(Tulisan 1)
Rabu, 24 Februari 2016 barangkali menjadi salah satu hari yang sangat bersejarah bagi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Pasalnya, pada hari tersebut Imam Besar Al-Azhar, seorang intelektual dan ulama besar, bahkan menurut sebuah survei merupakan salah seorang dari 500 orang terpenting dan berpengaruh di dunia saat ini, Prof. Dr. Ahmad Muhammad Ahmad Ath Thayyeb, berkunjung ke UIN Maulana Malik Ibrahim Malang setelah dua hari sebelumnya menghadiri serangkaian pertemuan di Jakarta, yakni diterima Presiden Joko Widodo di istana negara, memberi kuliah umum dan bertemu alumni Al-Azhar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, meresmikan nama Pusat Studi Al Qur’an, di Pondok Cabe, Tangerang Selatan pimpinan Prof. Dr. HM. Quraish Sihab, MA, dan bertemu dengan pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Syekh Azhar berkunjung ke Indonesia atas inisiatif pribadi yang selain bermaksud untuk semakin meningkatkan hubungan bilateral antara Mesir dan Indonesia yang memang sudah terjalin lama, juga secara simbolik untuk menunjukkan ke dunia betapa pentingnya membangun ukuwah islamiyah di antara sesama muslim saat ini di mana di beberapa belahan dunia umat islam terjadi berbagai tindak kekerasan, bahkan perang. Tentu saja kondisi demikian sangat merugikan tidak saja bagi umat islam, tetapi juga Islam itu sendiri. Syekh Al-Azhar menekankan betapa pentingnya kedamaian di antara umat manusia di seluruh dunia, apapun warna kulit, bangsa, ideologi, adat istiadat dan budaya, bahasa, serta agamanya. Syekh menekankan apa arti kemajuan suatu bangsa akibat perkembangan sains dan teknologi jika tidak ada kedamaian. Damai dan rasa aman merupakan kebutuhan manusia yang tidak terelekkan.
Syekh Azhar melihat Indonesia sebagai salah satu negara penting di dunia yang diharapkan bisa memainkan peran penting dan dapat menjadi penengah berbagai kemelut yang melanda masyarakat Islam saat ini, seperti di Suriah, Yaman, ketegangan antara Saudi Arabia dan Iran, Pakistan, Afganistan, dan konflik sepanjang masa antar Israel-Palestina. Dunia Islam seolah menjadi tempat yang tidak nyaman untuk dihuni. Melihat potensi dan posisi Indonesia demikian pentingnya, maka Syekh Al-Azhar itu memilih Indonesia sebagai satu-satunya negara di Asean yang dikunjungi di awal tahun ini.
Secara kebetulan antara Mesir dan Indonesia memiliki beberapa kesamaan. Misalnya, dari sisi populasi atau jumlah penduduk, Mesir memiliki jumlah penduduk muslim terbesar bermadhab Suni, begitu juga Indonesia. Dari sisi politik, Mesir dan Indonesia merupakan anggota Gerakan Non-Blok dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI), dengan sistem politik luar negeri bebas aktif. Secara ekonomi, kedua negara sama-sama sebagai negara berkembang. Tetapi dari sisi sumber daya alam, Indonesia memiliki jauh lebih banyak sumber daya alamnya daripada Mesir. Di mata warga Mesir, Indonesia merupakan negara yang sangat indah bagaikan tanah yang jatuh dari surga, yang kelakarnya orang Indonesia sudah tidak lagi berhak masuk surga, karena sudah menikmatinya, sebuah ungkapan yang menggambarkan kekaguman orang Mesir terhadap keindahan alam dan bumi Indonesia. Lebih dari itu, kedua negara mengembangkan Islam moderat, bukan Islam garis keras yang akhir-akhir ini menyusahkan banyak orang.
