Pendahuluan
Ketika STAIN dan IAIN telah berubah menjadi UIN, maka banyak orang mempertanyakan di mana letak Fakutas Ilmu Tabiyah dan Keguruan (FITK) serta fakutas lainnya yang disebut sebagai fakultas agama dalam bangunan keilmuan universitas. Selain itu ada juga kekhawatiran, perubahan menjadi UIN menjadikan fakultas agama kekurangan peminat dan bahkan menjadi tidak dipandang penting. Kekhawatiran itu sebenarnya wajar, oleh karena mereka merasa sangat mencintai fakutas yang sudah ada sejak lama dan kemudian memiliki kompetitor baru yang dipandang lebih memiliki daya tarik.
Kekhawatiran dan bahkan kecemasan tersebut sebenarnya tidak akan terjadi jika yang bersangkutan mampu memahami jati dirinya, posisi fakultas agama, dan peran-peran yang seharusnya dilakukan. Akan tetapi sebaliknya, jika keberadaan fakultas agama tidak dipahami dan hanya diposisikan sebagai pelengkap, bahkan asal ada, maka sekalipun STAIN dan IAIN tidak berubah menjadi UIN, fakultas dimaksud juga tetap akan kehilangan relevansinya dan kemudian akan ditinggalkan oleh peminat.
Selama menjadi bagian dari warga UIN Malang, saya memiliki pengalaman konkrit, yaitu dahulu Fakultas Tarbiyah IAIN Malang, sekalipun sejak lama disebut-sebut sebagai Fakultas induk di lingkunganh IAIN Sunan Ampel, ternyata tidak pernah mengalami kelebihan calon mahasiswa baru. Umpama ada pendaftar yang terpaksa tidak diterima, jumlahnya juga amat kecil. Selain itu, peminat masuk Fakultas Tarbiyah, semakin lama hanya berasal dari kelompok kelas menengah ke bawah. Dengan demikian seolah-olah, Fakultas Tarbiyah hanya diminati oleh orang pedesaan atau kelas menengah ke bawah tersebut.
Namun setelah berubah menjadi UIN, ternyata kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Peminat masuk Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan serta ke Fakultas Syari'ah tidak berkurang, dan bahkan justru sebaliknya, menjadi naik dan tidak kalah jumlahnya dibanding fakultas fakultas umum, kecuali pendaftar ke fakultas kedokteran, misalnya. Daya tahan fakultas-fakultas agama tetap kokoh, namun sudah barang tentu ada syaratnya, yaitu selalu melakukan inovasi dan mereformulasi berbagai aspeknya, menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Posisi Fakultas-Fakultas Agama di lingkungan UIN
Sejak awal berubah dari STAIN menjadi UIN Malang, selaku rektor, saya berusaha menggambarkan di mana letak Fakultas Agama dalam bangunan keseluruhan keilmuan yang dikembangkan oleh universitas. Kejelasan posisi dimaksud menjadi penting, agar semua pihak memahami bidang-bidangnya masing-masing dan juga kaitannya antara fakultas satu dengan lainnya. Tanpa kejelasan itu, orang selalu bertanya di mana kajian Islam dan juga di mana pula kajian ilmu-ilmu umum. Berbekalkan pengetahuan dimaksud, menjadikan tidak ada lagi pertanyaan dan apalagi kekhawatiran bahwa ilmu agama akan hilang di lingkungan perguruan tinggi Islam dan atau setidak-tidaknya akan diabaikan.
Rumpun Ilmu pengetahuan pada dasarnya dibedakan menjadi tiga, yaitu ilmu alam, ilmu social, dan humaniora. Ilmu alam yang bersifat dasar terdiri atas biologi, fisika, kimia, dan matematika. Berangkat dari ilmu alam dasar itu kemudian berkembang ilmu yang bersifat terapan, dan seterusnya bercabang, beranting hingga jumlahnya tidak terbatas. Ilmu kedokteran, pertanian, kelautan, peternakan, kedirgantaraan, teknik, komputer, dan seterusnya adalah berasal dari ilmu alam. Sementara itu, ilmu-ilmu social, juga memiliki ilmu dasar, yaitu sosiologi, psikologi, sejarah, dan antropologi. Mendasarkan pada ilmu dasar itu berkembang menjadi ilmu yang bersifat terapan, misalnya ilmu pendidikan, ilmu politik, hukum, administrasi, ekonomi, manajemen, dan seterusnya.
