Indahnya Kebersamaan dan Sikap Saling Memahami
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Senin, 28 Maret 2016 . in Rektor . 2100 views

(Sepenggal Cerita dari KBRI New Delhi)

November tahun lalu, saya berada di New Delhi India memenuhi undangan Dubes RI di India dalam rangka kegiatan konferensi tentang upaya membangun hubungan bilateral Indonesia-India yang lebih baik, khususnya dalam bidang pendidikan. Saya hadir memenuhi undangan  bersama tiga orang di kantor Kerjasama Internasional di lembaga tempat saya bekerja. Secara kebetulan saya ada waktu agak longgar dan memang belum pernah berkunjung ke negara Mahatma Gandi tersebut, sehingga undangan Dubes tersebut saya respon dengan cepat. Setelah semua perlengakapan yang diperlukan siap, kami berempat berangkat dengan mengambil rute penerbangan langsung Jakarta- New Delhi.

 

Alhamdulillah penerbangan lancar dan akhirnya tibalah di bandar Internasional New Delhi dengan selamat setelah penerbangan sekitar 6 jam. Itulah pertama kali saya menginjakkan kaki di  salah satu negara tempat peradaban besar dimulai. Beberapa saat setelah mendarat, kami keluar melalui pintu imigrasi untuk pengecekan dokumen kedatangan sebagai orang asing. Setelah itu kami mengambil koper dan tas yang ditaruh di bagasi. Setelah semua barang lengkap, kami menuju pintu ke luar bandara. Di sana kami sudah ditunggu oleh beberapa staf KBRI dan dua orang mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah S3 di India yang sebelumnya memang sudah dikontak mengenai kedatangan kami. Karena hari sudah malam, kami langsung diantar menuju hotel tempat kami menginap selama di New Delhi. Karena lelah, malam itu kami tidak ke mana-mana, tetapi langsung tidur di kamar masing-masing. Dalam perjalanan dari bandara ke hotel kurang lebih 20 menit, saya menengok ke kanan dan kiri sambil melihat bangunan-bangunan kuno berukuran besar dan terawat dengan baik. Kebetulan jalan yang kami lewati itu merupakan daerah elit, yang sarana dan prasarana umumnya sangat baik dan terawat.

Esoknya hari, Kamis, kami mulai menghadiri konferensi di Jawaharlal Nehru University (JNU). Sebagai ketua rombongan, saya diberi kesempatan memberi sambutan. Kesempatan itu saya manfaatkan untuk mengenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan kami. Konferensi berlangsung hingga sore hari. Pada malam harinya, kami dijamu makan oleh staf KBRI di sebuah rumah makan muslim di tengah-tengah kota New Delhi. Usai makan malam, kami kembali ke hotel untuk istirahat.

Esok harinya, Jum’at, kami memanfaatkan waktu untuk silaturrahim ke Dubes RI di New Delhi sekaligus memohon bantuan untuk melakukan kerjasama dengan beberapa universitas di India. Usai diskusi dengan Dubes dan beberapa stafnya, kami bersiap-siap untuk menunaikan sholat Jum’at di Masjid KBRI, walau sebenarnya kami musafir. Ruang masjid  cukup luas dan jama’ahnya tidak hanya dari lingkungan KBRI tetapi juga masyarakat umum. Ketika menuju masjid, saya diminta staf KBRI untuk menjadi khotib sholat Jum’at. Sebab, lazimnya jika ada tamu dari Tanah Air  takmir masjid KBRI memintanya untuk berceramah, menjadi imam sholat atau berkhotbah.

