Dalam kehidupan ini kita sering menjumpai ada orang yang berhasil, dan ada pula yang gagal. Ada yang lancar dan lurus-lurus saja dalam menjalankan roda kehidupan, ada pula yang terseok-seok. Keberhasilan dan kegagalan merupakan kejadian biasa dan selalu ada dalam masyarakat mana saja. Selama bertahun-tahun, orang beranggapan bahwa keberhasilan seseorang ditentukan oleh kecerdasan intelektual (intelligence Quotient), sering disebut IQ. Kecerdasan ini merupakan kemampuan untuk memecahkan masalah secara logis dan akademis. Para ahli meyakini IQ sebagai ukuran terbaik atas kecerdasan dan potensial seseorang dalam meraih sukses. Menurut teori ini, semakin tinggi IQ seseorang, semakin tinggi pula kecerdasannya. Sebaliknya, orang yang gagal dalam hidupnya dianggap memiliki IQ yang kurang baik (baca: rendah), sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
Pada pertengahan 1990-an, para ahli menemukan bentuk kecerdasan lain yang menentukan keberhasilan seseorang, yaitu EQ (Emotional Quotient), yakni suatu kemampuan berempati, bela rasa, dan memahami diri dan perasaan orang lain, dan motivasi untuk maju. EQ merupakan persyaratan dasar untuk menggunakan IQ secara efektif. Dengan demikian, IQ bukan satu-satunya kecerdasan yang menentukan keberhasilan seseorang, sebagaimana selama ini diyakini banyak orang. Temuan itu tentu saja menghebohkan banyak orang. Karena itu, seminar dan diskusi akademik yang membahas temuan baru para ahli itu semarak dilaksanakan di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Bagaimana pandangan kita atas hal tersebut? Untuk menjawabnya, kita menggunakan perspektif historis.
Ada contoh menarik. Kita semua mengenal Jepang adalah salah satu negara maju di dunia dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan hidup masyarakatnya yang sangat tinggi. Dengan stabilitas ekonomi yang demikian mapan, Jepang menjadi salah satu penentu perekonomian global. Produk teknologinya tersebar ke seluruh dunia. Yang lebih menarik lagi, kendati 80% wilayahnya pegunungan, pertanian Jepang juga sangat maju sehingga produk pertaniannya menjadi salah satu andalan ekspor.
Mengapa bisa demikian? Para ahli membuat analisis menarik. Ketika terlibat dalam Perang Dunia II (PD II) hingga puncaknya Nagasaki dan Hirosima dibom atom oleh tentara sekutu tahun 1945, Jepang hancur berantakan sampai titik nol. Hebatnya dalam waktu yang tidak lama Jepang bangkit dan menjadi salah satu kekuatan dunia. Pertanyaannya apakah bangsa Jepang memiliki IQ yang lebih tinggi daripada bangsa lain? Para ahli sepakat penyebabnya bukan itu. Sebab, ada banyak bangsa yang lebih dulu berperadaban maju, seperti India dan Mesir, tetapi sampai saat ini tidak tergolong sebagai bangsa maju. Sebab, mereka tidak bekerja keras dan suka bernostalgia bahwa dulu mereka pernah maju dengan bukti peninggalan sejarah nenek moyangnya. Kalau begitu apa penyebabnya? Setelah dibom atom hingga hancur lebur, bangsa Jepang memendam luka sejarah yang sangat mendalam. Tetapi luka yang mendalam itu tidak diratapi terus menerus, melainkan justru dijadikan kekuatan untuk bangkit sehingga bisa mengalahkan bangsa yang menghancurkan mereka.
Kemampuan untuk segera lepas dari kehancuran dengan tidak meratapi peristiwa yang sudah terjadi serta keinginan kuat untuk menjadi yang terbesar bukan kecerdasan intelektual (IQ), melainkan kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ). Andai saja tidak dibom atom, mungkin Jepang tidak bangkit dan sekuat sekarang ini. Bom atom itu memang mengakibatkan kehancuran luar biasa bagi bangsa Jepang, tetapi di sisi yang lain ternyata membawa hikmah, yakni tumbuhnya kecerdasan emosional. Impian Jepang kini telah terbukti. Barat yang dimotori Amerika yang selama ini menjadi penentu ekonomi dunia dibuat tunduk oleh Jepang karena memiliki kekuatan ekonomi raksasa. Berbeda dengan negara-negara berkembang yang ekonominya rentan goyah akibat perubahan politik, Jepang tidak demikian. Ekonomi Jepang tidak terpengaruh kendati terjadi pergantian pimpinan negara (Perdana Menteri), karena memiliki fondasi ekonomi yang sangat kuat.
Melalui EQ yang dimiliki, masyarakat Jepang bisa dengan cepat dan tepat menentukan pilihan strategi pembangunan, yakni bertumpu pada pengembangan ilmu pengetahuan untuk selanjutnya menghasilkan teknologi. Jepang tahu persis bahwa masyarakat masa depan akan banyak menggantungkan diri pada produk teknologi, yang saat ini dikenal sebagai knowledge-based society. Sekarang menjadi kenyataan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Jepang sangat canggih, dan produk teknologinya membanjiri pasar dunia. Kita telah menjadi konsumen teknologi Jepang yang setia. Kemampuan Jepang untuk mampu membaca alam, dengan melihat kebutuhan manusia modern yang akan tergantung pada teknologi, dan kemampuan berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain di dunia juga bentuk lain dari kecerdasan emosi (EQ) yang dimiliki.
