Menjadikan Semangat Beribadah Sebagai Motivasi Kerja
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Sabtu, 16 Januari 2016 . in Dosen . 3500 views

Banyak institusi sosial berbasiskan agama tetapi tidak berhasil menjadikan ibadah sebagai motivasi kerja. Ibadah seharunsnya diyakini bersifat transendental, sehingga tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Sebagai ibadah maka pekerjaan, tugas, atau apapun nama yang dimaksudkan itu seharusnya dilakukan dengan kualitas terbaik. Tidak selayaknya persembahan kepada Dzat Yang Maha Kuasa dilakukan sekedarnya atau asal-asalan.

Jika amanah atau pekerjaan dilalukan dengan semangat ibadah, artinya dilakukan dengan kualitas terbaik, maka akan membuah hasil terbaik pula. Dengan demikian, institusi apa saja yang berbasis agama seharusnya juga menjadi yang terbaik. Namun pada kenyataannya tidak selalu seperti gambaran ideal itu. Tidak sedikit bisa disaksikan institusi berbasis agama justru menampakkan kualitas sebaliknya, rendah dan atau apa adanya.

Kenyataan tersebut seringkali digugat. Dianggapnya tidak ada konsistensi antara ajaran yang sedemikian ideal dengan apa yang terjadi pada kehidupan nyata sehari-hari. Bahkan ajaran tentang kedamaian dan keselamatan yang dijanjikan oleh agama ternyata yang terjadi di masyarakat beragama sendiri adalah sebaliknya. Di komunitas masyarakat agama ternyata tidak selalu berhasil menunjukkan suasana aman, tetapi justru terjadi banyak konflik, perang, miskin, dan tertinggal. Atas kenyataan itu, sementara orang mempertanyakan, apa sebenarnya yang keliru dan harus diperbaiki. Ajaran agamanya atau pemeluknya yang tidak sanggup memahami ajaran yang indah itu.

Di tengah-tengah sulitnya mencari bukti tentang konsep ibadah yang mampu melahirkan karya-karya berkualitas, saya masih menemukan komunitas yang tergabung dalam organisasi Islam, yaitu pada Jam'iyyatul Islamiyah, ternyata mampu menunjukkan gambaran ideal itu. Sekalipun belum terlalu lama berkenalan dan bergabung dengan organisasi dimaksud, saya merasakan kualitas itu. Apa yang saya rasakan dimasud ditunjukkan oleh para kekerja di organisasi itu. Saya menyaksikan sendiri para pengemudi, pelayan kantor, petugas keamanan, hingga petugas kebersihan menjalankan tugas atas motivasi ibadah dan dijalankan oleh mereka secara profesional dan sebaik-baiknya.

Apa yang saya lihat, yakni para pengemudi yang bertugas menjemput tamu, menjaga kebesihan, keamanan, dan juga yang lainnya melakukan pekerjaan sebaik-baiknya. Semua pekerjaan pada setiap haarinya, selain dilakukan dengan sungguh-sungguh, juga ditunjukkan dengan suasana ikhlas dan penuh kegembiraan. Menurut pengamatan saya dan juga penjelasan banyak orang di tempat itu, bahwa tidak pernah terdengar keluhan atas tugas yang harus dilaksanakannya. Mereka mengaku merasa beruntung bisa bergabung dan bekerja di tempat itu. Dengan bekerja di tempat itu, mereka merasa memperoleh berbagai keuntungan, yaitu misalnya bisa bekerja, beribadah, dan memperoleh tambahan ilmu.

Saya berkeyakinan bahwa sikap mental yang terbangun di ingkungan organisasi itu adalah buah dari ajaran agama yang ditangkap oleh mereka dari tempat itu. Bekerja dipandang sebagai ibadah. Dikatakan bahwa ibadah harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, ikhlas, dan terbaik. Nilai itu, menurut pengakuan mereka, diperoleh dari para pimpinan atau atasannya. Para pimpinan di organisasi itu juga sekaligus dianggap sebagai guru dan tauladan hidupnya. Sebagai seorang guru, mereka tidak sekedar memberi nasehat, tetapi lebih dari itu adalah juga memperhatikan, empatik, bimbingan, dan memberikan ketauladanan.

DI lingkungan kantor organisasi yang dimaksudkan itu, bagi setiap orang diberi tugas sebagaimana kesanggupannya. Sebagai ibadah, maka apa yang dikerjakan mereka berharap mendapatkan imbalan pahala dari Dzat Yang Maha Kuasa. Pahala yang dimaksudkan itu diyakini bukan terkait pada posisi mereka di dalam struktur organisasi, melainkan sangat tergantung pada keikhlasan hati masing-masing. Sekalipun hanya bertugas sebagai pekerja kebersihan misalnya, namun ketika pekerjaan itu ditunaikan dengan sebaik-baiknya, sabar, dan ikhlas, maka pahalanya diyakini tidak kalah besar dibanding dengan orang lain yang menduduki posisi pada struktur lebih tinggi. Terkait pahala tidak sama dengan gaji yang diterima oleh seseorang disesuaikan dengan posisinya. Besar kecilnya pahala akan tergantung pada tingkat keikhlasannya dan bukan pada jabatannya.

Motivasi yang berhasil ditanamkan pada organisasi dimaksud ternyata mampu membuahkan budaya kerja yang produktif. Para pekerja atau petugas berusaha menunaikan amanahnya secara maksimal dan terbaik. Mereka tidak berlomba-lomba berprestasi pada ukuran formal dan bahkan sebatas yang kelihatan, melainkan hingga yang lebih subsantatif. Mereka berusaha agar orang lain atas hasil kerjanya itu merasa puas dan senang. Sebagai buah kesungguhan dan keikhlasan bekerja mereka terasakan sekali. Selain itu juga tampak bahwa apa yang mereka lakukan menunjukkan suasana kejernihan dan kesehatan hatinya.

Mengamati budaya kerja di organisasi Jam'iyyatul Islamiyah dimaksud, dan membandingkan dengan di banyak organisasi lainnya, saya berkesimpulan bahwa semangat ibadah baru akan melahirkan motivasi kerja jika ada ketauladanan, konsistensi pimpinannya, dan ada nilai yang dipahami dan diwujudkan bersama. Kegagalan dari kebanyakan institusi berbasis agama dalam meraih kemajuan rupanya disebabkan oleh karena nilai-nilai yang tinggi dan mulia belum disempurnakan dengan adanya sosok tauladan dan kepemimpinan yang tepat. Atau dalam bahasa lain, setinggi atau seindah apapun nilai kehidupan jika tidak terdapat faktor lain, yaitu kepemimpinan dan ketauladanan, maka hal itu tidak akan membuahkan sesuatu yang ideal, termasuk menjadikan semangat kerja sebagai bagian dari ibadah. Wallahu a'lam.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up