Oleh M. Zainuddin*
Opini dimuat di harian Jawa Pos tanggal 11 September 2019
Baru saja reda ketegangan dalam masa pilpres beberapa bulan lalu, sekarang ini kita dihadapkan pada problem baru, yaitu pertama, terusiknya saudara kita kaum Kristiani karena ceramah Ustadz Abdus Shomad (UAS) tentang simbol dan keyakinan agama Kristen, Tuhan dan Salib; kedua, konflik antaretnik Jawa (Timur)-Papua yang sampai saat ini masih jadi trending topic, dan ketiga, disertasi Abdul Aziz dosen IAIN Surakarta tentang konsep milk al-yamin-nya Syahrur yang juga viral di media sosial. Problem di atas menyangkut konflik antarumat beragama, etnis dan problem internumat beragama tentang kontroversi introduksi gagasan liberalisme agama.
UAS, seorang da’i muda yang baru saja naik daun ternyata mengalami ”musibah” dengan ceramahnya yang melukai perasaan kaum Kristiani. Tak pelak ceramah itu viral dan menyulut konflik antarumat beragama. Para elit ormas Islam, termasuk MUI menyarankan UAS untuk minta maaf, namun UAS tetap ngotot tidak mau minta maaf, karena ia yakin mendakwahkan kebenaran dalam al-
Qur’an dengan ayat yang ia bawakan (QS. Al-Maidah:72-73). Sementara ia lupa, bahwa di ayat lain (QS. Al-An’am: 108) juga disebutkan bahwa umat Islam dilarang menghina akidah agama lain. Boleh saja UAS berdalih bahwa ceramahnya untuk jama’ah intern umat Islam, namun ia juga lupa bahwa seluruh ceramahnya diunggah dalam youtube yang menjadi konsumsi publik, tentu ini berbeda dengan masa dua puluh tahun silam. Era fourth point zero (4.0) seperti saat ini ceramah di dalam kamar sendiripun bisa keluar ke publik.
Keberagaman dan Potensi Konflik
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural ditinjau dari berbagai aspeknya, baik etnis, bahasa, budaya maupun agama. Heldred Geertz mencatat (Zada, 2006:184), di Indonesia terdapat lebih dari tiga ratus etnis, masing-masing etnis memiliki budayanya sendiri dan lebih dari dua ratus lima puluh bahasa digunakan, dan hampir semua agama besar dunia terdapat di dalamnya selain dari ragam agama asli itu sendiri. Tak pelak, pluralitas agama juga merupakan tantangan tersendiri bagi agama-agama dunia dewasa ini. Oleh sebab itu, jika pluralitas agama tidak disikapi secara benar dan arif oleh masing-masing pemeluk agama, utamanya para elitnya, maka akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antarumat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa.
Abu Rabi’ dalam karyanya, Christian-Muslim Relations in Indonesia: The Challenges of The Twenty-First Century (1998:2) mengakui, bahwa Islam telah menjadi kekuatan nilai dalam menumbuhkan etos ”pluralisme” keagamaan sejak Indonesia merdeka. Namun, menurutnya, potensi untuk menjadi gerakan sosial yang mundur ke belakang dengan sentimen anti-Kristennya tetap terbuka lebar. Berbagai kecenderungan dan pola pemikiran keislaman yang muncul akhir-akhir ini menggambarkan posisi Islam yang berbeda-beda dalam berhadapan dengan komunitas agama lain. Oleh sebab itu menurutnya, aspirasi politik-keagamaan yang berkembang akan tetap membuka peluang bagi tumbuhnya gerakan sosial Islam yang sulit menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, keterbukaan dan demokrasi, dan ini merupakan tantangan yang semakin nyata seiring dengan perkembangan wacana keagamaan pasca-modern.
Kendati agama memiliki fungsi pemupuk persaudaraan dan fungsi tersebut telah dibuktikan dengan fakta-fakta kongkret dari zaman ke zaman, namun di samping fakta yang positif itu terdapat pula fakta negatif, yaitu konflik yang bersumber pada agama. Beberapa pakar sosiologi baik Rodney Stark, John Hick, dan David Tracy memandang bahwa jika ditinjau dari perspektif historis, kekerasan dan intoleransi yang terjadi selama ini justru dilakukan oleh pemeluk agama-agama monoteis. Pertanyaannya adalah, kenapa pemeluk agama monoteis justru inheren dengan intoleransi dan kekerasan? Menurut Stark (2003: 171-173), claim pemeluk agama monoteisme yang partikularistk-subjektif --bahwa agama yang dipeluknya adalah satu-satunya yang benar, yang hanya percaya pada satu Tuhan, Yang Esa dan Sejati (One True God) --banyak memicu konflik. Stark menyoroti subjektivisme para pemeluk agama monoteistik (baik Yahudi, Kristen maupun Islam) yang memandang rendah agama lain. Melalui penelitiannya ia berkesimpulan, bahwa perbedaan agama dalam seluruh masyarakat berakar pada relung-relung sosial, kelompok-kelompok orang yang saling berbagi preferensi berkaiatan dengan intensitas keagamaan.
