Sepenggal Cerita Almarhum Maftuh Basyuni
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Rabu, 19 Oktober 2016 . in Rektor . 1384 views

Pak Maftuh, begitu biasa dipanggil, adalah birokrat tulen. Sebagian besar masa  hidupnya dihabiskan di pemerintahan, sejak era Pak Harto hingga SBY. Di Era Orde Baru, Pak Maftuh menjadi salah seorang kepercayaan Pak Harto dengan menjadi Kepala Rumah Tangga Kepresidenan. Jika di Gedung Putih, jabatan beliau seperti Kepala Staf Gedung Putih, sebuah jabatan sangat bergengsi di Amerika. Sebagai Kepala Rumah Tangga Kepresidenan, Pak Maftuh tentu sangat dekat dengan presiden dan keluarganya serta tahu secara mendalam isi istana. Kendati demikian, Pak Maftuh bukan tipe pejabat yang obral statement. Kita tahu Pak Maftuh tidak pernah muncul di publik menyampaikan statement, termasuk tentang istana. Beliau ialah birokrat profesional yang bisa diterima di beberapa era pemerintahan. Di Era Presiden Abdurahman Wahid, beliau sempat menjadi Menteri Sekretaris Negara.

Ketika berbincang-bincang di kantornya sebagai Dubes di Riyadh, saya sempat bertanya beliau tentang program-program utamanya sebagai Menteri Agama. Saya masih ingat dengan sangat tegas beliau ingin menata Kementerian Agama untuk menjadi kementerian yang bersih dari praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagaimana dicitra masyarakat selama ini. Selain itu, beliau ingin menata praktik penyelenggaraan ibadah haji secara menyeluruh. Tidak luput juga beliau ingin menata lembaga pendidikan Islam, terutama Pendidikan Tinggi Islam menjadi perguruan tinggi Islam yang maju dan berkualitas secara akademik. Untuk itu, berbagai upaya untuk mengangkat kualitas dan citra lembaga pendidikan Islam dilakukan.

Terkait dengan perubahan kelembagaan dari IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), di mana setelah menjadi UIN, berbagai program studi umum dibuka, beliau sempat khawatir terjadinya marjinalisasi jurusan-jurusan agama yang sebenarnya ialah tugas utama atau core business lembaga pendidikan tinggi Islam. Beliau menerima banyak kritik dari masyarakat tentang gejala terpinggirkannya jurusan-jurusan agama di Universitas Islam Negeri (UIN). Sebab, kenyataannya jurusan-jurusan umum di UIN, seperti Kedokteran, Farmasi, Informatika, Manajemen, Akuntansi, Komunikasi dan sejenisnya menarik peminat yang jauh lebih banyak dibanding jurusan-jurusan agama, seperti Dakwah, Syariah, Adab, Ushuluddin, kecuali Tarbiyah yang masih ramai peminat, khususnya Jurusan Pendidikan Agama Islam. Gejala tersebut membuat Pak Maftuh selaku Menteri Agama gelisah.

Bahkan Jurusan Perbandingan Agama, yang sebelum kelahiran UIN, masih laku, menjadi sepi peminat. Beberapa jurusan yang semakin langka peminat bahkan menawari beasiswa kepada semua mahasiswa yang mau memilihnya. Kondisi tersebut membuat Pak Maftuh gelisah, sehingga di beberapa kesempatan beliau menyampaikan moratorium perubahan kelembagaan dari IAIN menjadi UIN. “Selama Maftuh Basyuni masih menjadi Menteri Agama, tidak akan ada lagi UIN baru. Untuk sementara 6 dulu, yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Malang, UIN Alaudin Makasar, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, dan UIN Sunan Gunung Jati Bandung”, begitu kalimat lugas dan tegas Pak Maftuh yang tentu membuat beberapa pimpinan IAIN yang ingin sekali menjadi UIN kecewa. Tetapi tidak satu pun orang berani membantahnya.

