Hasil UN 2010 Jeblok: Sebuah Ironi di Tengah Peningkatan Anggaran Pendidikan
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Kamis, 29 April 2010 . in Rektor . 1650 views

Hasil Ujian Nasional tingkat Sekolah Menengah Atas, baik SMA/MA/SMK telah diumumkan Senin, 26 April 2010. Banyak pihak terkejut dengan hasil UN 2010. Sebab, dari 1.522.162 siswa secara nasional yang mengikuti UN terdapat 154.079 siswa (9,88 %) yang harus mengulang pada 10-14 Mei 2010. Yang lebih mengagetkan lagi terdapat 267 sekolah, yang terdiri atas 51 sekolah negeri dan 216 sekolah swasta, dari 16. 467 sekolah tingkat atas secara nasional tak satupun siswanya yang lulus UN. Dari 267 sekolah itu terdapat 7. 648 siswa yang harus mengulang bersamaan dengan siswa-siswa lain yang tidak lulus. Angka kelulusan UN tahun ini lebih jelek dibanding dengan angka kelulusan UN 2009. Sekadar perbandingan, angka kelulusan UN 2009 mencapai 95.05 %, sedangkan tahun 2010 mencapai 89. 61 %.

Walau pemerintah lewat  Mendiknas berkali-kali mengatakan bahwa UN bukan penentu kelulusan dan masih ada kesempatan untuk mengulang, tetap saja siswa yang tidak lulus UN kecewa bahkan ada yang stres berat. Kekecewaan itu wajar, sebab secara psikologis siswa yang tidak lulus UN malu dengan teman-teman lain yang sudah lulus lebih dahulu. Apalagi jika keluarga menuntut yang bersangkutan harus lulus dan rencana-rencana studi selanjutnya sudah dirancang. Ada siswa yang sudah diterima di PTN bergensi lewat PMDK ternyata tidak lulus UN. Karena itu, beban psikis siswa tidak bisa dihindari.

Yang menjadi pertanyaan mengapa angka ketidaklulusan UN 2010 lebih rendah daripada UN 2009. Menurut saya ada beberapa sebab. Pertama, kenaikan standar kelulusan. Tampaknya, kenaikan standar kelulusan itu tidak diantisipasi oleh para siswa, guru, dan orangtua siswa. Setelah pemerintah mengumumkan kenaikan standar kelulusan mestinya segera diiikuti dengan program-program akademik untuk meningkatkan kemampuan akademik siswa menghadapi UN. Sebagian malah terlena dengan aksi protes ke pemerintah dengan menuntut penghapusan UN. Sementara pemerintah bersikukuh tetap melaksanakan UN dengan alasan untuk penyamaan standar mutu pendidikan secara nasional dan untuk mengambil langkah-langkah kebijakan di bidang pendidikan lebih lanjut.  .

Kedua, banyak sekolah yang tidak mampu memenuhi delapan standar nasional pendidikan, yakni: standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian. Rumusan delapan standar nasional pendidikan tersebut merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang telah dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan pemerintah, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Karena ketentuan perundang-undangan menyangkut komponen yang harus dipenuhi dalam mengelola lembaga pendidikan sudah terumuskan dengan jelas, maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap penyelenggara pendidikan untuk dapat memenuhi ketentuan tersebut. Hampir bisa dipastikan sekolah-sekolah yang siswanya banyak yang tidak lulus, apalagi ada yang mencapai  100 %, tidak memenuhi delapan komponen standar nasional tersebut.           .

Ketiga, khusus menyangkut standar isi (kurikulum), banyak sekolah kurang menghayati standar isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang selama ini dipakai. Ketika mengunjungi beberapa sekolah di bawah pengawasan UIN Malang di empat kabupaten dan satu kota (Madiun, Ngawi, Ponorogo, Magetan dan Kota Madiun), saya memperoleh informasi tentang keluhan para kepala sekolah dan guru tentang kurikulum ini yang berbasis satuan pendidikan. Mereka bahkan usul jika UN tetap dilaksanakan kurikulum harus dikembalikan lagi ke kurikulum nasional (Kurnas) seperti dulu. Tetapi kurikulum nasional dulu juga memperoleh banyak kritik karena dianggap memasung kreativitas guru. Selain itu, sekolah dianggap sebagai objek pendidikan, bukan subjek yang kreatif.   .

