Berbagai Problem Lembaga Pendidikan Islam
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Senin, 11 Juli 2016 . in Dosen . 12814 views

Pemerintah berkepentingan untuk memajukan lembaga pendidikan Islam. Sebab, meningkatkan kualitas pendidikan Islam sama artinya dengan meningkatkan kualitas bangsa Indonesia, karena mayoritas warga negara ini adalah pemeluk Islam. Hambatan ekternal untuk meningkatkan kualitas tersebut dapat dikatakan amat kecil. Pemerintah dalam hal ini kementerian agama dan bahkan juga kementerian lainnya memberi peluang seluas-luasnya bagi siapa saja untuk mengembangkan lembaga pendidikan Islam, asalkan ada jaminan keberlangsungan dan dijaga kualitasnya. Selama ini tidak ada lembaga pendidikan yang dibubarkan oleh pemerintah, tetapi sebaliknya, justru dibantu sesuai dengan keadaan dan kemampuan yang ada.

Di antara beberapa problem mendasar di dalam mengelola pendidikan Islam adalah tidak mudah menyatukan visi, misi, dan orientasi yang jumlah dan variasinya sedemikian banyak. Lembaga pendidikan Islam terasa sangat variatif, baik menyangkut pengelolanya, kelembagaannya, afiliasinya, hingga arah yang diinginkan. Padahal untuk membangun kualitas memerlukan berbagai kekuatan, konsep, kepemimpinan, menagerial, dan seterusnya. Banyaknya variasi itu tidak menutup kemungkinan melahirkan berbagai masalah yang tidak mudah diselesaikan dengan pendekatan seragam. Pendidikan Islam, khususnya yang berstatus swasta, ada yang didirikan dan dikelola oleh organisasi besar, seperti NU, Muhammadiyah, al Wasliyah, al Irsyad, Tarbiyah Islamiyah, dan lain-lain. Selain itu juga ada yang dikelola oleh berbagai jenis Yayasan, dan bahkan yang dimiliki dan dikelola oleh perorangan.

Menyatukan kekuatan yang beraneka ragam tersebut tentui tidak mudah. Lembaga pendidikan milik NU misalnya, hingga kini belum berhasil disatukan. Berbagai lembaga pendidikan dipandang milik NU, seperti pondok pesantren, madrasah, sekolah, dan bahkan hingga perguruan tinggi, tetapi sebenarnya tidak tampak ada hubungan organisasi dan managerial dengan NU. Banyak pesantren dipandang milik NU, tetapi semua aset yang ada sebenarnya adalah milik kyai pengasuhnya sendiri. Tatkala suatu saat kyai sudah tiada, maka kepemilikannya dilimpahkan kepada keluarga atau para putra-putrinya. Keadaan seperti itu tidak menutup kemungkinan menjadi peluang terjadinya konflik yang tidak mudah disaksikan. Padahal akibat konflik itu lembaga pendidikan menjadi terpecah-pecah dengan berbagai konsekuensinya.

Tampak lebih tertib dalam arti sebagian kewenangannya sudah berada pada organisasi adalah lembaga pendidikan yang dikelola oleh Muhammadiyah. Akan tetapi, jika dicermati secara mendalam kekuatannya juga masih pada orang atau individu, dan belum pada organisasi. Itulah sebabnya lembaga pendidikan di lingkungan Muhammadiyah juga bersifat variatif tergantung keberadaan tokohnya. Manakala di suatu wilayah atau daerah ada tokoh yang kuat, maka lembaga pendidikan di tempat itu tampak kuat, dan begitu pula sebaliknya. Namun pada perkembangan akhir-akhir ini, di kalangan sementara tokoh Muhammadiyah juga sudah mulai mendirikan lembaga pendidikan sendiri tanpa menyebut nama organisasi besar dimaksud. Jika hal itu berlanjut, maka tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang dialami oleh NU yang sulit diselesaikan tersebut juga akan dialami oleh Muhammadiyah.

Sebagai salah satu akibat dari lembaga pendidikan yang keberadaannya lebih ditentukan oleh tokoh, kyai atau organisasi, maka problem yang dihadapi juga banyak dan tidak selalu mudah untuk mengembangkan kualitasnya. Sebagai contoh sederhana, jika para perintis atau pengelolanya bermasalah maka lembaga pendidikan dimaksud juga ikut bermasalah. Oleh karena terjadi konflik atau disharmoni di lingkungan para pengelolanya, maka upaya peningkatan kualitas tidak akan terjadi, bahkan sekedar bertahan saja tidak mudah dilakukan. Sebagai akibatnya, masing-masing pihak mendirikan lembaga pendidikan sendiri-sendiri, sehingga jumlah lembaga pendidikan menjadi bertambah, namun kualitasnya tidak bisa dijamin. Oleh karena itu, persoalan pendidikan Islam bukan saja terletak pada guru dan muridnya, melainkan juga bersumber dari pengelolanya.

Membaca gambaran tersebut, upaya peningkatan kualitas lembaga pendidikan Islam bukan perkara mudah. Sebagai akibat semua orang berkewenangan menyelenggarakan pendidikan, maka tampak bahwa partisipasi masyarakat terhadap pendidikan sedemikian besar. Akan tetapi sebenarnya keadaan itu juga menyimpan persoalan yang tidak mudah diselesaikan. Pendidikan menjadi dipandang sederhana dan bahkan fungsinya beragam, dan bahkan bisa jadi keluar dari misi pendidikan itu sendiri. Itulah di antara problem, betapa sulitnya mengelola pendidikan Islam justru bersumber di antaranya dari terlalu banyaknya pihak-pihak yang merasa bertanggung jawab dan ikut berpartisipasi. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up