Siapapun menghendaki kesempurnaan dalam menjalankan kebaikan, tidak terkecuali dalam beragama. Akan tetapi keinginan dimaksudkan tidak selalu terpenuhi, apalagi dalam kaitannya dengan kegiatan yang melibatkan aspek manusia yang terdalam, yaitu agama dimaksud. Dalam beragama, hanya Sang Pembawa agama itu sendiri yang mampu menjalankannya secara sempurna. Sedangkan lainnya tidak akan mampu meraihnya.
Boleh saja seseorang merasakan telah menjalankan agama secara sempurna atau disebutnya dengan istilah kaffah. Akan tetapi apa yang disebut telah meraih tingkat kekaffahan itu sebenarnya baru pada tingkat menduga, mengira, atau sebatas perasaan belaka. Sedangkan pada hakekatnya tidak seorang pun yang mampu mengetehuinya.
Keberagamaan tidak saja sekedar dapat dinilai dari aspek luar, misalnya dari perilaku seseorang yang tampak sehari-hari, melainkan melibatkan pada aspek lainnya yang terdalam sehingga tidak mudah diukur. Agama menyangkut ucapan, perbuatan, dan bahkan juga hati. Seseorang, perilakunya sehari-hari kelihatan telah meraih kesalehan, tetapi mengetahui dan mengukur terhadap apa yang ada di dalam hati yang bersangkutan tidaklah mungkin berhasil dilakukan oleh seseorang.
Dalam sebuah hadits Nabi disebutkan bahwa Tuhan tidak akan melihat pakaian dan apa saja yang tampak dari luar, melainkan hanya akan melihat hati dan niat seseorang. Sementara itu aspek terdalam dari manusia, yaitu apa yang ada di dalam hati, sebagaimana dikemukakan di muka, tidak akan berhasil dikenali, bahkan oleh yang bersangkutan sendiri.
Amal perbuatan, dalam pandangan agama, akan dilihat hingga sampai pada keikhlasannya. Sedangkan ikhlas itu sendiri yang mengetahui hanya Allah dan rasul-Nya. Seseorang mengatakan bahwa apa yang dilakukannya telah ikhlas, namun pada kenyataannya tidaklah selalu demikian. Selalu saja ada aspek yang tersembunyi pada diri manusia, seperti misalnya riya', takabur, sombong, ingin memperoleh pujian dan penghargaan dari orang lain, dan sebagainya, yang semua itu tidak mudah diketahui oleh orang lain, bahkan oleh yang bersangkutan sendiri. Mengetahui tentang dirinya sendiri saja ternyata belum tentu berhasil dilakukan.
Banyak orang, termasuk seorang pemimpin, pada awalnya dipandang baik, sehingga dicintai, ditokohkan, diidolakan, dan diikuti. Namun pada saat kemudian setelah berjalan sekian lama, orang yang dipandang baik dimaksud justru sebaliknya, yakni dianggap buruk, menyesatkan, patut dibenci, dan seterusnya. Kenyataan tersebut selalu terjadi di mana-mana dan kapan saja. Banyaknya para pejabat dan atau pemimpin masyarakat yang pada akhirnya dipandang banyak melakukan kesalahan dan dipenjarakan, adalah merupakan contoh, betapa tidak mudahnya menilai dan memandang orang secara tepat.
Kekeliruan tersebut sebenarnya juga terjadi dalam melihat seseorang dalam beragama. Seseorang pada awalnya dianggap alim, shaleh, dan khusu', namun ternyata penilaian dimakud belum tentu tepat. Hal demikian itu disebabkan oleh karena pada diri manusia selalu menyimpan aspek-aspek kebaikan, kepura-puraan, dan juga sekaligus keburukan. Keimanan, kemunafikan, dan bahkan kekufuran tidak mustahil ada pada diri seseorang. Oleh karena itu, meraih keberagamaan secara sempurna tidak pernah tercapai, sedangkan yang terjadi bahwa orang pada umumnya adalah bersama-sama berada dalam proses untuk menuju pada kesempurnaan itu. Wallahu a'lam