Memaknai Pergeseran Waktu
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Selasa, 3 Januari 2017 . in Rektor . 3061 views

Pergantian tahun merupakan sesuatu yang biasa dan akan selalu terjadi sepanjang masa. Itu sunnatullah. Bagi orang-orang beriman, perubahan waktu merupakan sebagian tanda-tanda kebesaran Tuhan. Sebab, hanya Tuhan yang dapat mengubah waktu. Di setiap pergeseran tahun, umumnya orang menyambutnya dengan gembira dibarengi harapan diperolehnya kebaikan-kebaikan di semua bidang. Doa pun dipanjatkan untuk maksud serupa dan seolah menjadi tradisi ritual tahunan. Yang bekerja di perkantoran berharap semoga di tahun baru kariernya semakin baik. Yang berbisnis berharap semoga untungnya semakin banyak. Yang sedang studi berharap semoga di tahun baru studinya bisa selesai. Bahkan yang belum dapat jodoh juga berharap segera memperoleh pasangan hidup.

 

Begitu pula ketika 2016 kita tinggalkan selama-lamanya dan 2017 berganti menghampiri kita. Selama dua belas bulan ke depan kita akan ditemani tahun 2017. Semua berharap di tahun 2017 berbagai urusan menjadi lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Pertanyaannya ialah apa iya? Jangan-jangan pergantian tahun hanya pergeseran angka atau bilangan pada kalender dan tidak membawa makna apa-apa bagi kita, kecuali hidup terasa berlalu begitu cepat. Tahu-tahu usia sudah menginjak kepala  3, 4, 5 atau 6 dan seterusnya. Bagi orang yang sibuk, dua belas bulan berlalu sangat cepat. Semakin sibuk seseorang, semakin terasa waktu berlalu bagaikan kilat. Sebaliknya bagi penganggur, dua bulan terasa begitu lama, malah dengan derita. Waktu menjadi hantu yang menakutkan.

Sepanjang 2016 masing-masing kita tentu memiliki kisah dan kenangan serta pengalaman sendiri-sendiri. Ada yang indah, dan ada yang pahit. Ada yang berhasil dan ada pula yang gagal. Ada orang yang tertatih-tatih perjalanan hidupnya, ada pula yang lapang menggapai prestasi. Yang gagal menjadi kenangan buruk, sedangkan  yang berhasil menjadi kenangan indah. Ada yang sadar dan merenung mengapa gagal dan belajar berusaha untuk tidak mengulanginya lagi. Dua belas bulan akan kita lalui. Berhasilkah nanti? Kegagalan dan keberhasilan sejatinya tergantung bagaimana kita menyikapinya. Jika kita yakin dan percaya diri bahwa sebuah rencana bisa kita capai, maka keberhasilan ada di depan mata. Sebaliknya, jika kita ragu bisa berhasil atau tidak, maka kita akan gagal. Ibarat di arena pertandingan, kita sudah kalah sebelum bertanding. Keberhasilan dan kegagalan selalu berurusan dengan waktu. Keberhasilan adalah bertemunya usaha, kesempatan, dan waktu. Begitu juga kegagalan terjadi ketika ketiganya tidak saling bertemu.

Hidup ini tergantung pada bagaimana kita memaknainya. “We are as what we think”, begitu kata sebuah pepatah Inggris. Semua yang kita peroleh hari ini tidak lain ialah buah dari yang kita kerjakan sebelumnya. Kendati tidak selalu berjalan linier, hidup itu berjalan bagaikan siklus rumus kausalitas atau sebab akibat.  Tidak pernah ada keberhasilan datang dengan tiba-tiba. Begitu juga kegagalan, selalu ada sebab musabab sebelumnya. Jika hari ini kita menanam 1 biji kebaikan, kita pun akan memetiknya kelak. Sebaliknya, jika kita menebar 1 biji kejatahan, cepat atau lambat kejatahan itu pun akan datang menghampiri kita. Yakinkah bahwa setiap jejak yang kita tinggalkan pasti akan ada bekasnya. Jejak amal kebaikan akan menunai kemartabatan hidup. Sedangkan jejak kejahatan akan memperoleh kemurkaan. Kita tinggal pilih yang mana. Masing-masing dengan risiko sendiri-sendiri. Waktu akan mencatatnya dan pada akhirnya nanti akan memutar seluruh perjalanan hidup kita. .

Setiap pergantian waktu selalu diikuti dengan bertambahnya usia dan pengalaman hidup kita masing-masing. Tetapi Imam Ghozali mengingatkan bahwa pertambahan usia seseorang selalu diikuti oleh menurunnya kekuatan fisik. Karena itu, senyampang fisik masih kuat dan kesempatan masih ada jangan pernah menunda-nunda untuk menebar kebajikan dan amal saleh. Sebab, waktu bukan uang, kendati orang Barat membuat slogan “Time Is Money”. Apa sebabnya? Hilangnya uang bisa dicari gantinya, sedangkan hilangnya waktu tidak akan pernah bisa dicari. Waktu tidak pernah ada penjualnya. Karena itu, sungguh sia-sia orang yang tidak memanfaatkan waktunya dengan baik dalam hidupnya. Gunakan waktu sebaik mungkin sesuai prioritas tugas dan profesi kita.

Ada satu lagi dimensi penting dari pergeseran waktu, yaitu semakin berkurangnya kesempatan hidup kita. Jatah waktu yang diberikan oleh Allah kepada kita sudah berkurang. Masihkah kita bersantai-santai tidak menabur kebajikan ketika sadar bahwa jatah waktu hidup kita tinggal sementara? Semua orang di dunia memiliki waktu yang sama, yakni 24 jam sehari. Tetapi mengapa dengan kepemilikan waktu yang sama, ada yang berhasil dan ada yang tidak.  Orang bijak bisa menggunakan hanya beberapa saat untuk menggapai sukses, bahkan bisa mengubah dunia. Tetapi sebaliknya ada orang dengan waktu melimpah tidak melakukan apa-apa. Hidupnya jadi sia-sia.

Banyak orang salah memahami waktu. Ketika terlambat datang di sebuah acara dia mengatakan waktu terlalu mepet. Ketika pekerjaan yang dibebankan tidak selesai, dia mengatakan waktu tidak cukup. Ketika tidak bisa menepati janji dengan kawan atau koleganya untuk sebuah pertemuan, dia mengatakan tidak punya waktu. Wal hasil waktu menjadi kambing hitam. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan waktu. Yang salah adalah orang yang tidak dapat mengelola waktu dengan baik. Selain karena rasa percaya diri yang tinggi, usaha dan kerja serius, kisah orang-orang sukses ialah juga karena mereka dapat mengatur waktu dengan baik. Semoga di 2017 ada perubahan pada kita, setidaknya dalam mengelola waktu dengan lebih baik. Jika tidak, maka setiap pergeseran waktu tidak membawa makna apa-apa, kecuali perubahan bilangan kalender.

__________

Malang, 2 Januari 2017

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up