Adapun jenis rumpun ilmu yang ketiga adalah humaiora, terdiri atas filsafat, bahasa sastra, dan seni. Atas pembagian ilmu pengetahuan menjadi tiga tersebut, maka di sekolah menengah selama ini juga dikenal ada jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Penyebutan jurusan bahasa sebenarnya belum sempurna, sebab bahasa hanya bagian dari humaniora. Oleh karena itu akan menjadi lebih tepat jika jurusan bahasa di sekolah menengah itu disebut humaniora, sehingga masuk di dalamnya bidang lainnya, yaitu filsafat dan seni.
Dalam bangunan keilmuan tersebut, ilmu agama belum masuk di dalamnya. Para agamawan, dalam hal ini Islam misalnya, membuat bangunan keilmuan sendiri, yaitu ilmu agama Islam. Selama ini ilmu agama Islam dibagi menjadi ilmu syari'ah, ilmu tarbiyah, ilmu ushuluddin, ilmu dakwah, dan ilmu adab. Kehadiran ilmu agama di luar bangunan keilmuan yang bersifat universal tersebut melahirkan dikotomi ilmu pengetahuan, yaitu ilmu agama dan ilmu umum. Di Indonesia, ilmu umum diurus oleh Kementerian Pendidikan, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, sementara itu ilmu agama diurus oleh Kementerian Agama. Maka kemudian, muncullah istilah dikotomi ilmu pengetahuan.
Sejak beberapa tahun terakhir, berkembang pandangan baru, bahwa sebenarnya tidak ada dikotomi ilmu pengetahuan. Disebutkan bahwa semua ilmu tentang jagad raya ini, baik yang ada di langit maupun di bumi dan atau juga di antara keduanya adalah dari Allah. Pembagian ilmu secara dikotomik tersebut dianggap kurang tepat, sehingga muncul konsep integrasi, interkoneksi antara ilmu umum dan ilmu agama. Perubahan STAIN dan atau IAIN menjadi UIN sebenarnya ingin dijadikan wadah bangunan keilmuan yang mengintegrasikan antara ilmu umum dan ilmu agama dimaksud.
Untuk mengintegrasikan antara ilmu agama dan umum dalam tataran implementatif, beberapa pimpinan UIN merumuskan secara berbeda-beda. Sebagai Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim, saya menjadikan al Qur'an dan hadits nabi sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan yang biasa disebut sebagai ayat-ayat qawliyah. Selain itu, masih ada sumber lainnya, yaitu hasil observasi, eksperimentasi, dan penalaran logis yang sering disebut sebagai ayat-ayat kawniyah. Ilmu tarbiyah dan keguruan maupun ilmu yang masuk kategori ilmu agama lainnya adalah bertumpu pada dua jenis sumber dimaksud, yaitu ayat-ayat qawliyah dan ayat-ayat kawniyah. Sementara ilmu pengetahuan pada umumnya hanya bersumber pada ayat-ayat kawniyah saja.
Distingsi Antara Keilmuan DI UIN dan Di Perguruan Tinggi Pada Umumnya
Seringkali muncul pertanyaan apa yang membedakan antara disiplin ilmu yang dikembangkan di perguruan tinggi pada umumnya dan di UIN. Tidak saja bertanya, tetapi sementara orang, oleh karena tidak mengerti, juga ada merendahkan. Mereka menyebut bahwa ilmu yang dikembangkan di UIN hanya sebatas menambah hasil penelitian atau hasil pemikiran dengan ayat al Qur'an dan atau hadits nabi. Disebutkannya para ilmuwan di UIN sekedar menempel-nempel ayat pada hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli atau ilmuwan terdahulu. Padahal yang dilakukan sebenarnya tidak seperti itu.
Seperti disebutkan di muka, bahwa yang membedakan antara ilmu di perguruan tinggi pada umumnya dan di UIN adalah terletak pada sumber ilmu yang digunakan. Pada perguruan tinggi pada umumnya, pertanyaan akademik dijawab melalui penelitian dengan menggunakan observasi, eksperimentasi, dan penalaran logis. Sementara itu, ilmuwan di UIN, dalam menjawab persoalan, mereka mencari di dalam kitab suci dan hadis nabi, dan kemudian menyempurnakannya dari hasil observasi, eksperimentasi, dan penalaran logis. Ayat-ayat qawliyah dan ayat kawniyah digunakan secara bersamaan.
