UIN MALANG-Begitu banyak orang bersuara mengenai ketidakpuasan terhadap capaian pendidikan di Indonesia. Kegelisahan masyarakat ini sering diutarakan baik dalam diskusi langsung, maupun melalui sosial media. Hal tersebut, kemudian, menimbulkan pertanyaan, apakah kurikulum di Indonesia kurang matang? Isu ini menjadi salah satu bahasan dalam Diskusi Buku Sekolah Bernama Rumah yang dilaksanakan di Ruang Literasi, Gedung Pusat Perpustakaan, Kamis (17/4). Dalam diskusi tersebut, kedua penulis buku yang juga merupakan pasutri, Rifky Mahruly, SE. dan Suri Kusuma Dewi, S.Pd., hadir langsung untuk berbagi pemikiran mereka mengenai isu pendidikan di Indonesia. Sebagai pemateri ketiga, Prof. Dr. Akhmad Nurul Kawakip, M.Pd., MA., Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Islam, dihadirkan dalam forum. Sementara itu, Kepala Pusat Perpustakaan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Mufid, S.Ag., SS., M.Hum. memberikan dukungannya dalam pembukaan diskusi buku tersebut.
Menanggapi kegelisahan yang muncul mengenai ketidakmatangan kurikulum, Rifky Mahruly menanyakan kembali, “Apa benar rendahnya capaian pendidikan disebabkan oleh kurikulum? Atau jangan-jangan yang meragukan kualitas kurikulum Indonesia tidak pernah mempelajari dokumen kurikulum dari Kementerian Pendidikan?”
Rifky melanjutkan, berdasarkan pengalamannya dan istri, pendidikan di Indonesia seringkali terpusat di sekolah. “Sehingga kalau ada apa-apa, yang disalahkan ya guru dan sekolahnya,” imbuhnya. Buku Sekolah Bernama Rumah ingin menyampaikan kepada para orang tua dan calon orang tua bahwa pendidikan juga tetap berjalan meski anak di rumah. “Orang tua punya tanggung jawab untuk memfasilitasi anak-anaknya agar capaian pendidikan yang diharapkan tercapai,” tegas Bapak dari tiga putri tersebut.
Sementara itu, Suri Kusuma Dewi menyatakan bahwa ia dan suaminya menulis buku Sekolah Bernama Rumah bukan sebagai simbol perlawanan terhadap rancangan pendidikan Indonesia. “Kami justru ingin mendukung sistem pendidikan yang ada. Kami tidak ingin hanya sekadar protes tanpa memberikan solusi,” jelasnya.
Awal mula penulisan buku tersebut, tutur Dewi, adalah karena kegelisahannya juga sebagai orang tua yang mendidik putri-putrinya di sekolah, baik negeri maupun swasta. Dari pengalaman positif dan negatif yang dialaminya, ia pun berpikir, apa sebenarnya definisi sekolah dan belajar? Apa pendidikan hanya diberikan di sekolah? Apakah selama ini keluarga sudah dilibatkan dalam proses pendidikan?
Dengan kesadaran tersebut, buku Sekolah Bernama Rumah berbagi ide dan metode dalam mendidik anak-anak, yang bisa dipraktikkan orang tua maupun calon orang tua. Tak hanya itu, “Kami ingin meningkatkan kesadaran pendidikan dalam lingkup keluarga, suatu unsur terkecil dalam masyarakat,” jabarnya.
Di sesi terakhir, Prof. Dr. Akhmad Nurul Kawakip, M.Pd., MA. menambahkan pemikiran dalam perspektif Pendidikan Islam. Salah satu ungkapan ternama yang ia sebutkan ialah Al-ummu madrasatul ula. Kata al-ummu di sini meski bermakna Ibu, namun secara garis besar menggambarkan peran orang tua sebagai sekolah pertama bagi anak. “Jadi apapun anak-anak kita nanti, tergantung dari bentukan orang tuanya,” imbuh Prof. Kawakip.
Selanjutnya, ia juga mengemukakan bahwa tipologi setiap anak berbeda. Ada yang cocok dengan sistem sekolah, ada pula yang bisa dididik dengan sistem home schooling. Maka, tanggung jawab orang tua untuk menemukan pendidikan yang cocok bagi putra-putrinya. (nd)