ANAK-ANAK DI TENGAH PANDEMI COVID-19
Dr. HM. Zainuddin, MA Kamis, 23 Juli 2020 . in Wakil Rektor I . 558 views


Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Pembatasan sosial (social distancing) yang berlangsung selama masa pandemi memberi tekanan mental atau psiko sosial terhadap anak-anak. Menjelang peringatan Hari Anak Nasional 2020 yang jatuh pada 23 Juli, Menteri Pemberdayaan Perempuan, I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam wawancaranya kemaren mengatakan, bahwa anak-anak di Indonesia saat ini sedang mengalami masa sulit. Mereka tidak bisa belajar bersama para guru, teman-teman mereka, bermain dan berleluasa bergaul karena ada pembatasan social (social distancing). Senada dengan spesialis Perlindungan Anak PBB untuk anak-anak (Unicef) Ali Aulia Ramly, bahwa jika tekanan yang dialami anak-anak ini cukup lama, maka akan menyebabkan gangguan jiwa (mental disorder) (Kompas, Senin 20/7/20).



Dalam beberapa kali penulis menyimak keluhan yang dialami oleh para Ibu dan juga sebagian bapak sebagai kepala rumah tangga terkait anak-anak mereka yang sedang belajar di rumah (daring). Pada umumnya mereka mengeluhkan beberapa hal: anak-anak sudah pada tarap jenuh berada di rumah yang cukup lama, sementara fasilitas wifi tidak memadai, penguasaan pembelajaran yang membutuhkan bimbingan terus menerus. Beberapa orang tua mendapat keluhan anak-anaknya karena tidak bisa bertemu dan bersosialisasi dengan para guru dan teman-temannya di sekolah. Sementara bermain ke tetangga dan ke mall dan tempat hiburan lain juga tidak bisa. Praktis harus berdiam diri di rumah. Para Ibu yang biasa membimbing putera-puterinya selama ini juga sudah mengalami titik jenuh, apalagi mereka yang juga bekerja baik sebagai pendidik, pekerja kantor atau yang lainnya. Sementara para bapak tidak cukup sabar dan terbiasa membimbing mereka.



Dari aspek pembelajaran daring tentu memerlukan media yang harus dipenuhi plus bagaimana mengaplikasikan zoom meet, google meet, v.meet dst. yang tidak semua orang tua juga menguasai, apalagi mereka yang berada di jenjang pendidikan dasar dan menengah yang masih membutuhkan bimbingan terus-menerus. Demikian juga mereka yang tinggal di pedesaan yang jauh dari akses internet. Belum lagi soal biaya yang harus dikeluarkan.



Problem Substantif



Problem yang dialami oleh anak-anak ini harus segera diatasi karena mereka adalah para penerus dan calon pemimpin bangsa. Dalam konteks Bonus Demografi, sebagaimana yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, jumlah anak kelompok usia 0-9 tahun sebanyak 47,57 juta, sedangkan anak usia 10-19 tahun berjumlah 45,35 juta jiwa. Kelak pada 2045, mereka yang usia 0-10 tahun akan berusia 35-45 tahun, sedangkan yang usia 10-20 tahun berusia 45-54. Pada usia-usia ini mereka akan memegang peran penting di kancah Indonesia. Mereka diharapkan akan menjadi generasi yang cerdas, produktif, inovatif, dan berperadaban unggul. Mereka akan menjadi generasi emas yang sekaligus juga menjadi pemimpin bangsa.



Potensi kuantitas manusia Indonesia berada pada posisi ke-4 dalam daftar negara berpopulasi tertinggi, demikian pula potensi kekayaan alamnya.



Lembaga Survey Internasional Goldman Sach memprediksi, Indonesia akan berada dalam 10 besar negara dengan ekonomi termaju di tahun 2050 bersama China, India (dan masih di atas Jepang maupun Korea Selatan). Sementara itu Mc-Kinsey Global Institute 2012 melaporkan, bahwa tahun 2030 Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar di dunia nomor tujuh. Suatu posisi yang optimistik, yang tentu saja mungkin tercapai bila Indonesia memiliki pemimpin dan sumber daya manusia yang berkualitas.



Laporan World Bank Education Global Practice mengejutkan kita semua, bahwa prestasi pendidikan Vietnam saat ini meraih skor 525, bahkan mengungguli Hongkong, dan Korea Selatan, padahal pendapatan per kapita Vietnam separuh dari Indonesia, yakni 5668 dollar AS. Jika berdasarkan pendapatan per kapita tersebut, Vietnam hanya dapat meraih skor 394 pada tes PISA (Programme for International Student Assesment), sebaliknya Indonesia dengan pendapatan perkapita 10.385 dollar AS diperkirakan dapat meraih skor 422 yang relatif lebih tingggi. Namun kenyataan menunjukkan, bahwa Indonesia hanya meraih skor 403. Jika dilihat dari skala ekonomi dan besaran anggaran pendidikan, yang mencapai 20 persen dari  APBN, seharusnya Indonesia mampu meraih skor lebih tinggi dari Vietnam (Kompas, 16/03/2018:1).