Sebagai contoh, para ahli ilmu tarbiyah dan keguruan dalam mengembangkan keilmuan dan juga mengemplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, mereka mengkaji terlebih dahulu dari al Qur'an dan Hadits Nabi. Melalui kitab suci itu akan diketahui siapa sebenarnya manusia yang akan dididik, bagaimana mendidiknya, aspek apa yang seharusnya diutamakan di dalam mendidik, sifat-sifat apa yang seharusnya ditanamkan pada peserta didik, bagaimana memperlakukan anak didik, dan seterusnya. Selain itu, sebagai ahli di bidang tarbiyah dan keguruan, mereka juga akan memperkaya pengetahuannya dari hasil-hasil penelitian atau melakukan penelitian sendiri lewat observasi, eksperimentasi, dan penalaran logis.
Selanjutnya, untuk mengetahui manusia yang sebenarnya yang akan dididik, para ahli ilmu tarbiyah dan keguruan, melalui kajiannya terhadap al Qur'an dan hadits nabi akan menemukan misalnya, bahwa al Qur'an menyebut manusia dengan istilah al naas dan al insaan sedemikian banyak. Namun anehnya dua kata tersebut selalu mengkaitkan dengan sifat yang tidak baik. Dengan demikian, melalui kitab suci dimaksud seakan-akan, Tuhan akan menunjukkan bahwa manusia selalu berwatak dan berperilaku tidak baik. Sebagai contoh, manusia itu ingkar kepada Tuhannya, manusia itu bersifat bakhil, manusia itu sedikit yang mampu bersyukur, manusia itu selalu berkeluh kesah, manusia itu selalu berlebih-lebihan, manusia itu selalu tergesa-gesa, manusia itu bodoh, manusia itu dholim dan bahkan juga dholim terhadap dirinya sendiri, dan seterusnya.
Sebagai sarjana ilmu tarbiyah dan keguruan, mereka juga memahami bahwa sasaran pendidikan bukan otak, tetapi adalah ruh, atau kekuatan yang ada pada hati, dan bukan pada otak, apalagi sekedar jasmaninya. Pemahaman seperti ini menjadikan apa yang dilakukan seseorang sebagai pendidik menjadi tepat sasaran. Hal demikian bukan seperti yang dilakukan oleh orang yang tidak memahami manusia secara tepat sehingga yang dijadikan sasaran pendidikan adalah otak. Paahal peran otak tidak ubahnya anggota badan lainnya, misalnya teinga, mata, hidung, dan sejenisnya.
Penjelasan tersebut memberikan distingsi antara sarjana Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dibanding dengan sarjana pendidikan pada umumnya. Perbedaan itu sangat jelas oleh karena masing-masing dalam mengembangkan ilmu memiliki sumber yang berbeda. Sarjana pendidikan pada umumnya dalam mengggali ilmu hanya bersumber pada hasil observasi, eksperimentasi, dan penalaran logis. Sedangkan Sarjana Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, selain menggunakan sumber ilmu tersebut juga menggunakan sumber lain, yaitu al Qur'an dan Hadits Nabi, atau ayat-ayat qawliyah dan sekaligus ayat-ayat kawniyah.
Peran Strategis FITK Dalam Menyelesaikan Persoalan Karakter
Tatkala berbicara pendidikan segera yang teringat adalah persoalan yang terkait dengan guru, kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, dan sejenisnya. Jarang sekali dibicarakan tentang hasil yang diraih melalui kegiatan pendidikan itu sendiri. Akhir-akhir ini saja mulai banyak orang berbicara tentang hasil itu. Misalnya disebutkan tentang karakter, watak, dan akhlak bangsa ini yang semakin perlu diperhatikan. Juga mulai disadari bahwa bangsa ini tidak maju adalah sebagai akibat karakter dan akhlaknya belum berhasil dibenahi. Korupsi, kolusi, nepotisme dan semacamnya adalah akibat dari rendahnya karakter dan akhlak bangsa ini.
