Merenungkan Kecerdasan Hati
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Rabu, 17 Februari 2016 . in Dosen . 4978 views

Betapa pentingnya kecerdasan itu dimiliki oleh setiap orang. Orang cerdas berbeda dari orang bodoh, biasanya lebih cepat menyelesaikan masalah. Berbekalkan kecerdasan, seseorang akan mampu memahami apa yang ada pada dirinya dan juga apa yang ada di lingkungannya. Sebaliknya, orang yang tidak cerdas akan sulit mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Selain itu, orang yang kurang cerdas juga tidak mengetahui kekurangan dan kelebihan dirinya sendiri.

Sementara ini banyak orang berpendapat bahwa kecerdasan itu letaknya di akal dan bukan di tempat lain. Oleh karena itu, berbagai upaya, apalagi pendidikan diarahkan pada peningkatan kualitas akal. Upaya itu misalnya melalui pelatihan, perbaikan kurikulum secara terus menerus, peningkatan kualitas guru, pemenuhan sarana, lingkungan, dan lain-lain. Ada keyakinan yang dipegang teguh bahwa, seseorang yang akalnya terdidik secara tepat akan menjadi cerdas. Akal dianggap menjadi penentu segala-galanya. Maka akallah yang harus dicerdaskan, dan bukan yang lain.

Melalui akal cerdas, maka berbagai problem kehidupan bisa diselesaikan, hingga yang rumit sekalipun. Bermodalkan akal cerdas pula, banyak hal bisa diciptakan, bisa direkayasa, bisa diatur, sehingga kehidupan bisa dijalani dengan mudah. Sekarang ini, dengan akal cerdas, bisa diciptakan alat komunikasi modern, yang sebelumnya tidak terbayangkan, seperti HP, internet, dan lain-lain. Demikian pula, alat transportasi seperti pesawat terbang super cepat, kapal selam yang tidak terdeteksi radar, dan lain-lain, semua berhasil diciptakan dari kemampuan akal itu.

Sebaliknya orang yang berakal lembek atau bodoh, dan apalagi tidak mau belajar, mereka akan tertinggal jauh dari siapapun yang cerdas. Persaingan, saling mempengaruhi, berebut, dan bahkan saling mengambil keuntungan di antara sesama dalam kehidupan ini, sebenarnya masih saja berlangsung. Penjajahan yang bersifat fisik pada umumnya sudah tidak dilakukan lagi. Namun tidak berarti bahwa hal itu sudah hilang. Penjajahan masih ada, hanya bentuknya saja berubah.

Alat persaingan dan jajah menjajah sekarang ini sudah menggunakan ilmu dan teknologi. Siapa saja yang mampu mengembangkan kekuatan tersebut, maka mereka yang menang. Persaingan pada saat sekarang terletak di wilayah itu. Negara yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menawarkan produk-produk baru yang semakin hebat dan dibutuhkan oleh masyarakat modern. Sebaliknya, mereka yang tidak mampu mengembangkan dua kekuatan tersebut, hanya akan menjadi pasar dan atau konsumennya. Padahal tidak ada ceritanya, konsumen atau pembeli lebih beruntung dibanding para penjualnya.

Bangsa-bangsa yang lambat dalam mengembangkan ilmu dan teknologi akan berposisi sebagai pasar. Oleh karena pasar sedemikian penting bagi industri maka selain mereka diperebutkan, juga diupayakan agar ilmu dan teknologinya tetap tidak berkembang selama-lamanya. Di sinilah sebenarnya bentuk penjajahan di zaman modern atau di era kompetisi yang semakin tajam. Tentu, orang yang berada pada posisi sebagai pasar, selamanya tidak akan beruntung. Bahkan oleh karena tidak tersedia modal dan selalu lemah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, keadaannya akan semakin tergantung pada pemilik berbagai jenis kelebihan sebagaimana yang dimaksudkan itu.

Hal tersebut merupakan gambaran dari kekuatan akal yang dimiliki oleh manusia. Namun, di tengah-tengah perbincangan terhadap kehebatan akal, ternyata ada pertanyaan mendasar, yaitu apakah memang benar bahwa akal memiliki kekuatan dahsyat sebagaimana diyakini selama ini, dan bukan pada bagian tubuh lainnya. Pertanyaan itu muncul dari kenyataan bahwa, akal ternyata seringkali lupa mengingat sesuatu. Selain itu, tatkala keadaan seseorang sedang galau, maka akalnya juga tidak mampu berpikir secara jernih. Demikian pula ketika seseorang sedang marah, sedang lapar, sedang sakit, sedang bertengkar, atau sedang keadaan emosi, maka akal tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi ketika sedang tidur, maka akal akan beristirahat total.