Sebagai pemimpin tertinggi lembaga Al Azhar, kedudukan Syekh di Mesir sangat tinggi dan terhormat. Dalam acara-acara kenegaraan, beliau duduk di samping Presiden. Karena itu posisinya disejajarkan dengan seorang Wakil Presiden atau Perdana Menteri. Pengaruhnya dalam tata kehidupan sosial dan politik Mesir sangat luar biasa. Kata-katanya menjadi fatwa dan keputusan penting, bahkan pada tingkat negara. Ketika berkunjung ke Mesir dan dijemput oleh staf lokal KBRI di Cairo, dalam perjalanan dari bandara Internasional Cairo menuju Wisma Jawa Timur, tempat kami menginap selama beberapa hari di Mesir, saya sempat bertanya tentang sosok Syekh Azhar tersebut. Staf lokal senior yang sudah lebih 15 tahun bekerja di KBRI dan mengaku ingin sekali bisa berkunjung ke Indonesia itu sangat menghormati dan mengagumi sosok Syekh Azhar, yang digambarkan sebagai alim, pintar dan kaya raya.
Menurut staf lokal KBRI tersebut, Syekh merupakan salah seorang penentu perpolitikan Mesir, bahkan jatuh bangunnya pemimpin Mesir sebagian ada di tangannya. Mulai jatuhnya Husni Mubarak bersamaan dengan gerakan Arab Spring di Timur Tengah, naik dan jatuhnya Mursi, samapi naiknya Jenderal Sisi yang sekarang memimpin Mesir, pengaruh Syekh Azhar sangat besar. Itu pula sebabnya ketika berkunjung ke luar negeri, beliau memperoleh pelayanan dan pengamanan layaknya seorang Wakil Presiden, tak terkecuali ketika berkunjung ke Indonesia beberapa hari lalu. Pemerintah Indonesia memberikan pelayanan pengamanan ekstra ketat dengan melibatkan ratusan pasukan keamanan baik dari unsur tentara maupun polisi. Kendati sangat berpengaruh, sebagai seorang ulama yang sangat rendah hati dan alim, Syekh Azhar tidak sembarang menentukan kebijakan politik. Beliau senantiasa berhitung dengan sangat cermat dan hati-hati dalam setiap mengambil keputusan. Maklum, setiap arah keputusan dan keberpihakannya menjadi referensi masyarakat.
Bagi Indonesia, kunjungan Syekh Azhar diharapkan membawa manfaat. Beliau hadir saat di mana keberadaan warga Islam Syiah, yang oleh sebagian kelompok masyarakat, sedang dipermasalahkan. Ketika menyampaikan pidato di beberapa tempat dan ditanya wartawan mengenai sikapnya terhadap Syiah, dengan kalem beliau menjawab bahwa Syiah memang sesat, tetapi bukan kafir. “Mereka adalah saudara kita”, begitu jawabnya dalam bahasa Arab. Untuk itu perlu diluruskan dan dengan tegas beliau menentang setiap upaya tindak kekerasan terhadap penganut Syiah. Tak pelak, bagi kelompok yang selama ini getol menyerang Syiah, ucapan Syekh dianggap kontroversial dan sangat menguntungkan Syiah. Itu sebabnya, oleh kelompok yang tidak setuju dengan pandangannya, Syekh Al-Azhar itu dianggap pelindung Syiah, yang tentu saja anggapan seperti ditolaknya.
Bagi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, kehadiran Syekh, dan apalagi bersedia dianugerahi Gelar Dr. Hc. Bidang Pendidikan Islam merupakan berkah tersendiri, setidaknya karena beberapa hal. Pertama, ini untuk pertama kalinya dalam sejarah sejak lembaga ini didirikan tahun 1961 berupa sebuah Fakultas Tarbiyah, cabang IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarya, memberikan gelar Dr. Kehormatan atau Dr. Hc. kepada warga internasional. Memang sejak berubah status menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), lembaga ini sudah beberapa kali memberikan gelar doktor kehormatan (Dr. Hc.), kepada beberapa tokoh, nasional seperti KH. Sholahuddin Wahid (Gus Sholah), Mantan Menteri Agama (Suryadharma Ali), dan Gubernur Sulawesi Utara, Sinyo Harry Sarundajang. Dalam pandangan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, mereka adalah orang-orang berprestasi di bidang masing-masing dan layak memperoleh penghargaan akademik tertinggi. Syekh Al-Azhar bukan sekadar warga internasional, tetapi seorang pemimpin lembaga Al-Azhar di Mesir yang sangat berpengaruh. (Berlanjut)