Antara Donald Trump dan Ahok
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Selasa, 27 Desember 2016 . in Rektor . 973 views

Sekitar satu  setengah bulan lalu, di waktu yang hampir berdekatan ada hal yang sama antara warga Amerika Serikat dan warga Indonesia, yakni sama-sama sibuk. Bedanya, di negeri adidaya itu warganya sibuk menyiapkan pemilu tanggal 8 November 2016 untuk memilih presiden yang akan memimpin negeri Paman Sam itu empat tahun mendatang. Mereka harus menentukan pilihan antara Donald Trump , yang mewakili Partai Republik, atau Hillary Clinton, yang mewakili Partai Demokrat. Tetapi akhirnya kita semua tahu bahwa warga Amerika menjatuhkan pilihan pada Donald Trump, walau  hingga hari-hari terakhir pemilihan semua survei masih mengunggulkan Hillary sebagai pemenang. Bahkan Donald Trump sempat ditanya oleh moderator debat calon presiden tentang sikapnya jika kalah dalam pemilihan. Dia tidak mau menjawab pengandaian itu, karena yakin dia akan menang. Sang moderator pun sangat yakin Trump akan kalah. Ternyata terbalik, Trump benar menjadi pemenang. Itulah politik, tidak hitam putih, karena itu tidak perlu terkejut. Semua berbalik 180 % hanya dalam hitungan menit. Apapun hasilnya publik wajib menerima dan menghargai karena proses demokrasi telah menentukan pilihan akhir.

 

Di Indonesia warganya juga sibuk, tetapi tidak untuk mempersiapkan pemilu melainkan melakukan aksi damai atau unjuk rasa besar-besaran  pada 4 November 2016 memprotes ucapan Gubernur DKI non aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)  yang dianggap melakukan penistaan agama Islam. Gara-gara ucapan Ahok yang sebenarnya hanya berlangsung beberapa menit tatkala melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu, Selasa, 27 September 2016, energi kita sebagai bangsa terkuras. Betapa tidak! Ratusan ribu dari berbagai elemen umat Islam melakukan unjuk rasa di Jakarta dan di beberapa kota besar di Indonesia menuntut pemerintah agar segera melakukan langkah hukum terhadap Ahok. Ujungnya pada  15 November 2016 Ahok ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri. Panggung politik Indonesia pun memanas. Sebab, walau tidak dilarang dengan berstatus sebagai tersangka Ahok tidak bisa leluasa melakukan kampanye menyongsong Pilkada DKI 2017. Padahal, sejak semula sebagai calon petahana Ahok difavoritkan sebagai pemenang Pilkada DKI, dan didukung oleh beberapa partai besar, mulai PDI-P, Golkar, Nasdem, dan Hanura. Di beberapa tempat Ahok dan pasangannya malah dihalang-halangi untuk melakukan kampanye.

Masyarakat terpolarisasi menjadi dua kelompok;  antara pendukung dan penentang Ahok. Para pendukungnya membela Ahok mati-matian bahwa Ahok tidak melakukan penistaan agama. Buktinya selama ini sejak menjadi bupati Ahok sudah banyak membantu madrasah, pendirian masjid, mushola dan kegiatan-kegiatan keagamaan. Ahok sendiri  berkali-kali membantah bahwa dirinya melakukan penistaan agama Islam. Sebaliknya, para penentang dan lawan-lawannya terus menggalang kekuatan massa untuk mendesak pemerintah melakukan langkah hukum agar Ahok segera ditangkap dan diadili. Spanduk bertulis “Tangkap Ahok” dipajang di mana-mana. Aksi damai 4 November dan 2 Desember merupakan bukti kekuatan massa para penentang Ahok yang merasa tidak terima agamanya dinistakan. Salah ucap Ahok benar-benar dimanfaatkan oleh para lawan politiknya untuk menghadangnya menduduki DKI 1.

Tanpa sadar masyarakat juga terpolarisasi masuk dalam perdebatan wilayah bahasa, yakni semantik untuk memaknai surat Al Maidah ayat 51. Tak bisa dihindari karena memasuki wilayah tafsir beragam makna dengan argumentasinya masing-masing bermunculan, mulai dari para ahli agama (ulama), ahli bahasa, politisi, ahli hukum, hingga rakyat biasa. Al Maidah 51 menjadi begitu populer. Orang yang semula tidak mengenal ayat tersebut jadi tahu bahwa ternyata ada ayat yang terkait dengan pemilihan seorang pemimpin. Masyarakat kita yang mestinya mulai dewasa setelah memasuki babak baru kehidupan sosial politik dalam berbangsa dan bernegara, yakni demokrasi total, seolah kembali dari titik awal lagi,  yakni sikap emosional.

