FIQH MUWAZANAH ANTARA USAHA MANUSIA DAN KETENTUAN YANG MAHA KUASA
Dr. Uril Bahruddin, MA Sabtu, 13 Februari 2021 . in . 5380 views




Iman kepada taqdir Allah sudah barang tentu tidak bertentangan dengan usaha manusia, karena pada hakekatnya usaha yang dilakukan oleh manusia juga merupakan taqdir atau ketentuan dari Allah juga. Barang siapa yang beranggapan bahwa datangnya ketentuan Allah tidak didahului dengan sebab/usaha, maka anggapan tersebut justru bertentangan dengan hakekat iman kepada taqdir, karena Allah juga telah membuat taqdir lain, yaitu manusia melakukan usaha dan sebab. Suatu ketika Rasulullah ditanya tentang masalah ruqyah, “apakah engkau dapat menghalangi ketentuan Allah?”, Rasulullah menjawab, “Melakukan aktifitas ruqyah adalah ketentuan Allah juga” (HR Tirmidzi). Seluruh kehidupan Rasulullah saw. dan sahabatnya dipenuhi dengan berbagai usaha dan upaya untuk sampai kepada tujuan yang diinginkan dalam rangka berdakwah dan membangun masyarakat Islam.



Wabah Covid-19 yang melanda seluruh negara di dunia ini adalah merupakan taqdir Allah. Usaha yang dilakukan manusia agar terhidar dan tidak terkena wabah ini -yang juga bagian dari taqdir Allah- adalah sebuah keniscayaan. Rasulullah saw. adalah pemimpin orang-orang yang bertawakkal. Tidak ada manusia yang tingkat tawakkalnya melebihi tingkat tawakkal Rasulullah saw. Meskipun demikian, Rasulullah tetap melakukan usaha dalam setiap hal yang ingin didapatkan. Dalam peperangan misalnya, meskipun Rasulullah saw. berada dalam fihak kebenaran dan yakin betul dengan adanya pertolongan dari Allah swt., tetap saja beliau menjalankan sebab dan melakukan usaha serta memilih strategi untuk menggapai kemenangan yang diinginkan. Rasulullah menyiapkan pasukan, mengutus mata-mata, memakai penutup kepala, memakai baju besi, menempatkan pasukan panah di atas bukit dan menggali parit disekitar Madinah. Dalam berdakwah, Rasulullah juga memerintahkan sahabatnya untuk hijrah ke Habasyah, beliau sendiri juga hijrah ke Madinah, menyewa penunjuk jalan, bersembunyi di goa Tsur dan membawa bekal untuk perjalanan. Semua itu tetap dilakukan, padahah beliau adalah imamnya orang yang bertawakkal.



Islam mengajarkan kepada umatnya untuk memadukan antara tawakkal dan usaha. Tidak boleh hanya menyandarkan diri pada tawakkal tanpa adanya usaha, dan juga tidak boleh hanya berusaha tanpa menyerahkan hasilnya kepada Yang Maha Kuasa. Allah menciptakan manusia dengan sebab, yaitu melalui perantara kedua orang tuanya. Ampunan dan pahala dari Allah tidak secara otomatis didapatkan oleh manusia, padahal Allah Maha Pengampun, melainkan harus ada usaha dan upaya melaksanakan sebab seperti ibadah, doa dan berbuat kebaikan atau amal soleh. Rizki juga tidak mungkin akan datang dengan sendirinya secara tiba-tiba, jika tidak dilalui dengan usaha atau bekerja.  Sebuah kesalahan besar, jika ada orang yang menganggap bahwa segala sesuatu pasti akan terjadi tanpa harus disertai dengan usaha.



Pada prinsipnya, seorang hamba dituntut untuk menjalankan usaha, -tentunya usaha tersebut dibatasi dengan hal yang diizinkan oleh Allah swt.- dengan meyakini bahwa hasil akhir tetap berada di tangan-Nya. Apabila hasil akhir sesuai dengan yang diinginkan dalam usahanya, maka itulah taqdir dan ketentuan Allah yang terbaik buat hamba tersebut. Namun jika sebaliknya, maka hal itu juga merupakan taqdir Allah yang harus diterima oleh manusia dan disikapi dengan berbaik sangka kepada-Nya, bahwa hal itu adalah pilihan Allah yang terbaik baginya. Rasulullah bersabda: “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya” (HR. Muslim).