Saya menolak permintaan itu dengan halus, karena selain “not in a good mood”, saya melihat ada rombongan dari sebuah Universitas di Aceh yang juga hadir di acara konferensi itu. Salah satu di antara anggota rombongan itu berkopiah khas Aceh dan mengenakan baju koko warna putih berjas hitam, seolah siap berkhotbah. Sekilas dia seorang ustadz. Karena itu, saya minta staf KBRI itu memintanya untuk menjadi khotib yang saya pikir lebih pantas daripada saya. Semula dia menolak dan justru sebaliknya meminta saya menjadi khotib. Saya beralasan bahwa pakaian saya tidak pantas untuk menjadi bagi seorang khotib. Lagi pula saya tidak mengenakan kopiah. Tanpa diskusi panjang, usai adzan kawan dari Aceh itu sangat percaya diri maju ke mimbar untuk berkhotbah. Ternyata isi khotbahnya bagus, dan sangat fasih mengucapkan ayat dan hadis yang dirujuk. Dugaan saya tidak salah bahwa dia biasa berkhotbah. Tampak para jama’ah mendengarkan khotbah dengan khusu’, tak terkecuali saya.

Di sini peristiwa menarik terjadi. Usai berkhotbah yang ditutup dengan doa, dengan cepat dia turun dari mimbar dan menuju ke saya yang sudah siap untuk menjadi makmum. Semula saya duduk dan berdiri tidak jauh dari pengimaman. Dengan suara pelan, sang khotib itu mengatakan kepada saya “Pak, maaf saya agak batuk, mohon bapak yang menjadi imam”, sambil mengenakan kopiah yang dia pakai langsung ke kepala saya. Untungnya, kopiah itu pas juga untuk kepala saya. Beberapa jama’ah sekitar kami melihat adegan lucu itu.  Dalam suasana seperti itu saya tidak berkutik menerima permintaannya dan saya pun langsung maju menuju pengimaman.

Saya sebut tidak berkutik karena salah satu alasan saya tidak bersedia menjadi khotib ialah karena saya tidak berkopiah, yang kawan itu bisa menerimanya. Nah, sekarang kopiah yang dia kenakan dipindah ke kepala saya. Alasan apa lagi yang bisa saya buat untuk menolak menjadi imam sholat jum’at, apalagi dia tahu saya dari Universitas Islam. Sangat aneh jika seorang yang bekerja di Universitas Islam tidak bisa memimpin sholat/menjadi imam.    Rupanya kawan dari Aceh itu sangat cerdik memperdaya saya. Dia mesti berpikir bahwa saya tidak punya alasan lain kecuali menerima tugas itu. Wal hasil tugas menjadi imam sholat jum’at saya tunaikan dengan baik.

Ternyata adegan lucu berpindahnya kopiah dari kepala sang khotib ke kepala saya itu sempat menjadi perhatian beberapa jama’ah yang ada di belakang. Usai sholat gelak tawa pun pecah di dalam masjid KBRI itu. Seorang kawan saya dalam rombongan sempat mengatakan “sebuah adegan  lucu, tetapi penuh makna”. Disebut “lucu” karena terjadi sebuah adegan berpindahnya kopiah dari kepala seorang khotib ke kepala seorang jama’ah untuk menjadi imam. Disebut “penuh makna” karena secara simbolik menggambarkan suatu kerja sama dua insan manusia untuk berbagi tugas dan peran tanpa mengesampingkan ego masing-masing.

Jika adegan sederhana itu ditarik ke spektrum yang lebih luas, betapa pentingnya dalam hidup ini suatu kerja sama,  sikap saling pengertian (mutual understanding), mengesampingkan ego pribadi dan lebih mendahulukan orang lain daripada diri sendiri dalam beberapa hal tertentu. Itulah sebagian tindakan atau sikap positif untuk membangun kohesi sosial dalam hidup di masyarakat. Jika diamati lebih dalam, berbagai peristiwa sosial di masyarakat terjadi umumnya karena nilai-nilai kerja sama dan saling memahami sudah tidak ada lagi, dan sebaliknya kepentingan atau ego pribadi lebih menonjol. Jika nilai-nilai kooperasi, saling memahami dan menghargai sudah luntur dan disertasi sikap ego pribadi yang lebih menonjol tak bisa dipungkiri konflik sosial terus terjadi sebagaimana sering kita saksikan akhir-akhir ini!

___________

Malang, 24 Maret 2016

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up