Minggu, 6 November 2016 saya berada di Ponorogo menghadiri pertemuan pimpinan PTKIN yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama dan menunjuk STAIN Ponorogo sebagai tuan rumah. Karena ingin memberi pelayanan yang baik kepada para tamu perwakilan PTKIN se- Indonesia, tuan rumah memilih Sarangan yang masuk wilayah Kabupaten Magetan untuk tempat pertemuan. Selain udaranya sejuk, Sarangan merupakan daerah wisata andalan Magetan yang sangat indah dengan beberapa hotel yang cukup representatif di dalamnya. Banyak perwakilan PTKIN belum tahu tempat wisata itu. Mereka pada takjub karena selama ini belum pernah mengenal Magetan sebagai tempat wisata yang tidak kalah menariknya dibanding tempat-tempat wisata lain di Indonesia. Bahkan nama Sarangan saja nyaris belum mereka kenal.
Karena sehari sebelumnya saya berada di Jakarta, maka agar efektif bisa sampai Sarangan saya mengambil rute penerbangan Jakarta-Solo. Dari Solo saya dijemput untuk selanjutnya menuju Sarangan. Rute ini lebih dekat dibanding Juanda-Sarangan. Diperlukan waktu kurang lebih 3 jam dari Solo menuju Sarangan. Hujan lebat mengiringi perjalanan kami dari Solo hingga masuk wilayah Kabupaten Magetan. Jam sudah menunjukkan angka 24.00 ketika tiba di hotel tempat menginap selama acara berlangsung. Udara Sarangan sangat menggigil malam itu. Itu mengingatkan saya pada kondisi Malang awal 1980’an.
Usai acara pagi itu, saya meninggalkan Magetan menuju Tulungagung melalui Ponorogo-Trenggalek untuk memberi kuliah umum di IAIN Tulungagung. Sesekali saya memberi kuliah di perguruan tinggi lain, seperti Universitas Darussalam Gontor Ponorogo, IAIN Jember, IAIN Mataram, dan IAIN Tulungagung untuk menyambung silaturrahim. Keluar dari kota Ponorogo hujan turun dengan deras. Mobil saya tidak bisa melaju kencang. Dari jarak kurang lebih 5 km dari Ponorogo, ada informasi jalan menuju Trenggalek macet karena ada tanah tebing yang langsor, sehingga semua pengendara mobil , termasuk saya, kembali lagi ke arah kota Ponorogo. Tanah langsor sering terjadi di daerah Ponorogo-Trenggalek, karena tanahnya berbukit. Setiap hujan deras sering terjadi tanah langsor. Kejadian ini sangat mengganggu pengguna jalan rute Ponorogo-Trenggalek, sebab itu jalan raya satu-satunya. Roda ekonomi pun bisa terganggu.
Karena bermaksud ingin bisa cepat sampai Tulungagung sesuai rencana, saya bertanya kepada penduduk untuk mencari jalan alternatif. Oleh seorang warga, saya diberi petunjuk jalan pintas menuju Trenggalek melalui perkampungan. Saya diyakinkan bahwa jalan itu bisa dilalui dengan lancar. Tanpa pikir panjang, nasihat itu saya penuhi dan dengan pelan-pelan mobil saya meluncur memasuki jalan kampung pedesaan Ponorogo.. .
Ketika mulai memasuki perkampungan beberapa ratus meter, saya mulai khawatir karena keadaan gelap dan ternyata selain berbelok-belok, jalan juga naik turun. Sopir saya juga mulai khawatir dengan keadaan jalan yang akan dilalui tersebut. Tetapi dia saya yakinkan untuk terus berjalan dengan sangat hati-hati dan pelan-pelan. Semakin memasuki kampung-kampung pedalaman Ponorogo, kegelisahan saya semakin bertambah. Sebab, ternyata jalan terabasan itu berbahaya bagi mobil sedan saya. Suasana semakin gelap karena aliran listrik hanya di beberapa tempat. Melihat kondisi demikian, saya meminta sopir untuk kembali ke jalan raya seperti semula, alias putar balik. Tetapi itu tidak bisa kami lakukan karena di belakang saya antrian mobil sudah panjang. Jalan itu ternyata hanya cukup untuk 1 mobil, sehingga apapun yang terjadi saya tetap terus merangsek maju. Jalan macet, karena ada truck pembawa barang di depan saya yang rodanya terperosok ke parit. Dari belakang terdengar klakson bersaut-sautan karena tidak sabar menunggu truck itu bisa berjalan.