Keseimbangan antara tawakkal dan usaha itu dapat terwujud apabila seorang mukmin percaya dengan janji Allah dan meyakini bahwa ketentuan-Nya pasti terjadi, namun tidak meningglkan usaha yang merupakan sunnatullah untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan. Seorang mukmin tidak boleh juga merasa tenang dan aman dengan usaha yang dilakukan, harus tetap meyakini bahwa hal itu akan terjadi dengan izin-Nya.



Demikianlah Umar r.a memahami dan mengajarkan kepada kita masalah taqdir. Di tengah perjalanannya ke Syam, beliau mendengar di sana sedang terjadi wabah tha’un, Umar-pun berfikir tidak melanjutkan perjalanannya ke Syam dan memilih kembali putar baik ke Madinah. Melihat sikap Umar yang demikian, Abu Ubaidah bin Al Jarrah bertanya kepada Umar, “apakah engkau akan lari dari ketentuan Allah?” Dijawab oleh Umar, “betul, saya lari dari takdir Allah menuju pada taqdir-Nya yang lain”. Dengan demikian, tidak diteruskannya perjalanan Umar ke Syam tidak berarti ingkar dengan taqdir Allah, namun Umar dalam hal ini memilih taqdir yang lain, yaitu kembali ke Madinah yang merupakan usaha untuk menyelamatkan diri dari wabah tha’un yang terjadi di negeri Syam. Lebih lanjut Umar menambahkan penjelasannya setelah itu, “seandainya engkau pergi menggembalakan onta, sementara di hadapanmu ada dua lembah; pertama kering kerontang dan yang kedua penuh dengan rumput hijau, maka manapun dari dua lembah yang engkau pilih adalah sama-sama menjalankan taqdir Allah swt.”.



Terkait dengan wabah Covid-19, mungkin ada sebagian orang yang dengan alasan tawakkal kepada Allah, mengabaikan protokol kesehatan yang telah disepakati oleh orang-orang atau institusi yang memiliki otoritas untuk itu. Sehingga sebagian orang tersebut tidak memakai masker, tidak menjaga jarak dan lain sebagainya. Mungkin juga dengan keyakinannya, sebagian orang itu kemudian mengajak orang lain dan mendeklarasikan diri di depan masyarakat umum. Berdasarkan pemahaman terhadap sejaran Rasulullah dan para sahabat di atas, sebenarnya sikap yang demikian tidak tepat. Kalau dasarnya adalah tawakkal, maka tawakkal itu tetap harus diikuti dengan usaha, dan usaha untuk menyelamatkan diri dari wabah Covid-19 adalah adalah menjalankan protokol kesehatan, sebagaimana kalau seseorang sedang sakit kemudian minum obat atau minum jamu. Apabila alasan yang digunakan adalah taqdir Allah, maka menjalankan protokol kesehatan adalah juga melaksanakan taqdir Allah.



Mungkin juga diantara sebagian orang yang menganggap bahwa Covid-19 itu penyakit yang tidak menular, bahkan mungkin berkeyakinan bahwa tidak ada sama sekali di dunia ini namanya penyakit menular. Pertanyaannya, apakah dia punya ilmu dan otoritas untuk mengetahui suatu penyakit itu menular atau tidak? Apakah dia lebih ber-taqwa dari Umar bin Khattab yang menghidar dari wabah tha’un? Apakah dia lebih baik dari Rasulullah yang memakai baju besi dalam peperangan? Keyakinan seperti ini sesungguhnya bukan hanya sesat untuk dirinya, namun dapat pula menyesatkan orang lain. Bahkan lebih dari itu, dapat meruntuhkan bangunan keilmuan kedokteran dan kesehatan yang telah dibangun berdasarkan sunnatullah dan ayat-ayat Allah yang digelar dalam kehidupan ini.



Terakhir, mari kita tadabburi sejumlah teks al Aquran yang memerintahkan kepada manusia untuk berusaha dan bukan hanya berserah diri, diantaranya perintah untuk makan dan minum (Al Anfal:69), perintah untuk bekerja dan berusaha (Al Mulk:15), perintah untuk berhati-hati dan mawas diri (An Nisa’:71) dan perintah untuk memaksimalkan potensi (Al Anfal:60). Memang, apabila hanya mengandalkan usaha semata dan melalaikan Allah sebagai pemegang otoritas keputusan, maka bisa terjerumus ke dalam perbuatan menyekutukan Allah atau syirik -na’udzu billah min dzalik-. Wallahu A’lam





U.B. Umar



Batu, 13 Februari 2021


(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up