Hari itu, Senin, 7/12/2015, sekitar pukul 19. 30 WIB usai pulang dari masjid untuk menunaikan sholat isya’, saya membuka Hand Phone (HP) yang saya tinggal di meja ruang tamu. Di HP saya ada tanda beberapa kali panggilan (miss call) dari beberapa teman kantor. Saya menduga pasti ada kabar penting, sehingga segera menghubungi balik semua kawan yang kontak saya itu. Anehnya tak ada satupun yang mengangkat telpon. Saya semakin penasaran ada apa gerangan. Sesaat kemudian ada nada dering kiriman berita melalui pesan singkat (SMS) dan WA. Betapa terkejutnya karena di berita itu tertulis “inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun. Telah berpulang ke rahmatullah sahabat, guru dan senior kita Prof. Dr. H. Muhaimin, MA, di RSI Malang”. Secara spontan, saya agak marah dan menulis respons balik “Kalau ngajak guyon jangan begitu lah. Kok seperti gak ada yang lain saja”, begitu bunyi kalimat balasan yang saya tulis.
Beberapa saat kemudian, ada telpon masuk ke HP saya dan mengabarkan bahwa salah seorang kawan, sahabat dan guru besar kampus kita “Prof. Dr. H. Muhaimin, MA” meninggal dunia. Saya teriak karena hampir tidak percaya. Sebab, paginya kami masih saling kontak menanyakan kesehatan masing-masing. Selain itu, beliau juga memberi tahu akan pergi ke Malaysia esuk harinya (Selasa, 8/12/2015) bersama mahasiswa S3 dengan beberapa dosen pembimbing. Di tengah ketidakpercayaan itu, beberapa SMS dan telpon masuk lagi dan mengabarkan hal yang sama. Akhirnya, saya tidak bisa lagi mengelak bahwa kabar itu benar adanya. Segera saya berucap “inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun” bahwa sesungguhya kita ini milik Allah dan kepadaNya kita kembali”. Berita itu bagaikan petir di siang bolong!
Tidak lama setelah memperoleh kepastian kabar itu, saya segera meluncur ke rumah duka bersama kawan yang kebetulan malam itu berkunjung ke rumah saya. Kebetulan rumah saya tidak terlalu jauh dari rumah almarhum. Hanya memerlukan waktu sekitar palimg lama 10 menit. Ketika tiba di rumah duka, saya menyaksikan rumah almarhum sudah dipenuhi kerabat, teman-teman kantor, dan warga kampung. Saya mendengarkan obrolan mereka kurang lebih sama, yakni tentang kepergian yang begitu tiba-tiba. Semua terkejut dan bersimpati yang amat dalam. Sebab, baru sebulan lalu keluarga itu berduka dengan kepergian putra bungsu almarhum. Sekitar 4 bulan sebelumnya kakak ipar Prof. Muhaimin, Drs. H. Abdul Ghofir, mantan dosen UIN Malang juga meninggal. Jadi rasa duka keluarga itu seolah beruntun.
Seorang kawan, dan sahabat dekat, ahli pendidikan Islam, dan salah seorang guru besar yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang itu menghembuskan nafas terakhir dan menghadap sang Pencipta di usia 59 tahun, usia yang masih sangat produktif bagi seorang pendidik. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sungguh kehilangan sosok akademisi hebat yang rendah hati, tidak suka konflik, dan selalu ngalah dengan teman-temannya dalam banyak hal. Dalam konstalasi perpolitikan kampus, beliau selalu menjauh dan tidak ingin masuk dalam arena kompetisi. Rasanya saya sangat sulit menemukan sosok seperti beliau, khususnya di Universitas tempat saya bekerja.
Prof. Muhaimin menghabiskan sepanjang hidupnya untuk mengabdikan diri di bidang pendidikan Islam dengan menjadi dosen, tidak saja di almamaternya sendiri, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, tetapi juga di banyak perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi Islam. Prof. Muhaimin, begitu panggilan akrabnya di kampus, adalah sosok akademisi hebat dan berdedikasi sangat tinggi di bidang keilmuannya, yakni pendidikan Islam. Itu terbukti dari karyanya yang sangat banyak di bidang itu, dan tidak mau masuk ke bidang-bidang lain yang tidak dikuasai. Saya menyimpulkan beliau sebagai akademisi mono disiplin yang tangguh dan sangat tekun.
