Dalam sebuah diskusi dengan para pengasuh pesantren, saya memperoleh pertanyaan yang amat sederhana tetapi terasa tidak mudah dijawab. Pertanyaan itu terkait dengan penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya segera dilakukan perbaikan. Disebutkan banyak pengangguran terdidik dan juga kenakalan di mana-mana, yang dilihatnya bersumber dari penyelenggaraan pendidikan yang kurang tepat. Pertanyaannya, mengapa tidak segera ada perubahan mendasar yang dilakukan.
Disebutkan bahwa binatang yang paling bodoh, yaitu khemar, tidak akan mengulang-ulang kesalahannya hingga berkali-kali. Sekali tertumbuk batu di suatu tempat, binatang itu tidak mau mengulangi terhadap kesalahannya yang sama. Persoalan pendidikan dari tahun ke tahun hanya berulang-ulang terkait dengan kurikulum, ujian nasional, perbaikan guru, dan sejenisnya. Persoalan yang sebenarnya sudah jelas, ternyata tidak segera dijawab secara tuntas.
Kritik tajam yang disampaikan bahwa dari tahun ke tahun persoalan pendidikan terdengar sama, yaitu menyangkut kurikulum, ujian nasional, kualitas lulusan yang belum memuaskan, kenakalan yang terjadi di lingkungan sekolah, tidak ada relevan antara lulusan dan lapangan pekerjaan sehingga melahirkan banyak pengangguran, dan seterusnya. Persoalan yang sama dan pada setiap tahun selalu diperbincangkan seolah-olah tidak ada penyelesaian. Pengasuh pesantren dimaksud mempertanyakan, mengapa hal demikian itu terjadi.
Kesalahan yang berulang-ulang terjadi dianggap aneh dan tidak tepat oleh karena berada di lingkungan pendidikan. Seharusnya lembaga pendidikkan dapat menyelesaikan persoalannya sendiri secara cepat dan tepat oleh karena di tempat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan, tempat orang pintar dan bijak, serta kaya sekali pengalaman. Berbekalkan kekayaan itu seharusnya instuitusi pendidikan mampu menyelesaikan persoalannya sendiri secara cepat, tepat, dan tidak berulang-ulang pada hal yang sama.
Menjawab persoalan sederhana tersebut tentu tidak mudah. Pendidikan melibatkan banyak aspek, milik publik, dan bahkan terkait dengan banyak orang. Apa saja yang berada pada wilyah publik dan diurus oleh pemerintah, berbagai kebijakan tidak dapat diambil tanpa mendasarkan pada undang-undang, peraturan, ketersediaan anggaran, dan sejenisnya. Kebijakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah harus memiliki payung hukum, agar dianggap legal atau sah.
Beberapa hal tersebut itulah di antara sebabnya, pengelolaan pendidikan tidak dapat dijalankan secara lincah. Sebagai seorang guru saja, agar apa yang dijalankan dipandang benar, yang bersangkutan harus menyusun berbagai jenis laporan sebagaimana petunjuk yang ada. Untuk memenuhi tuntutan formal itu, oleh sementara guru dirasakan justru lebih berat, melebihi tugas yang sebenarnya yaitu mendidik dan mengajar itu sendiri.
Demikian itulah resiko, ketika pendidikan masuk wilayah formal. Segala sesuatu harus mendasarkan pada aturan formal yang harus diikuti. Sementara itu pendidikan pesantren hanya diurus oleh kyai sendiri sehingga tampak lebih bebas dan lincah. Ketika sebuah kebijakan dianggap gagal, maka dapat segera diperbaiki secara cepat dan tidak akan mengulang kesalahan hingga berkali-kali. Itulah sebabnya, pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah tampak teratur, tetapi dalam hal-hal tertentu menjadi lamban, dan bisa jadi harus mengulang-ulang kesalahan yang sama. Wallahu a'lam