Menyelesaikan persoalan apapun, termasuk persoalan bangsa, bisa lewat akal dan atau hati. Tentu di antara keduanya pasti hasilnya berbeda. Akal selalu mempertimbangkan antara untung atau rugi, cepat atau lambat, mudah atau sulit, beresiko atau tidak, dan sejenisnya. Sementara itu, hati nurani selalu mempertimbangkan baik atau buruk, manusiawi atau tidak, jujur atau tidak jujur, adil atau tidak adil, dan seterusnya.
Setiap manusia memiliki dua peranglkat tersebut, yaitu akal dan sekaligus hati. Keduanya akan memberikan pertimbangan dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Orang-orang tertentu lebih mengedepankan akalnya, sedangkan sementara lainnya lebih mengedepankan hatinya. Jika yang dikedepankan adalah akalnya, maka hasilnya akan berbeda dari umpama yang dikedepankan adalah hatinya. Dan tentu, akan menjadi sempurna jika keduanya digunakan secara seimbang.
Menyelesaikan persoalan ekonomi yang sedang merosot seperti sekarang ini misalnya, jika yang digunakan hanya akal belaka, maka bisa saja akan segera selesai, tetapi pilihan itu bisa jadi ada sebagian orang yang merugi atau pada jangka panjang membahayakan bagi bangsa sendiri. Akal selalu mengatakan bahwa yang terpenting usahanya selesai dengan cepat, mudah, dan menguntungkan. Sementara itu, hati selalu mempertimbangkan kebaikan, kejujuran, keadilan, dan keselamatan, dan kearifan.
Jika pendidikan juga diselesaikan dengan pertimbangan akal belaka maka yang diperoleh juga hanya sebatas kulit atau wilayah formalnya. Bagi akal selalu mencari yang mudah, menguntungkan, dan bisa dipertanggung jawabkan. Akhirnya bisa saja pendidikkan hanya dimaknai sebatas terpenuhinya target, perolehan ijazah, terserapnya anggaran, dan sejenisnya. Lewat kebijakan yang hanya menggunakan akal, maka banyak orang akan segera mendapatkan ijazah, angka partisipasi pendidikan meningkat, buku teks bisa terselesaikan dan laporan bisa dibuat. Pendekatan itu hasilnya belum tentu menyelesaikan masalah pendidikan yang sebenarnya. Orang berhasil memiliki ijazah tetapi belum tentu pikiran dan hatinya telah tergambar dalam ijazah yang dipegangnya.
Demikian pula menyelesaikan persoalan tenaga kerja. Jika menggunakan akal akan sangat mudah selesai. Dikirim saja tenaga kerja sekalipun tanpa pendidikkan dan ketrampilan ke berbagai negara yang membutuhkan. Dengan cara itu, angka pengangguran menurun, negara bisa mendapatkan devisa, dan seterusnya. Akan tetapi resikonya juga cukup besar, yaitu misalnya harkat dan martabat bangsa menjadi tidak lebih tinggi dibanding bangsa yang menampung tenaga kerja murahan itu, para pekerja dimaksud akan diperlakukan semena-mena bagaikan orang terjajah, dan seterusnya.
Jangankan mengurus bangsa, sedangkan merawat anak-anaknya sendiri di rumahnya, jika hanya mempertimbangkan akal belaka juga tidak cukup. Misalnya, anak-anaknya dimasukkan ke sekolah unggulan, pulang pergi dijemput, disediakan pembantu, apa saja dilayani dengan pendekatan transaksional, maka ternyata hasilnya juga hanya generasi yang cerdas otaknya tetapi lemah kekuatan hatinya. Akhirnya anak dimaksud menjadi nakal, liar, tidak mengetahui cara berkomunikasi dengan orang tuanya, dan apalagi dengan orang lain. Itulah anak yang dididik hanya dengan akal dan tidak mengikut sertakan hati nuraninya.
Persoalan bangsa ini harus diselesaikan dengan akal dan sekaligus hati nurani. Jika kedua pinanti itu digunakan secara seimbang, maka persoalannya menjadi selesai dan tidak melahirkan persoalan baru. Hati selalu mengajak pada keadilan, kejujuran, kedamaian, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Adanya kesenjangan, bahwa antara orang kecil dan atau rakyat biasa terasa terabaikan, adalah merupakan hasil dari kerja yang hanya mempertimbangkan kekuatan akal. Berbeda dengan hati nurani, ia selalu mengajak kepada siapa saja untuk berbuat jujur, adil, menghasilkan kebaikan, dan menghindari kerusakan. Contoh sederhana yang terjadi pada akhir-akhir ini, ialah ditemukannya ijazah palsu yang sangat memalukan adalah tidak lain oleh karena pendidikan hanya diurus atas pertimbangan akal dan mengabaikan hati nurani. Wallahu a'lam.