Sudah menjadi pemahaman pada umumnya, bahwa kekuatan apapun adalah terletak pada ruhnya. Manakala ruh sesuatu telah hilang, maka apapun menjadi hilang makna yang sebenarnya. Demikian pula tubuh manusia, sehingga menjadi mampu bergerak dan disebut hidup adalah oleh karena di dalam hatinya terdapat ruh yang dimaksudkan itu. Manakala ruh itu meninggalkan jasad atau tubuhnya, maka semua anggota tubuh itu tidak dapat menjalankan fungsinya.
Ruh pada manusia tidak sekedar ada tetapi juga harus dididik dan dirawat. Perangkat yang berposisi sebagai inti kehidupan itu terletak di dalam hati setiap orang. Manakala kekuatan yang ada di dalam hati itu tidak diurus maka posisinya akan menjadi bagaikan anak yatim, yakni anak yang tidak ada orang tua yang mengurusnya. Selain itu juga disebut miskin oleh karena tidak memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu sebagaimana seharusnya.
Mendasarkan pada pandangan tersebut, maka sebenarnya hati pun ada yang patut disebut yatim dan juga miskin. Seseorang yang hatinya tidak terurus dan tidak terdidik, sekalipun yang bersangkutan memiliki mata maka tidak akan bisa melihat, memiliki telinga tidak akan dapat mendengarkan, memiliki otak tetapi tidak akan mampu berpikir. Disebutkan di dalam al Qur'an, orang seperti itu, bagaikan binatang dan bahkan lebih bodoh lagi.
Melihat dan mendengar sebagaimana dimaksudkan tersebut adalah terkait tentang kebenaran, petunjuk, atau juga hikmah. Bahkan seseorang yang hatinya yatim dan miskin, maka ketika sedang shalat sekalipun, mereka lupa akan shalatnya. Mereka itu berbuat riya', dan tidak akan peduli atau tidak mau menolong sesama. Seseorang yang hatinya yatim dan miskin, keberadaannya sangat membahayakan, baik terhadap dirinya sendiri dan juga orang lain.
Sifat-sifat baik dan mulia selalu bersumber dari kekuatan yang ada pada hati seseorang. Oleh karena itu, manakala hati seseorang tidak terawat, yatim, dan terdidik, maka yang muncul bukan sifat baik dan mulia, melainkan adalah sebaliknya, yaitu sifat sombong, pendengki, riya', takabur, penipu, bakhil atau hanya mementingkan diri sendiri, dan sifat-sifat jahat lainnya.
Oleh karena itu, hati siapa saja tidak boleh berstatus yatim dan miskin. Apa yang ada di dalam hati, yakni disebut dengan ruh harus selalu dipelihara dan dididik. Namun mendidik apa yang ada di dalam hati atau ruh itu bukan menjadi kopentensi manusia. Menyangkut hati orang lain, manusia tidak memiliki kompetensi. Hati atau ruh adalah urusan Tuhan. Memperbaikinya hanya dilakukan dengan menyerahkannya pada Dzat Yang Maha Mendidik. Dalam ajaran Islam, melalui kegiatan ritual, yaitu shalat yang dijalankan secara istiqomah dan khusu'. Wallahu a'lam