Sementara itu PBB menempatkan Finlandia sebagai negara yang warganya paling berbahagia di dunia. Pemerintahnya menciptakan sistem layanan terbaik bagi warganya. Laporan Kebahagiaan Dunia 2018 yang diterbitkan Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan (SDSN) PBB menempatkan Finlandia sebagai urutan teratas di antara 156 negara yang warga negaranya paling berbahagia. Kriteria ini didasarkan pada harapan hidup sehat, dukungan sosial, PDB per kapita, kebebasan dan nol korupsi. Peringkat ini naik  dari urutan ke lima pada tahun 2017 menggeser posisi Norwegia, Denmark, Eslandia, dan Swiss. Sukses Finlandia tak lepas dari komitmen pemerintah terhadap layanan warganya (Kompas, 16/03/2018:10). Peneliti Meik Wikking pada CEO Institute melaporkan, bahwa kekayaan bukan ukuran kebahagiaan. Ini terbukti dengan AS yang menempati peringkat ke 18 –menurun dari peringkat 14— pada tahun sebelumnya dalam laporan PBB. Meski pendapatan per kapita AS terus meningkat, namun tidak pernah masuk 10 besar dalam  peringkat kebahagiaan. AS semakin kaya tetapi tidak pernah bahagia, kata Prof. Jeffrey Sachs, kepala SDSN (Sustainable Development Solutions Network) dari Universitas Columbia New York. Faktor utama ketidakbahagiaan ini adalah karena sistem sosial politik AS yang tidak kondusif. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia  berada dalam peringkat ke 96 dari 156 negara, di bawah Malaysia (35), Thailand (45), Lybia (70), Filipina (71), Pakistan (75) dan Vietnam (95). (Kompas, 16/03/2018:10).



            Data di atas menarik untuk dianalisis. Kenapa negara-negara yang pendapatan perkapitanya tinggi tidak kompatibel dengan capaian prestasi pendidikan, dan bahkan kebahagiaan? Dalam konteks anak Indonesia, alih-alih mengejar prestasi, mengatasi keberlangsungan pembelajaran di sekolah dengan baik saja susah, di mana pandemi global Covid-19 telah menimpa seluruh belahan dunia. Tentu masalah ini akan berpengaruh besar terhadap pembinaan para generasi millenial kita.



Perlu Kepedulian Negara



Ternyata pendapatan perkapita tidak selamanya berbanding lurus dengan capaian pendidikan, bahkan juga capaian kebahagiaan warga negara. Capaian pendidikan di Indonesia, khususnya jenjang pendidikan dasar dan menengah belum beranjak dari kategori di bawah rata-rata, masih satu kategori dengan Thailand, Malaysia dan Filipina.



Dalam kasus Finlandia sebagai negara terbaik di dunia ternyata dapat ditelusuri faktornya, yaitu karena pemerintahnya memiliki perhatian yang sangat besar terhadap warga bangsanya, misalnya pemerintah bersedia menjadi pelayan bagi warga bangsanya, memperhatikan aspek-aspek kebebasan, harapan hidup sehat, menjauhkan korupsi, dan dukungan sosial yang baik. Sementara Amerika Serikat yang pendapatan perkapitanya terus meningkat, dan disebut-sebut sebagai negara pengusung demokrasi, namun kenyataannya tidak kompatibel dengan kebahagiaan warganya, kerena sistem sosialnya tidak kondusif. Jika menggunakan istilah Azumardi Azra, ketahanan sosialnya tidak cukup mampu menghadapi problem kompleksitas. Sementara Indonesia capaian pendidikannya masih belum beranjak dari kategori di bawah rata-rata, jauh di bawah Vietnam, padahal pendapatan per kapitanya Vietnam separuh dari Indonesia, yakni 5668 dollar AS. Jika dilihat dari skala ekonomi dan besaran anggaran pendidikan, yang mencapai 20 persen dari  APBN, seharusnya Indonesia mampu meraih skor lebih tinggi dari Vietnam. Demikian pula tingkat kebahagiaan orang Indonesia berada dalam pringkat ke 96 dari 156 negara, di bawah Malaysia (35), Thailand (45), Lybia (70), Filipina (71), Pakistan (75) dan Vietnam (95).