Selain Jepang, Singapura juga bisa dijadikan contoh sebagai sebuah negara yang bangkit setelah lepas dari Malaysia dan menjadi salah satu negara maju di Asia. Keinginan untuk maju dan sanggup bekerja keras merupakan salah satu wujud EQ yang kuat. Sebelumnya, Singapura adalah negara pulau yang tidak memiliki apa-apa, apalagi sumber alam. Sadar posisinya di antara dua negara besar, Indonesia dan Malaysia, pemimpin Singapura Lie Kuan Yew saat itu segera mengambil langkah bagaimana membawa Singapura sebagai negara maju di tengah-tengah himpitan negara-negara besar. Lie Kuan Yew mengawalinya dengan meyakinkan warganya betapa pentingya memiliki rasa percaya diri dan semangat atau etos kerja yang tinggi dengan bertumpu pada sektor jasa, karena tidak memiliki sumber daya alam.
Awalnya tidak mudah bagi Lie Kuan Yew meyakinkan masyarakatnya. Tetapi dia tidak henti-hentinya menyampaikan keyakinannya bahwa lewat kerja keras Singapura yang secara fisik kecil akan menjadi bangsa besar. Apa yang terjadi? Lewat kerja tanpa kenal lelah dan putus asa kurang lebih selama 25 tahun, kini gagasan tersebut menjadi kenyataan. Singapura tampil sebagai salah bangsa maju tidak saja di Asia, tetapi juga di dunia. Tingkat kesejahteraan masyarakat tinggi dengan angka korupsinya salah satu terendah di dunia. Rasa percaya diri, semangat kerja keras dan tidak korup yang ditunjukkan Singapura merupakan perwujudan dari kecerdasan emosional (EQ).
Bagaimana dengan kita? Saya sangat setuju dengan pendapat para pakar di atas bahwa IQ bukan satu-satunya penentu keberhasilan seseorang. Kita sering melihat tidak sedikit orang yang secara akademik tergolong pandai dan cerdas dengan indeks prestasi puncak sehingga diduga memiliki IQ tinggi, tetapi gagal dalam menentukan pilihan dan jalan hidupnya. Apa penyebab utama kegagalan tersebut? Tampaknya, kegagalan itu lebih karena faktor kecerdasan emosional (EQ) yang lemah daripada faktor IQ. Misalnya, mereka sulit berinteraksi dengan orang lain, suka berbohong, jika berkata menyakitkan, tidak jujur, tidak amanah, tidak punya komitmen, tidak konsisten dalam bersikap, tidak menghormati orang lain, sulit beradaptasi dengan lingkungan, dan sebagainya. Karena itu, kita sering mendengar ungkapan “Orang ini pintar, tapi sayang komunikasinya sulit, dan tidak jujur sehingga tidak banyak orang yang memberi kepercayaan”.
Bayangkan apa yang terjadi jika kita berada dalam lingkungan yang orang-orangnya seperti itu: sulit berinteraksi, jika janji tidak ditepati, jika bicara menyakitkan, suka bohong, jika diberi tugas tidak amanah, dan tidak hormat kepada orang lain. Pandai bergaul, amanah, menghormati dan menghargai orang lain, dan jujur merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam kecerdasan emosional (EQ). Coba perhatikan banyak orang berhasil karena menyandang nilai-nilai emosional seperti itu. Betapa enaknya jika kita bekerja dalam lingkungan yang orang-orangnya pandai, luwes bergaul, jujur, komitmen tinggi dan saling menghormati. Suasana kerja tentu akan hidup dan sangat menyenangkan sehingga meningkatkan produktivitas. Di dalam lingkungan yang sehat akan tercipta suasana batin yang baik. Suasana batin yang sehat akan melahirkan produktivitas kerja yang tinggi. Begitu urutan-urutan kausalitasnya.
Pada akhir abad ke-20, para ahli menemukan lagi bentuk kecerdasan yang lain, yakni kecerdasan spiritual, disingkat SQ, yaitu potensi untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks yang lebih luas dan kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan dan jalan hidup seseorang menjadi lebih bermakna. Sebab, pada dasarnya manusia adalah makhluk spiritual, yakni makhluk yang selalu bertanya tentang hal-hal yang mendasar. Misalnya, mengapa manusia dilahirkan, apa makna kehidupan, apakah ada kehidupan lain setelah kehidupan dunia ini? dan sebagainya. Untuk menjawabnya diperlukan kecerdasan spiritual.
Selain itu, menurut saya SQ juga sangat terkait dengan kesadaran seseorang sebagai makhluk hamba Allah, berikut tugas dan kewajiban yang harus diemban. Sebagai hamba Allah, manusia merasa terikat dengan Allah untuk senantiasa menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Wujud kecerdasan spiritual adalah dorongan untuk beramal sholeh, berpikiran positif terhadap Allah, dan mencari hikmah di balik setiap keputusan Allah.
Ketika membahas materi ini secara kebetulan di perkuliahan, saya ditanya mahasiswa mana yang paling mendasar di antara ketiga jenis kecerdasan tersebut. Menurut saya SQ merupakan jenis kecerdasan yang paling penting, karena merupakan landasan untuk membangun kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ). Dengan demikian, SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita. Sebab, hanya manusia yang memiliki jenis kecerdasan ini. .
Demikian gambaran tentang peran IQ, EQ, dan SQ dalam kehidupan manusia. Pertanyaannya adalah jika ketiga kecerdasan itu sedemikian penting, maka bagaimana cara meningkatkannya dan bagaimana pula ketiganya bekerja? Apakah secara bersamaan atau yang satu mendahului yang lain? Jika iya, mana yang lebih dulu?. Karena saya bukan ahli dalam bidang ini, sebaiknya kita serahkan kepada para ahli atau siapa pun yang punya concern di bidang ini untuk menjawabnya !
____________
Malang, 27 Mei 2010