Terkait dengan karakter atau akhlak ternyata ada fenomena yang menyedihkan. Bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang tidak selalu semakin berkarakter dan berakhlak mulia. Tingginya jenjang pendidikan seseorang ternyata tidak menjamin yang bersangkutan mampu mengubah perilakunya menjadi semakin baik. Kebiasaan tipu menipu, hasut menghasut, takabur, bakhil, fitnah memfitnah, boros, dan bahkan juga korupsi masih dilakukan oleh orang yang menyandang pendidikan. Kenyataan ini memberi pemahaman bahwa mendidik bukan pekerjaan mudah dan sederhana. Bagi sarjana Ilmu Tarbiyah dan Keguruan tentu memahami bahwa pendidikan bukan sekedar menyangkut kurikulum, buku teks, sarana dan prasarana pendidikan, tetapi seharusnya menyentuh aspek manusia yang lebih dalam, yaitu hati.
Oleh karena itu mendidik manusia tidak cukup dilakukan hanya sebatas dengan cara memberikan dan memperkaya informasi, ilmu pengetahuan, dan berbagai jenis pelatihan kepada peserta didik, tetapi harus dilakukan secara tepat, menyeluruh, dan utuh. Pengetahuan tentang hal tersebut tidak akan mungkin dapat diperoleh sekedar lewat hasil-hasil kegiatan ilmiah, tetapi harus digali melalui kitab suci dan petunjuk utusan-Nya. Al Qur'an dan Hadits Nabi memberikan solusi yang cukup jelas tentang bagaimana membangun akhlak atau disebut dengan karakter itu. Persoalan ini bukan sederhana, untuk memecahkannya harus berbekalkan ayat-ayat qawliyah yang dapat dilakukan oleh sarjana Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di lingkungan UIN.
Namun memahami luasnya lingkup kajiannya, beban sarjana Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan memang lebih berat dibanding sarjana pendidikan pada umumnya. Mereka tidak saja harus menguasai cara-cara mendapatkan pengetahuan melalui kegiatan ilmiah, melainkan juga harus menggali melalui kitab suci al Qur'an dan Hadits Nabi. Menghadapi beban berat seperti itu, menjadikan mahasiswa di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan tidak cukup hanya belajar melalui kegiatan perkuliahan dengan hitungan sks dan sejumlah semester. Untuk membekali mahasiswa FITK seharusnya mereka belajar menyerupai seorang calon dokter. Seseorang dinyatakan lulus sebagai dokter manakala yang bersangkutan telah menempuh kegiatan akademik melalui perkuliahan dan selanjutnya dalam waktu yang cukup lama harus menempuh kegiatan praktek yang disebut koas. Maka untuk meraih kualitas lulusan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan perlu dikaji dan dipertimbangkan model pendidikannya. Mungkin saja dapat meniru pendidikan dokter selama ini.
Agar sarjana Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan mampu menyelesaikan tugas sebaik-baiknya maka seharusnya mereka menguasai al Qur'an, Hadits Nabi, dan juga cara kerja ilmiah sebagaimana sarjana pendidikan pada umumnya. Jika hal itu dapat diwujudkan, maka kehadiran Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, dan bahkan fakultas agama pada umumnya akan selalu ditunggu-tunggu. Mereka akan dijadikan tempat bertanya tentang berbagai problem kehidupan secara luas, menjadi tauladan, maupun peran strategis lainnya. Berbagai disiplin ilmu yang ada di universitas akan membutuhkannya. Namun kata kuncinya adalah kualitas. Manakala kualitas itu tidak dijaga, maka keadaannya akan menjadi sebaliknya, yaitu kehadiran fakultas umum atau perubahan menjadi UIN, akan mengancam eksistensi fakultas agama.
Pengalaman selama memimpin UIN Malang, saya memperoleh kesimpulan, bahwa perubahan kelembagaan ternyata tidak berpengaruh negatif terhadap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan maupun Fakultas Syari'ah. Jumlah calon mahasiswa yang mendaftar pada kedua fakultas itu masih semakin banyak. Keberadaannya terasa semakin diperlukan. Namun bersamaan dengan perubahan kelembagaan dimaksud, dilakukan berbagai jenis inovasi yang cukup mendasar, misalnya kemampuan berbahasa arab dan inggris diperbaiki, di antaranya melalui program pengembangan bahasa secara intensif, kampus dilengkapi dengan ma'had, dan juga dikembangkan program-program yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan bagi seluruh warga kampus, misalnya tahfidz al Qur'an, shalat berjama'ah, dan lain-lain. Dengan cara itu, perubahan kelembagaan, yakni STAIN menjadi UIN justru meningkatkan peran fakultas agama yang ada, dan bahkan agama menjadi dirasakan semakin penting dan semarak. Wallahu a'lam