Penegasan Stark memang tidak selamanya benar, namun perlu menjadi catatan dan renungan kita bersama, bahwa problem subjektivisme atau lebih tepatnya eksklusivisme menjadi pemicu konflik antarumat beragama. Menurut hemat penulis, jika hanya berhenti pada claim absolutis tidak menjadi soal, namun masalah akan timbul ketika claim absolutis dibarengi dengan memandang rendah dan memaksa orang lain untuk mengikuti agamanya.
Tantangan Umat Beragama
Tantangan yang dihadapi umat beragama saat ini adalah menyangkut masalah kemanusiaan universal. Oleh sebab itu agama dituntut mampu memberikan jawaban terhadap problem kemanusiaan secara menyeluruh yang menyangkut keadilan, pemenuhan kesejahteraan, pelestarian alam dan sebagainya. Jika tidak, maka agama akan kehilangan pengaruhnya.
Ajaran agama harus dipahami secara benar dan digali makna subtansialnya. Isu-isu kontemporer mengenai: keadilan, HAM, demokratisasi dan segala macam jenis pemihakan masyarakat seharusnya dijadikan indikator keberhasilan dakwah agama. Karena dimensi agama tidak hanya bersifat teosentris, melainkan juga sarat dengan dimensi antroposentris. Agama diturunkan oleh Tuhan untuk manusia, sementara manusia tidak bisa lepas dari ketergantungan dengan manusia lain atau alam makro secara keseluruhan.
Memang dalam praktik keberagamaan sehari-sehari kita saksikan, bahwa antara iman dan amal saleh sering tampak tidak berimbang. Dengan kata lain, pengahyatan dalam nilai-nilai keimanan sering terpisahkan dengan peran sosialnya. Ini disebabkan dalam merumuskan pengertian iman dalam agama tidak mengkaitkan realitas empiriknya. Sementara di pihak lain, antara nilai iman (ortodoksi) dan nilai amal (ortopraksis) dalam agama terlalu banyak mengalami kontradiksi dan gap. Akibatnya, dari ketidakseimbangan (gap) antara amal dan iman tadi memunculkan kritik terhadap agama dan pemeluknya, yang dilukiskan sebagai: agama yang egois, individualis, agama yang hanya sarat dengan doktrin sakral, praktik ritual, tidak memihak kaum lemah dan seterusnya. Padahal agama dikenal sebagai pembawa rahmat dan penyalamat umat, dan secara normatif agama juga dianggap sebagai kontrol sosial, edukatif, dan pemersatu umat.
Kini saatnya semua umat beragama bersatu dan membuka kembali kitab sucinya masing-masing untuk menemukan ajaran kemanusiaan universal dalam rangka melawan musuh nyata ketidakadilan. Demikian juga perlunya kita memperjuangkan problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia dengan menata kembali kehidupan sosial yang adil dan egaliter. Oleh sebab itu orang beriman yang sejati adalah bukan hanya mereka yang mengucapkan kalimah syahadah, melainkan mereka yang menegakkan keadilan dan memperjuangkan kelompok yang tertindas (al-mustadh’afin). Untuk menuju ke arah kedamaian dan keutuhan umat, maka keadilan harus terus diperjuangkan, dan inilah misi besar agama.
Dalam konteks Islam misalnya, tidak dikenal dikotomi antara domain duniawi dan domain agama. Nilai-nilai Islam pada dasarnya --meminjam istilah Kuntowijoyo--bersifat all embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya sesuai dengan nilai-nilai Islam yang humanis, yang rahmah.
Agar agama tidak dijauhi oleh pemeluknya, maka agama harus mampu menjawab tantangan-tantangan yang semakin kompleks seiring dengan perubahan zaman yang semakin cepat. Tantangan-tantangan itu antara lain menyangkut: pemahaman ajaran agama dan politisasi agama. Sementara pluralitas agama bisa menjadi bagian khazanah bangsa jika dipahami sebagai anugerah Tuhan, dengan cara menjalin kerjasama untuk membangun persatuan dan kesatuan antarumat beragama demi terwujudnya kemakmuran dunia. Jika pluralitas agama menemukan satu wadah visi maupun misi teologis yang sama, maka agama akan mampu menjawab berbagai tantangan yang akan dihadapai baik sekarang maupun mendatang.
Namun fenomena yang nampak selama ini adalah, agama lebih berorientasi pada status quo, ketimbang misi kemanusiaannya. Agama lebih cenderung berlindung di balik kepentingan para pejabat atau pemimipin formal agama. Kini saatnya bangsa Indonesia belajar dari para the founding fathers dan para wali songo yang menempatkan persatuan dan kesatuan (kemaslahatan) di atas segalanya, dakwah pun harus bijak, santun dan menyejukkan sebagaimana juga tuntunan junjungan Nabi besar Muhammad Saw.***
------------------
*M. Zainuddin adalah dosen Pascasarjana UIN Malang, penulis buku Merawat Keberagaman dalam Keberagamaan, 2019.