Dalam sebuah pertemuan para alumni Fakultas di lingkungan UIN maulana Malik Ibrahim Malang dilakukan dialog dan kebetulan saya diminta untuk menjadi salah seorang pembicara. Pada kesempatan dialog itu ada beberapa pertanyaan yang diajukan dan kebetulan semuamya hampir sama. Mereka mempertanyakan apa sebenarnya yang disebut dengan sukses dalam menjalani kehidupan itu.
Pertanyaan tersebut kiranya sangat wajar diajukan oleh mereka yang telah lama menyelesaikan belajarnya di kampus, setelah itu mereka mengabdi di tengah-masyarakat dan kemudian berkesempatan bertemu bersama-sama. Di antara mereka yang mengajukan pertanyaan itu menjelaskan bahwa dirinya telah memiliki banyak pengalaman berkerja di berbagai bidang, mulai menjadi guru, mendirikan kursus, berdagang, bertani, dan lain-lain. Justru banyaknya pengalaman itulah, di antara mereka mempertanyakan apa sebenarnya yang disebut sebagai hidup sukses itu.
Tentu saya berusaha memberikan jawaban yang sekiranya obyektif dan syukur menyenangkan. Ketika itu saya mengatakan bahwa ukuran sukses itu tidak pernah tunggal, dan tentu masing-masing orang tidak sama. Sementara orang mengukur dari jabatan yang berhasil diperoleh, kekayaan yang berhasil dikumpulkan, luasnya pengaruh, dan tentu masih banyak lagi lainnya. Namun ukuran seperti itu sebenarnya sangat sederhana dan bersifat relatif dan bukan yang bersifat hakiki.
Ukuran sukses dalam menjalani hidup yang bersifat hakiki seharusnya mengacu pada usul asal diciptakannya manusia itu sendiri. Manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan dan kemudian oleh Allah disempurnakan dengan ditiupkannya ruh. Dalam Surat as Sajadah ayat 9 disebutkan bahwa : ' Aku menyempurnakan kejadian manusia, Aku tiupkan ruh, Aku berikan pendengaran, penglihatan, dan hati. Sedikit sekali manusia itu bersyukur'.
Manusia pada awalnya tidak sempurna dan kemudian baru menjadi sempurna setelah ditiupkan ruh dimaksud. Ruh itu adalah iman, cahaya, atau nur yang kemudian berada di setiap dada manusia. Semua manusia tanpa melihat suku bangsa, etnis, atau yang lahir di berbagai belahan dunia manapun, dikaruniai ruh yang sama. Ruh itulah yang menjadikan manusia mampu melihat, mendengar, berpikir, mencium, meraba, dan seterusnya. Melalui berbagai jenis perangkat sebagai karunia Allah itu, manusia menjalani hidupnya di dunia.
Namun pada saatnya kemudian, ruh itu harus kembali, yakni kembali ke tempat asal ruh itu berada. Oleh karena itulah, pada setiap terjadi peristiwa kematian seseorang maka diucapkan : ' inna lillahi wa inna ilaihi raajiuun'. Untuk dapat kembali, ruh harus mengetahui jalan dan tempatnya kembali. Selain itu, mereka juga dimintai pertanggung-jawaban atas kepercayaan, atau iman sebagaimana yang dimaksudkan.
Bagi orang yang selama hidupnya mengenal siapa dirinya yang sebenarnya, mengenal dan mengikuti Allah dan Rasul-Nya, mengenal kiblatnya ---Baitullah, selalu berpegang pada al Qur'an dan sunnahnya, maka yang bersangkutan akan berpeluang untuk berhasil kembali. Mereka itulah sebenarnya yang disebut sukses dalam menjalani hidupnya. Tentu, tidak semua orang berhasil meraihnya. Orang yang selama hidupnya tidak mengenal hal-hal sebagaimana dijelaskan tersebut tidak akan dapat kembali dan mereka itulah yang dikategorikan gagal dalam menjalani hidupnya.
Oleh karena itu, jika ukuran keberhasilan itu hanya bersifat sementara, material, dan duniawi, maka sukses dimaksud hanya bersifat nisbi atau bukan hakiki. Sedangkan ukuran yang hakiki adalah tatkala seseorang dalam menjalani hidup, akhirnya berhasil kembali ke haribaan Allah dan Rasul-Nya dengan membawa keimanan, ketaqwaan, dan amal shaleh. Mereka itulah yang disebut sukses dan meraih kebahagiaan yang sebenarnya. Wallahu a'lam