Catatan KKN: Jiharudin (Mahasiswa Jurusan Psikologi, Semester 6)
UIN MALANG-Bakar Batu, terdengar aneh bahkan tidak masuk akal. Namun, hal itu sudah dilakoni masyarakat Papua secara turun-temurun. Bahkan, dalam setahun mereka bisa melaksanakan tradisi Bakar Batu beberapa kali. Sebagai salah satu delegasi KKN-KNMB (Kolaborasi Nusantara Moderasi Beragama) di Provinsi Papua, saya berkesempatan mengikuti salah satu tradisi Bakar Batu di Kampung Sabron Sari, Kecamatan Sentani Barat, Kabupaten Jayapura, Sabtu (30/7).
Tradisi ini diawali dengan menyiapkan beberapa lapis kayu dan batu yang disusun secara teratur. Setelah itu masyarakat serentak membakar kayu-kayu tersebut hingga menjadi abu. Sembari menunggu, mereka menyiapkan beberapa lubang yang mereka sebut sebagai kolam makanan. Lubang-lubang itu diisi dengan bahan makanan. Berdasarkan pengamatan saya saat itu, para warga menimbun jagung, ketela, dan ubi di kolam tersebut. Dalam Bakar Batu lainnya, kolam juga bisa diisi babi, ayam, jagung, ubi, dan talas.
Setelah kolam terisi penuh, mereka menutupinya dengan beberapa lembar daun pisang. Barulah mereka mengangkat batu yang tadi sudah dibakar ke kolam-kolam makanan menggunakan capitan dari kayu. Mereka menyusun rapi batu dan daun pisang di kolam tersebut. Sekitar 1 hingga 2 jam kemudian, makanan dalam kolam pun matang.
Ketika menunggu, warga mengikuti rangkaian acara sebelum makan bersama dimulai. Acara diawali dengan pembukaan dan beberapa sambutan dari para tokoh dan aparat setempat. Setelah beberapa sambutan tersampaikan, barulah masuk ke dalam pelaksanaan ritual ibadah umat Kristen. Para tamu undangan dan tamu masyarakat non-Papua di sekitar pun ikut serta dalam tradisi tersebut. Mereka juga memberikan sumbangan uang pada tas noken panitia. Panitia akan mengucapkan "Waa, Waa, Waa," yang artinya terima kasih kepada orang yang memberi sumbangan.
Selesai prosesi acara, barulah mereka duduk membuat lingkaran. Beberapa orang anggota lingkaran itu akan lari bulak-balik mengambil makanan di kolam yang sudah ditimbun tadi. Orang yang sudah makan dari suatu lingkaran tidak bisa berpindah ke lingkaran lain, khususnya yang dari lingkaran dengan menu babi, tidak boleh menuju lingkaran masyarakat muslim.
Menurut Timotius Weya, Tradisi Bakar Batu adalah wujud kekeluargaan dan solidaritas suku Papua. Tradisi ini memungkinkan mereka yang berlebih untuk berbagi, baik itu hasil panen ataupun sumbangan dalam bentuk lainnya. “Keluarga kami dari Nimbokrang, Keroom, dan Jayapura yang tidak memiliki perkebunan, yang yatim piatu, dan yang serba kesusahan berkumpul di sini dan makan bersama,” papar ketua RT 08 itu. Dalam tradisi tersebut, tak ada perbedaan. Pejabat pun duduk melingkar dan makan bersama marga mereka yang tidak mampu. Makanan akan dibagikan rata tanpa terkecuali. “Karena ada menu babi, biasanya kami menyiapkan kolam khusus yang isinya ayam untuk saudara kami yang muslim,” jelasnya.
Tradisi Bakar Batu selalu dihadiri oleh banyak marga keluarga suku Papua. Mereka datang berbondong-bondong dari pagi dan pulang saat matahari terbenam. Biasanya, sesi makan selesai sekitar pukul 16.00 WIT, namun mereka tetap menari tarian khas Papua setelah selesai makan.
Salah satu mace, panggilan ibu dalam masyarakat Papua, juga menjelaskan bahwa dana sumbangan yang terkumpul biasanya diperuntukan bagi kepentingan bersama dan pembangunan infrastruktur seperti gereja. Tak hanya itu, dana itu juga acapkali digunakan untuk membantu masyarakat Papua yang terdampak bencana. Intinya, Tradisi Batu Bakar ini tidak sebatas ajang silaturahmi saja, namun juga ajang tolong-menolong dan toleransi ala masyarakat adat Papua. (*/nd)