Terkait moratorium pendirian UIN, Pak Maftuh tiba-tiba berubah pandangan. Ketika suatu kali beliau berkunjung ke UIN Malang dan diajak oleh Rektor Prof. Imam Suprayogo saat itu mengunjungi ma’had kampus, beliau kagum dan mengapresiasi langkah UIN Malang yang membuat terobosan membangun ma’had kampus di mana seluruh mahasiswanya pada tahun pertama wajib tinggal di dalamnya untuk belajar al Quran dan bahasa Arab. Beliau melihat sendiri kehidupan mahasantri (sebutan mahasiswa UIN Malang) yang mengingatkan masa-masa beliau ketika menjadi santri di Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Saya masih ingat di sebuah kesempatan kalimat yang beliau ucapkan ialah “Boleh ada UIN baru, asal modelnya seperti UIN Malang di mana di dalamnya ada pondok pesantren atau ma’had, sehingga tidak terjadi pendangkalan pengetahuan agama Islam di kalangan mahasiswanya”. Perubahan sikap Pak Maftuh disambut gembira oleh para pimpinan IAIN, walau  sangat berat untuk memenuhi persyaratannya, yakni harus membuat ma’had.

Beban berat para pimpinan IAIN tersebut sangat bisa dipahami. Sebab, mendirikan bangunan untuk dijadikan ma’had tidak terlalu sulit, asal ada dananya, tetapi mengelolanya menjadi pondok pesantren kampus di mana semua mahasiswanya wajib tinggal di dalamnya adalah sebuah persoalan tersendiri. Buktinya, hingga  saat ini dari 55 PTKIN di Indonesia yang semuanya telah melakukan kunjungan ke UIN Malang yang secara khusus melihat bagaimana mengelola ma’had, tidak satupun dari mereka sanggup membuat ma’had yang mewajibkan semua mahasiswanya tinggal di dalamnya. Yang bisa dilakukan oleh beberapa UIN atau  IAIN ialah mema’hadkan beberapa puluh atau ratus mahasiswanya tinggal di ma’had. Sikap pro terhadap Pak Maftuh terhadap keberadaan pondok kampus (ma’had) di lingkungan PTKIN diwujudkan dalam bentuk himbauan bahwa setiap kampus PTKIN wajib mendirikan ma’had. Sayang, hingga masa jabatannya sebagai Menteri Agama berakhir harapan itu belum terwujud bahkan hingga kini. Namun demikian, kendati belum berhasil diwujudkan di semua PTKIN, ide Pak Maftuh tentang betapa penting peran dan eksistensi ma’had di lembaga pendidikan tinggi Islam patut dihargai.

Secara khusus saya punya pengalaman menarik dengan beliau. Suatu saat akan ada kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meresmikan awal pembangunan  kampus (kampus 1 saat ini). Secara protokoler, sebagai menteri, Pak Maftuh tentu harus datang lebih dulu sebelum Presiden datang. Saat itu beliau menginap di hotel Tugu, Malang. Saya kebagian menjemput beliau dari hotel ke kampus. Sesuai jadwal, tugas itu saya tunaikan. Pagi-pagi saya sudah siap-siap menjemput beliau. Menurut informasi Presiden SBY akan datang sangat pagi, sekitar jam 8.00.  Pak Maftuh minta dijemput jam  7. 00. Ketika saya jemput di hotel, beliau belum sarapan. Karena keterbatasan waktu, saya sampaikan sarapan di kampus saja dan beliau menyetujuinya. Ternyata panitia tidak menyediakan sarapan khusus untuk Menteri. Yang ada ialah nasi kotak untuk para tamu biasa. Karena saya melihat beliau lapar, saya pun memberanikan diri untuk menawari sarapan dengan nasi kotak sebagaimana tamu-tamu yang lain. Tanpa basa-basi, beliau menerimanya. Akhirnya, didampingi Rektor Prof. Imam Suprayogo beliau sarapan dengan nasi kotak ala kadarnya.

Saya perhatikan beliau makan dengan lahap. Dalam batin, saya berpikir kendati menjadi seorang menteri, birokrat senior yang sudah malang melintang di beberapa era pemerintahan dan penampilannya berwibawa, ternyata Pak Maftuh sangat bersahaja dalam urusan makan. Hal menonjol lainnya selama menjabat sebagai Menteri Agama ialah di era Pak Maftuh pengelolaan ibadah haji benar-benar dibenahi secara total. Hasilnya, sejak saat itu pelaksanaan ibadah haji menjadi lebih baik dan itu dirasakan oleh sebagian besar jama’ah haji.

Kini Pak Maftuh telah tiada. Warga Kementerian Agama merasa kehilangan birokrat senior yang sangat kaya pengalaman. Kontribusinya bagi bangsa dan negara tidak diragukan. Kita doakan semoga semua amalnya diterima oleh Allah sebagai amal sholeh dan kekhilafannya memperoleh pengampunan. Selamat jalan Pak Maftuh !

_________

Penerbangan, Kuala Lumpur-Juanda,

18 Oktober 2016

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up