Terkait dengan dua aksi damai tersebut, saya belum pernah melihat aksi massa sebesar ini sejak kejatuhan Orde Baru Mei 1998, ketika ratusan ribu massa mengepung gedung Lembaga Perwakilan Rakyat. Buntut aksi tersebut Pak Harto benar-benar jatuh karena sudah tidak mampu lagi menahan derasnya tuntutan untuk mundur dari kursi presiden yang sudah selama 32 tahun dikuasai. Akibat aksi tersebut kita seolah lupa dari beberapa agenda-agenda besar pembangunan yang dicanangkan Presiden Jokowi di awal-awal pemerintahannya, yakni Nawa Cita. Ide indah seperti menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, revolusi mental, pemerintahan yang bersih dan efektif, kemandirian ekonomi  dan sebagainya seolah luput dari konsentrasi kita.

Kembali ke judul tulisan di atas, apa yang membedakan antara masyarakat Amerika Serikat dengan masyarakat Indonesia? Jika kesibukan masyarakat Amerika Serikat sudah berakhir dengan terpilihnya presiden baru dan kini tinggal menanti pelantikannya, di Indonesia buntut dari aksi massa 4 November belum selesai hingga kini. Aksi 4 November masih dilanjutkan dengan aksi 2 Desember 2016. Jika aksi 4 November tanpa kehadiran Presiden Jokowi, aksi 2 Desember diikuti Jokowi walau di tengah guyuran hujan di ibukota. Pada aksi 4 November Jokowi dihujat karena tidak mau menemui para pengunjuk rasa dan malah pergi meninggalkan istana. Jokowi dianggap meremehkan tuntutan massa dan menganggapnya sepele.

Kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok seolah menjadi bola panas bagi pemerintah. Pemerintahan Jokowi serba salah. Segera menangkap Ahok ya salah, sebab menangkap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana itu ada aturannya dan tentu tidak bisa sembarangan. Sebab, Indonesia adalah negara hukum. Tetapi membiarkan Ahok tidak segera diproses hukum juga salah. Pemerintah dianggap melindungi Ahok dan tidak mendengarkan atau peduli terhadap suara mayoritas masyarakat. Berkaca pada para penista agama sebelumnya, mulai dari Lia Eden, Tajul Muluk, Antonius Richmond Bawengen, pengurus Gafatar Aceh, Meidyatama Suryodiningrat, dan Arswendo semuanya cepat diproses dan diadili. Mengapa Ahok tidak? Ini yang ditanyakan para penentang Ahok.

Kini kasus Ahok telah memasuki babak baru. Proses hukum tengah berjalan, Ahok disidang di Pengadilan Jakarta Utara untuk membuktikan dirinya bersalah atau tidak. Para saksi baik dari sisi pelapor dan terlapor juga dihadirkan. Jika Ahok nanti terbukti bersalah oleh pengadilan tahap pertama ini, tentu  dia akan banding ke Pengadilan Tinggi. Jika pada tingkat banding Ahok tetap dinayatakan bersalah, dia masih masih memiliki satu langkah hukum, yakni kasasi ke Mahkamah Agung. Jika di  Mahkamah Agung Ahok tetap dinyakatan bersalah, dia masih akan mengajukan PK (Peninjauan Perkara). Semua itu memerlukan proses panjang.

Begitu juga andai pengadilan memutuskan Ahok tidak bersalah, tentu para penentangnya akan terus melakukan upaya hukum, sebagaimana dilakukan Ahok. Unjuk rasa besar-besaran diprediksi akan terjadi lagi. Tetapi unjuk rasa bukan arena untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak. Selanjutnyua, andai saja dalam Pilkada nanti Ahok dinyatakan menang oleh KPU dan akhirnya dilantik menjadi Gubernur DKI, maka bersiap-siaplah para penentangnya untuk menerima kenyataan. Adakah peluang Ahok untuk menang dalam Pilkada DKI? Pilkada adalah peristiwa politik. Dan, sekali lagi, sebagaimana Hillary versus Trump, politik bukan hitam putih.

Kalau melihat begitu besarnya massa penentang Ahok yang melakukan aksi, semua nalar sehat mengatakan Ahok pasti sudah habis, alias kalah telak. Tetapi pertanyaannya ialah apakah semua peserta aksi itu warga DKI yang punya hak suara dalam Pilkada? Tentu bukan. Karena itu, akankah Ahok seperti Donald Trump yang bisa membalik keadaan sehingga dia keluar sebagai pemenang Pilkada DKI?  Warga DKI sendiri yang bisa menjawab. Tetapi berdasarkan survei terakhir, kini popularitas Ahok merangkak naik lagi setelah sempat turun drastis di awal aksi besar-besaran.  Wal hasil, kisah Ahok masih akan sangat panjang dan berliku!.

________

Malang, 26 Desember 2016

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up