Tidak seperti akademisi-akademisi lainnya yang bisa mengajar apa saja, Prof. Muhaimin hanya mau mengajar dan membimbing mahasiswa di bidang ilmu yang dikuasai, yakni pendidikan Islam. Selain itu, beliau tidak mau. Itu bukti bahwa beliau adalah akademisi profesional yang selalu menjaga kedisiplinan ilmu yang menjadi bidang keahliannya. Saat ini beliau menjabat sebagai direktur Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Bagi Pascasarjana, khususnya, kepergian beliau sungguh kehilangan yang luar biasa, karena saat ini Pascasarjana sedang memerlukan sosok akademisi tangguh untuk mengembangkannya. Dan, Prof. Muhaimin adalah sosok yang paling tepat memimpin Pascasarjana saat ini.
Kepergian beliau yang begitu mendadak sangat menghentak semua koleganya. Bagaimana tidak! Tidak ada firasat apa-apa, bahkan sore harinya masih mengajar seperti biasa. Senin pagi juga masih kontak saya lewat WA, dan segera saya respons balik dengan menelpon langsung. Dalam pembicaraan lewat telpon itu, tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa sore harinya akan pergi untuk selamanya. Tetapi memang beberapa hari terakhir saya sempat berpikir dalam hati beliau kok kelihatan lebih putih dan agak pucat dari biasanya. Saya pun segera sadar karena baru sekitar 1 bulan lalu ditinggal salah seorang putra kesayangannya. Beliau tampak sangat shocked atas kepergian putra bungsunya itu. Menurut ceritera teman-teman sekantor, Prof . Muhaimin masih sering menyebut-nyebut putra bungsunya itu. Tentu itu wajar. Putranya yang masih sangat muda (usia 28 tahun) pergi untuk selamanya di tengah-tengah kariernya yang sedang tumbuh sebagai salah seorang audit BPK handal.
Prof Muhaimin meninggalkan kita semua dengan kenangan indah. Kita harus ikhlas melepasnya dengan iringan doa semoga semua jasa dan jerih payahnya sebagai dosen diterima Allah sebagai amal sholeh. Kita harus ikhlas, sebab pada hakikatnya satu per satu kita dalam antrian dan akan menyusulnya. Tentang waktunya hanya Allah yang tahu.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan menulis ulang komentar beliau lewat WA yang dikirim ke saya Senin pagi, 7 Desember 2015, setelah saya mengabarkan berita bahwa saya telah diberitahu Menristek dikti bahwa usulan pembukaan Jurusan Kedokteran kita lolos dari Kemenrsitek dikti. Beliau sangat tampak sangat bersyukur dan menyambutnya gembira. Berikut pesan terakhir beliau dalam tulisan aslinya:
“alhamdulillahi rabbil alamin. our rector’s struggle was success, so we’re
all very glad and happy فاذا فرغت فانصب و الى ربك فارغب”
Begitulah pesan terakhir beliau melalui WA di Grup Pasca yang ditulis dalam bahasa Inggris. Memang beliau sering menggunakan bahasa Inggris dalam komunikasi dengan saya (dulu lewat SMS) . Jika dicermati, ada beberapa pesan yang tersirat. Pertama, rasa syukur yang disampaikan dengan kata “alhamdulillahi rabbil alamin. Ada sikap apresiatif atas pencapaian yang kita raih dengan menggunakan kata “struggle”, yang artinya perjuangan. Ada rasa sangat bahagia yang diungkapkan dengan menggunakan dua kata yang sebenarnya artinya sama, yakni “glad and happy”. Lebih dari itu ada pesan penting bahwa perjuangan masih panjang dengan mengutip ayat terakhir surat Ash-Sharh.. “..................”. Artinya, Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”.
Itulah pesan terakhir almarhum yang hingga saat ini masih saya simpan dengan rapi. Almarhum meninggalkan kita semua di saat-saat Universitas kita sedang tumbuh dan memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Beliau tidak saja berharap perjuangan harus diteruskan, tetapi juga semua dilakukan dengan serius. Sebab, hanya dengan keseriusan keberhasilan akan diraih. Selamat jalan guru, sahabat, dan salah seorang arsitek pengembangan Universitas kita tercinta. Menghadaplah kepada Tuhan, Allah Yang Maha Esa, dengan berbekal amal sholeh dari kerja mulia sebagai pendidik yang setia. Semoga kita berjumpa kelak di alam sana, tetapi kita tidak tahu kapan waktunya. Amin3x ya robbal alamiin.
__________
Penerbangan Juanda- Cengkareng,
16 Desember 2015