Seringkali kita mendengar keluhan orang tua yang disebabkan oleh karena anaknya terlibat pertengkaran. Sekedar mendengar bahwa anaknya terlibat perkelaihan saja, orang tua merasa sedih dan malu. Mereka khawatir, dinilai tidak mampu mendidik anak-anaknya. Bagi orang tertentu, bertengkar dianggap jelek dan hanya pantas dilakukan oleh binatang.
Anggapan tersebut merata, diarasakan oleh banyak orang, sehingga jika terdapat anak yang suka bertengkar disebut anak nakal. Berbagai jenis kenakalan yang mengelisahkan orang tua, misalnya perkelahian, tawuran, mengganggu orang lain, dan lainnya. Perbuatan yang tidak menyenangkan itu biasa dilakukan oleh antar geng, antar kelompok, dan bahkan juga antar sekolah. Jika terjadi perkelahian semacam itu, orang tua merasa malu.
Namun pada akhir-akhir ini anehnya, perkelahian itu tidak saja dilakukan oleh anak-anak remaja, anak sekolah, dan atau antar geng atau kelompok, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang tua dan terhormat. Perkelahian dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa. Berkelahi dianggap sebagai bagian dari proses kehidupan yang tidak perlu dijauhi dan apalagi dicegah.
Oleh karena itu, di zaman modern seperti sekarang ini, kita bisa dengan mudah menyaksikan perkelahian antar orang, dan bahkan tidak tanggung-tanggung, yakni antar pemimpin bangsa, baik yang berada di lembaga eksekutif, legislatif, maupun di yudikatif. Mungkin mereka berdalih, apa yang dilakukan itu sebagai upaya mencari kebenaran. Dengan demikian, mungkin saja niatnya itu baik, yakni ingin memberi contoh berdemokrasi, tetapi apa yang dipertontonkan itu sebenarnya memiliki efek negatif yang luar biasa.
Jika konflik terbuka dimaksud dilakukan, maka sebenarnya ada pertanyaan yang tidak mudah dijawab, yaitu terkait dengan ketauladanan sebagai orang tua dan sekaligus juga sebagai pemimpin. Bagaimana orang tua dan apalagi para pemimpin akan memberikan nasehat kepada anak-anak, remaja atau generasi muda, jika mereka sendiri sehari-hari menjalankannya. Selain itu jika konflik atau permusuhan itu sehari-hari dipertontonkan, maka akan tertanam pengertian bahwa bertengkar, adu mulut, berperilaku garang terhadap sesama, dan sejenisnya akan dikira diperbolehkan dalam kehidupan ini. Padahal tidak demikian itu halnya.
Mengingatkan terhadap kesalahan adalah hal seharusnya dilakukan. Sebab dalam kehidupan tidak ada orang yang sepenuhnya benar dan juga sebaliknya tidak ada orang yang semua perilakunya salah. Siapapun yang menjalani kehidupan ini selalu berada di antara kesalahan dan kebenaran, apapun posisi dan jabatannya. Maka itulah sebabnya, seharusnya setiap orang agar saling menasehati tentang kebenaran dan kesabaran.
Islam menjelaskan bahwa manusia selalu berada pada kealpaan dan kesalahan. Agama yang dibawa oleh nabi Muhammad juga menganjurkan agar antar sesama saling berwasiat atas kebenaran dan kesabaran itu. Islam tidak menganjurkan agar saling membenci, bermusuhan, mencaci-maki, merendahkan, dan apalagi saling bunuh-membunuh. Saling berprasangka buruk saja, --dalam ajaran Islam, tidak diperbolehkan. Apalagi, bermusuh-musuhan.
Namun anehnya, dalam kehidupan bermasyarakat, pada akhir-akhir ini kegiatan menjebak, mengintai orang lain berbuat salah, suudzan, dan semacamnya di sana-sini, ternyata banyak dilakukan. Maka, muncul istilah bahwa seseorang terkena jebak, tertangkap basah, dan atau lainnya. Menangkap orang sedang melakukan kesalahan dianggap sukses dan berprestasi. Padahal, di antara sesama, bukankah seharusnya saling mengingatkan dan berwasiat tentang kebenaran, agar semua menjadi selamat.
Memberantas kejahatan atau kemungkaran memang harus dilakukan oleh siapa saja, terhadap siapa saja, dan kapan saja. Akan tetapi, menjalankannya harus dilakukan dengan bijak atau penuh kearifan. Jika tidak, maka akan terjadi konflik, balas dendam, permusuhan, dan bahkan dampak negatif lainnya yang lebih jauh. Selain itu, bangsa ini akan disebut sebagai bangsa yang suka bertengkar, dan pertengkaran itu akan benar-benar menjadi tidak mengenal umur. Wallahu a'lam