Di tengah-tengah kemacetan yang padat dan hujan semakin deras itu beberapa warga kampung keluar dari rumah. Menggunakan kaos oblong dan celana pendek, mereka dengan suka rela melepas baju dan membantu mobil di depan saya untuk bisa keluar dari parit. Ada yang membawa cangkul, kayu, batu, dan mengumpulkan pasir. Saya tidak tahu siapa yang mengomando mereka yang dengan suka rela membantu pengguna jalan kampung mereka keluar dari kemacetan malam itu. Dalam keadaan basah kuyup karena hujan deras, warga kampung itu seolah berbagi tugas. Ada yang mendorong mobil dari belakang, ada yang menguruk jalan dengan pasir dan kerikil, ada yang meratakan jalan dengan cangkul, ada yang memberi aba-aba mobil untuk berjalan, dan ada yang membawa senter untuk penerangan jalan. Dengan pelan-pelan mobil truck di depan saya berjalan hingga gilirannya mobil saya hingga akhirnya bisa sampai jalan raya besar Ponorogo-Trenggalek dan sudah melewati daerah longsor. Jam sudah menunjukkan pukul 20. 30 ketika kami keluar dari jalan perkampungan, sehingga batal memberi kuliah di IAIN Tulungangung.
Melihat adegan itu semua, saya sungguh takjub. Saya bersama sopir dan seorang staf memang terperosok atau tersesat di jalan perkampungan, tetapi memperoleh pelajaran sangat berharga malam hari itu dari warga biasa--- bukan pejabat negara, elite politik, dan bukan pula orang-orang kaya yang tinggal di kota. Pelajaran itu ialah nilai gotong royong, yang ternyata masih bersemai dengan baik di warga desa. Sebagian pengamat sosial mengatakan bahwa nilai-nilai gotong royong masyarakat kita sudah mulai tergerus, seiring dengan perkembangan masyarakat akibat kemajuan sains dan teknologi.
Sebagaimana kita ketahui budaya atau nilai gotong royong merupakan nilai warisan leluhur kita dan bahkan sudah menjadi pandangan hidup sehingga melekat dari kegiatan sehari-hari warga kita. Inti dari nilai gotong royong ialah saling membantu dalam bentuk solidaritas tanpa ada nilai transaksional. Sebab, sebagai makhluk sosial kita tidak bisa hidup sendiri. Kita mesti memerlukan orang lain untuk memenuhi hajat dan keperluan hidup kita. Dengan membantu orang lain, kita juga akan dibantu jika suatu saat kita memerlukan orang lain. Hidup ini berlangsung dalam hubungan timbal balik. Jika kita tidak pernah membantu orang lain, orang lain juga enggan membantu kita, dan sebaliknya.
Malam itu saya tidak saja menyaksikan nilai-nilai gotong royong, tetapi juga sikap “tanggap” warga terhadap masalah kami. Bisa dibayangkan andai saja warga tidak keluar rumah dan membantu meratakan jalan pada malam itu, mobil kami tidak akan bisa bergerak. Mungkin kita semua pengguna jalan terobosan itu akan tinggal di tempat itu hingga esuk hari. Jika peristiwa malam itu saya narasikan dalam kalimat pendek, kalimatnya berbunyi “Maunya cepat, tetapi tersesat, walau akhirnya selamat karena dibantu rakyat jelata yang bukan pejabat”. Terima kasih warga kampung!
________
Malang, 16 Desember 2016