Kekurangan lainnya, akal tidak mampu melihat apa saja di luar jangkauannya. Sekalipun ilmu pengetahuan dipercaya mampu memprediksi tentang apa yang akan terjadi, namun ternyata hasilnya juga tidak ada kepastian. Seringkali prediksi yang dihasilkan oleh para ilmuwan ternyata tidak selalu tepat, kecuali hal yang memang bersifat pasti atau eksak. Bahkan, akal tidak bisa mengetahui kekurangan yang sedang dialami oleh pemiliknya sendiri. Kemampuan akal kadang terlalu terbatas, tidak akan menjangkau sesuatu yang tidak tersedia data atau informasinya.

Di balik kekurangan akal itu, ternyata manusia masih dibekali kekuatan lagi yang lebih dahsyat, yaitu apa yang disebut dengan hati. Namun, kekuatan itu terasa kurang mendapatkan perhatian. Dianggap bahwa akal adalah segala-galanya. Padahal sebenarnya kekuatan itu justru terletak pada hati. Kekuatan hati bisa menjangkau apa, di mana, dan kapan saja. Melalui hati, seseorang bisa merasakan dan juga mengingat sesuatu kejadian yang sudah berlangsung amat lama dan berada di tempat jauh hingga tidak terbatas. Sekarang ini misalnya, hati kita masih bisa membayangkan wajah kakek, nenek, ayah dan ibu, padahal misalnya, mereka itu sudah lama wafat.

Sebagai contoh yang mudah dan sederhana lagi, ketika kita sedang berada di perjalanan ke kantor misalnya, dan ada sesuatu yang tertinggal, maka hati kita akan memberi tahu. Hati menjadi gelisah atau tidak tenang untuk menunjukkan bahwa masih ada sesuatu yang belum sempurna atau tertinggal. Demikian pula, ketika kita selesai menulis artikel, dan ada kekurangan yang harus diperbaiki, maka hati merasa gelisah. Dalam keadaan seperti itu rupanya ia memberi tahu, bahwa tulisan dimaksud masih perlu dibaca dan dikoreksi kembali agar disempurnakan. Hal tersebut terasa sangat berbeda ketika segala sesuatu sudah komplit atau dalam hal menulis sudah sempurna. Hati menjadi merasa tenang. Dengan demikian, hati selalu menunjukkan dan memmberi tahu tentang apa yang seharusnya kita lakukan.

Masih merupakan contoh sederhana lainnya, yaitu ketika menjelang tidur dan berniat akan shalat tahajut malam itu misalnya, maka pada waktunya, sekalipun tidak ada bunyi alarm, ternyata bisa terbangun. Demikian pula ketika di bulan puasa, pada waktunya makan sahur, kita selalu terbangun, Maka artinya, hati itu lebih hebat dibanding akal. Pada saat tidur, akal ikut tidur. Sementara itu, hati tidak pernah ketiduran. Seringkali terasakan bahwa akal melakukan kesalahan mengolah informasi atau memperhitungkan sesuatu, sementara itu hati, sebagaimana Rasulullah, memiliki sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Berbekalkan kekuatan itu, hati memiliki kemampuan lebih dibanding akal.

Namun sayangnya, bagian tubuh yang amat penting itu ternyata tidak selalu dikenali dan diperhitungkan, bahkan oleh pemiliknya sendiri. Akibatnya, banyak orang melakukan kesalahan mendasar. Pendidikan misalnya, selalu diarahkan pada akal dan bukan pada hati. Padahal dinyatakan di dalam hadits nabi bahwa, perilaku seseorang itu ditentukan oleh hati dan bukan oleh akal. Manakala hati seseorang baik maka seluruh perbuatannya akan menjadi baik, dan begitu pula sebaliknya. Organisasi Islam bernama : ' Jam'iyyatul Islamiyah' yang sudah berkembang di berbagai wilayah di Indonesia, secara bersama-sama berusaha mengkaji al Qur'an dan Hadits Nabi untuk memahami bagian penting dari tubuh manusia, yaitu ruh, hati, atau nurani. Akhirnya, sekedar sebagai tambahan renungan, bahwa tatkala seseorang sedang mencari suatu kebenaran, maka diingatkan oleh kalimat indah dan tentu benar, yaitu bertanyalah kepada suara hati nuranimu, dan sebaliknya, bukan kepada akalmu. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up