereka sukses dan kelak pulang dengan membawa ratusan juta rupiah, sebagaimana berita yang selama ini mereka terima dari para TKI desa tetangga.
Akhirnya dengan diantar seorang petugas PJ TKI sampailah 6 pemuda desa itu ke Jakarta dengan perasaan bangga dan bahagia. Selain seumur-umur belum pernah melihat Jakarta, mereka sangat bahagia karena merasa akan segera menuju negara tujuan untuk bekerja sebagai TKI. Setelah dua hari di Jakarta, petugas dari PJ TKI itu pamit akan membeli makan di warung tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Apa yang terjadi di balik pamitan petugas PJ TKI itu? Ternyata dia pergi untuk menghilang dengan membawa semua uang uang dikumpulkan pemuda desa yang sedianya akan bekerja di Korea itu.
Malang benar nasib mereka. Bayangan sukses mendulang uang di negeri orang pupus sudah dan berganti dengan petaka yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Mereka bingung antara tetap bertahan di Jakarta atau kembali ke kampung halaman. Akhirnya mereka harus menerima kenyataan pahit dan memutuskan kembali ke desa dengan rasa malu dan putus asa. Ketika mengetahui para calon TKI itu kembali ke desanya, warga gempar dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak bisa menutupi peristiwa naas yang baru saja mereka alami. Mereka mengaku telah ditipu orang yang mengaku petugas PJ TKI. Semua uang yang mereka kumpulkan dari menjual apa saja yang mereka miliki dibawa lari oknum yang tidak manusiawi itu.
Teman-teman Rudi kembali menekuni pekerjaan lama, yakni bertani, sedangkan Rudi memutuskan ingin tetap merantau walau tidak harus ke luar negeri. Rudi bukan jenis pemuda cengeng yang terus meratapi peristiwa yang baru saja dialami. Dia bangkit untuk mengarungi hidup dan merasa bahwa semua belum berakhir. Dia pamit ke ibunya, dan kepada ibunya dia minta sesuatu. Sesuatu ialah doa restu dan ingin membasuh kedua kaki ibunya. Rudi mengambil segelas air yang baru dipakai membasuh kaki ibunya itu dan meminumnya sebagai wujud sikap hormat dan merasa sangat berdosa karena uang yang dikumpulkan ibunya ditipu orang.
Berbekal uang secukupnya, Rudi meninggalkan kampung halamannya lagi dan tidak jelas ke mana dia akan pergi untuk merantau. Tiba-tiba hatinya tertuju pada sebuah pulau yang juga belum pernah mereka kunjungi, yaitu Kalimantan. Rudi menuruti isi hatinya dan menuju pelabuhan untuk naik kapal yang bisa mengantarkan ke pulau yang dituju itu. Wal hasil Rudi selamat sampai ke tempat tujuan. Sesampai di pulau yang dimaksud, Rudi bingung harus tinggal di mana dan menemui siapa. Pemuda lajang itu menuju sebuah masjid di Balikpapan. Di siang hari, dia keliling mencari pekerjaan dan di malam harinya tidur di masjid. Ulah Rudi diketahui sebagian jama’ah masjid dan akhirnya ditanya dia itu siapa dan mau ke mana. Pertanyaan yang sulit dijawab.
Tiba-tiba ada salah seorang jama’ah masjid yang iba melihat Rudi. Dia meminta Rudi tinggal di rumahnya sampai saatnya dia bisa hidup mandiri. Tentu saja Rudi sangat bahagia menerima tawaran itu. Setidaknya sekarang Rudi sudah memiliki orang yang dianggap sebagai orangtuanya. Rudi mulai ditawari pekerjaan sebagai kuli bangunan. Dia menerima pekerjaan tersebut. Tetapi fisiknya tidak cukup kuat untuk bekerja sebagai kuli bangunan dan hanya bertahan selama beberapa minggu. Rudi akhirnya meninggalkan pekerjaan itu. Dia bergabung dengan sebuah perusahaan penggergajian kayu di tengah hutan.
Selama enam bulan Rudi berada di tengah-tengah hutan lebat Kalimantan bersama kawan-kawan barunya. Tiba-tiba salah seorang kawannya terserang penyakit malaria. Karena di tengah hutan dan semua pada sibuk bekerja, teman yang sakit itu semakin parah. Melihat kondisi temannya yang semakin parah, Rudi bergegas memapahnya keluar hutan untuk dibawa ke rumah sakit, atau setidaknya Puskesmas. Ternyata untuk sekadar mencari Puskesmas saja sulitnya bukan main. Puskesmas yang terdekat masih berjarak puluhan kilometer dari tempat kerja Rudi dan kawan-kawan, apalagi rumah sakit. Karena kondisi sakitnya sudah sangat kronis, kawan itu akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam pangkuannya sebelum sampai ke tempat pengobatan. Dalam kesendirian, Rudi pun menangis tidak henti-hentinya memikirkan nasib kawannya yang malang itu. (Bersambung)