Keempat, pelaksanaan UN 2010 relatif lebih ketat daripada tahun lalu dengan keterlibatan seluruh Perguruan Tinggi Negeri, termasuk 6 Universitas Islam Negeri (UIN) di seluruh Indonesia, sebagai pengawas. Belajar dari tahun lalu sebagai pengawas UN, para dosen PTN yang terlibat dalam pengawasan  UN tahun ini jauh lebih siap dan melaksanakan tugas pengawasan dengan lebih baik, sehingga peserta ujian tidak bisa berlaku curang. Berbagai modus operandi kecurangan telah diantisipasi oleh panitia dan pengawas dengan lebih sigap. Hasilnya, dari sisi pelaksanaan,  UN 2010 lebih tertib daripada tahun 2009.

Kelima, keterlibatan tim independen dan pihak kepolisian  dalam mengamankan naskah ujian secara lebih serius sehingga kebocoran soal di tengah perjalanan sebelum ujian tidak lagi ada. Ini membuat sekolah dan guru tidak berani melakukan kecurangan dengan membantu peserta ujian memberi jawaban soal. Bahkan, beberapa sekolah yang pada UN tahun  lalu kedapatan melakukan kecurangan diberi sanki tegas. Siswa dari sekolah-sekolah tersebut ditolak masuk PMDK ke perguruan tinggi yang selama ini menjadi mitranya.

Belajar dari hasil UN 2010 yang anjlok ini, maka berbagai pihak yang terlibat dalan penyelenggaraan pendidikan (pemerintah, sekolah, guru, orangtua siswa) untuk segera mengambil langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan di semua satuan pendidikan di seluruh Indonesia. Peningkatan kualitas tenaga pendidik dan tenaga kependidikan sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai juga sangat urgen.

Bagi sekolah-sekolah yang berprestasi, yakni yang siswanya lulus 100 %, saya berharap pemerintah memberikan reward sebagai bentuk penghargaan. Sebaliknya, bagi sekolah yang siswanya banyak yang tidak lulus apalagi mencapai 100 % pemerintah agar segera turun tangan untuk membenahi sekolah tersebut dengan menitikberatkan pada fokus yang menjadi penyebab utama ketidaklulusan.

Memang ada yang ironis dengan hasil UN 2010 ini. Betapa tidak. Di saat  pemerintah meningkatkan anggaran pendidikan demikian besar dalam rangka memenuhi amanah undang-undang dengan harapan anggaran yang besar dapat meningkatkan kualitas dan juga kebijakan pemerintah tentang sertifikasi guru, yang diharapkan kualitas para guru meningkat, justru hasil akhir pendidikan melorot. Jika demikian, saya teringat pernah membaca sebuah hasil penelitian para pakar kebijakan publik beberapa tahun lalu bahwa tidak pernah ada korelasi positif antara kenaikan gaji karyawan/pegawai dengan kualitas kinerja mereka.

Semula saya ragu dengan hasil penelitian itu. Tetapi saya menjadi yakin karena melihat sendiri apa yang terjadi di negeri ini. Semua guru yang berjumlah hampir 2, 7 juta ditingkatkan kualifikasinya menjadi Sarjana (S1), ditingkatkan kompetensinya sehingga mempunyai empat kompetensi utama (profesional, pedagogik, sosial, dan kepribadian), disertifikasi dan setelah lulus diberi tunjangan sertifikasi sebesar satu kali gaji pokok. Logikanya, berbagai upaya ini diikuti dengan peningkatan kualitas, baik kualitas para guru itu sendiri maupun kualitas lulusannya.

Kalau begitu apa akar masalah dari semua ini? Menurut saya delapan standar nasional pendidikan itu belum cukup. Ada satu yang belum masuk dalam standar pendidikan itu, yakni panggilan hati yang tulus untuk menjadi pendidik. Dengan panggilan hati yang tulus, guru akan menjalankan tugas kependidikan dengan baik kendati gaji tidak tinggi. Hanya persoalannya bagaimana mengukur standar  panggilan hati itu. Mungkin karena tidak bisa diukur itu, standar yang justru sangat penting ini tidak dimasukkan. Jika panggilan hati untuk menjadi pendidik itu tidak bisa digali, apa pun upaya peningkatan kualitas pendidikan kita akan sia-sia. Sebab, ia merupakan ruh yang akan menggerakkan seluruh jiwa dan raga untuk menjalankan tugas sebagai pendidik.

______________

Malang, 28 April 2010

 

 

 

.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up