Jika ditarik dalam skala mikro, maka kekayaan sesorang tidak sebanding lurus dengan prsetasinya bahkan juga kebahagiaannya. Banyak anak-anak orang kaya yang gagal dalam pendidikannya, dan sebaliknya banyak anak-anak dari orang miskin yang sukses dan berprestasi. Orang-orang sukses dan para tokoh terkenal di Indonesia pada umumnya adalah berasal dari anak-anak desa yang tidak mampu secara ekonomi.  Hal ini tentu dapat dipahami, karena anak orang-orang kaya memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap orang tuanya, mereka tidak terlalu banyak memikirkan masa depannya, karena sudah merasa cukup dengan apa yang mereka miliki dan nikmati dengan kekayaan orang tuanya. Selain itu, tantangan yang mereka hadapi sangat kecil bahkan hampir tidak ada, mereka serba berkecukupan dengan segala fasilitasnya. Sementara itu anak-anak desa yang miskin menghadapi tantangan yang besar dan mereka harus banting tulang untuk mendapatkan segala sesuatunya. Tantangan inilah yang kemudian membuat mereka berkemauan keras dan bercita-cita tinggi untuk meraih masa depannya, termasuk yang dilakukan oleh para orang tuanya. Maka sesungguhnya capaian prestasi itulah yang membuat mereka puas dan bahagia, sesuatu yang memenuhi kebutuhan ruhaninya. Sementara itu pemenuhan materi tidak pernah cukup membuat seseorang puas dan merasa cukup aman dan tenteram jiwanya.



Dalam teori Need and Achievment Motivation (N-Ach), Mc Clelland menjelaskan antara lain, bahwa pencapaian (prestasi) adalah lebih penting daripada materi, pencapaian (tujuan atau tugas) memberikan kepuasan pribadi yang lebih besar daripada menerima pujian atau pengakuan orang lain. Teori Mc Clelland ini mirip dengan teori niat dan ikhlas dalam agama, bahwa setiap pekerjaan harus berangkat dari niat yang baik dan benar serta dilakukan secara ikhlas karena ridla Tuhan, setelah itu baru bekerja keras dan berdoa untuk berhasil mencapai tujuan.



Pemerintah Indonesia mesti melakukan introspeksi terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan, sambil belajar dengan negara-negara lain yang sudah maju dan berprestasi seperti Finlandia dan lainnya. Karena Indonesia merupakan negara potensial yang memiliki kekayaan baik SDM maupun SDA-nya. Selain itu Indonesia juga memiliki modal nasionalitas yang kuat, yaitu: kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa (agama), keutuhan wilayah negara, bahasa kesatuan, konstitusi dan falsafah negara, sistem pemerintahan yang meliputi seluruh tanah air, dan jajaran militer sebagai tulang punggung ketertiban dan stabilitas nasional. Maka modalitas tersebut sudah seharusnya menjadi negara yang berprestasi dalam segala aspeknya.



Ada beberapa hal yang mesti dilakukan: Pertama, sekolah seharusnya berpihak kepada masyarakat bawah (the lower class). Bahkan “penindasan” yang dilakukan oleh institusi yang bernama sekolah ini mendorong Paulo Freire untuk mengusulkan perlunya perubahan yang fundamental bagi terwujudnya pemihakan (commitment) rakyat miskin. Muller merekomendasi pemerataan pendidikan secara luas dan dalam jumlah yang memadai. Pemerataan dimaksud adalah memberi kesempatan kepada masayarakat lapis bawah, bahkan mereka harus mendapatkan preferensi supaya tidak terjadi diskriminasi; Kedua, Seluruh proses belajar-mengajar baik isi maupun penyampaian dan evaluasinya harus berorientasi kepada pemihakan rakyat miskin. Orientasi mata pelajaran dan kurikulum hendaknya ditekankan pada pendidikan yang berwawasan kemanusiaan (humanistik), penciptaan demokratisasi, egalitarianisme dan pluralisme; Ketiga, pemerintah hendaknya memiliki good will dan komitmen yang tinggi terhadap pemberdayaan kaum miskin melalui prioritas program pendidikan dan melakukan kontrol yang ketat terhadap anggaran pendidikan, agar tersalurkan secara merata dan benar; Keempat, masyarakat melalui para pengusaha dan LSM hendaknya turut serta menyediakan sarana pendidikan yang bermutu dan lapangan kerja bagi kaum miskin. Dana sosial baik yang ada dalam pemerintah maupun perusahaan hendaknya diprioritaskan pada pengembangan pendidikan; Kelima, seluruh komponen masyarakat harus memiliki komitmen dan kesepakatan bersama untuk menjadi warga negara yang taat azas: mengikuti norma hukum, baik hukum agama maupun pemerintah, sehingga segala macam tindak korupsi dan eksploitasi yang mengakibatkan kerugian negara dan rakyat banyak dapat terhindarkan, termasuk kegaduhan sosial. Karena harmoni sosial menjadi faktor penting dalam pencapaian prestasi dan kebahagiaan suatu masyarakat. Hal ini juga relevan dengan teori agama, bahwa kemakmuran sebuah negeri tergantung pada penduduknya yang beriman dan bertakwa. Tuhan akan memberi nikmat bagi penduduk negeri yang taat dan menurunkan malapetaka kepada mereka yang zalim (lihat QS. Al-A’raf: 96 dan Al-Qashash: 59). Sudah saatnya semua komponen: pemerintah, orang tua dan masyarakat dari berbagai lapisan melibatkan diri untuk mewujudkan pendidikan yang terbaik bagi generasi bangsa ini. Semoga.***


(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up