Mengenal Modal Sosial
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Jumat, 14 Mei 2010 . in Rektor . 2149 views

Pernah mendengar istilah “modal sosial” dan kapan? Ketika di masyarakat kita  terjadi konflik yang seringkali disebabkan oleh hal-hal yang sederhana, banyak orang menyatakan “modal sosial” masyarakat kita rapuh. Hanya karena persoalan dukung mendukung calon pada pilkada dan pertandingan sepak bola, kekerasan antarwarga sering terjadi. Sarana umum dan alat transportasi seperti kereta api sering menjadi sasaran amuk massa. Orang menjadi bertanya-tanya mengapa masyarakat kita emosional dan sering anarkis jika menghadapi masalah. Apa tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah selain dengan sikap-sikap tidak terpuji seperti itu?

Saya juga teringat ketika beberapa tahun lalu terjadi konflik berbau SARA di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Ambon dan Sambas Kalimantan yang cukup serius dan memakan banyak korban, ada pengamat sosial yang mengatakan “modal sosial” masyarakat kita memang sangat rapuh. Mereka mudah terpancing emosinya. Buktinya banyak konflik terjadi hanya karena hal-hal sepele yang seharusnya bisa dihindari andai saja masing-masing pihak tidak mengedepankan ego dan kepentingannya.

Hari-hari terakhir ini kita juga menyaksikan konflik, bahkan perang antarsuku, di Papua dan korban meninggal pun tidak bisa dihindari. Pendekatan keamanan ternyata tidak cukup efektif menyelesaikan masalah. Ketika aparat keamanan datang, konflik bisa dilerai. Tetapi begitu aparat meinggalkan tempat kejadian, konflik dimulai lagi. Tawuran antarmahasiswa di Perguruan Tinggi juga menyesakkan dada kita. Sebab, mahasiswa sebagai anggota masyarakat terpelajar mestinya justru bisa menjadi contoh bagi masyarakat luas dalam menyelesaikan masalah dengan menghindarkan diri dari perilaku anarkis.

Kasus di Tanjung Priok beberapa waktu lalu antara aparat Satpol PP dan warga yang mempertahankan makam mbah Priok hingga memakan tiga korban Satpol PP meninggal juga menambah deretan panjang  bahwa modal sosial masyarakat kita lemah. Sekali lagi dalam kondisi begini orang mengatakan “modal sosial” masyarakat yang mengikat kita sebagai sebuah bangsa memang rapuh. Setelah terjadi korban --- apalagi sampai meninggal dunia --- orang baru menyesal dan sadar bahwa masalah tersebut semestinya bisa dihindari. Sering kali pula rasa menyesal muncul terlambat.

Di kampung tempat tinggal saya dulu juga pernah terjadi konflik warga antargang hanya karena rebutan tempat atau lapangan bermain bola volley. Kelompok yang selama ini telah menggunakan lapangan merasa tempat itu seolah miliknya, sehingga siapapun yang akan menggunakan harus memperoleh ijin dari mereka. Padahal, tempat itu adalah tanah negara yang selama ini dipakai sebagai ruang publik. Kelompok pertama tetap mempertahankan pendirianya, dan kelompok dua merasa sebagai sesama warga juga punya hak menggunakan tempat itu secara bergantian. Karena tidak ada kata sepakat, konflik tidak bisa dihindari.  Kendati tidak sampai membawa korban meninggal konflik itu sangat mengganggu kerukunan warga yang selama ini terjalin  dengan baik. Warga antargang tidak saling sapa dalam waktu cukup lama hanya persoalan rebutan lapangan bola volley.

Secara akademik, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “modal sosial”? Istilah “modal sosial” sebenarnya sudah lama dikenalkan oleh sosiolog kenamaan Emile Durkheim pada abad ke-19. Durkheim menyebut istilah “modal sosial” untuk menyatakan ikatan sosial antarmanusia di dalam sebuah masyarakat sangat penting untuk membentuk kohesivitas  sosial dalam mencapai tujuan bermasyarakat. Ia merupakan sebuah kekuatan untuk mencapai tujuan hidup bersama yang tidak mungkin dicapai secara personal. Sebagai contoh, misalnya, kegiatan pendidikan. Pendidikan merupakan aktivitas kolektif antara pendidik, siswa, masyarakat, dan pemerintah. Sebagai sebuah aktivitas kolektif, pendidikan memerlukan kerjasama banyak pihak, mulai dari pemimpin sekolah, para guru, tenaga administrasi, murid, orangtua siswa, komite sekolah, dan tentu pemerintah. Jika semuanya fungsional sesuai tugas dan peran masing-masing, maka pendidikan akan berjalan baik dengan hasil yang baik pula.

Hampir bisa dipastikan bahwa lembaga pendidikan yang maju dan berkualitas unggul disebabkan oleh adanya modal sosial yang kokoh di semua komponen yang terlibat dalam aktivitas pendidikan itu. Sebaliknya, jika prestasi pendidikan tidak baik, misalnya hasil UN jeblok, kesalahan tidak bisa dilimpahkan kepada guru atau pimpinan sekolah saja. Semua harus bertanggung jawab terhadap hasil itu. Selama ini hanya guru yang paling disorot sebagai pihak yang paling bersalah jika hasil pendidikan tidak memuaskan. Padahal, sebagai lembaga pendidikan sekolah juga memiliki modal sosial yang bisa menjadi kakuatan penggerak memajukan pendidikan.

Ketika mengenalkan istilah “modal sosial”, Emile Durkheim membayangkan sebuah tatanan masyarakat yang harmonis hanya bisa dicapai manakala antarwarga masyarakat itu saling berhubungan dengan baik melalui jaringan dan kesamaan nilai yang tumbuh di masyarakat itu dengan lebih mengedepankan persamaan daripada perbedaaan yang ada. Nilai-nilai itu terus dijaga sebagai kekuatan yang mengikat, sehingga menjadi kekuatan tersendiri yang bermanfaat tidak saja untuk mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan, tetapi juga untuk menangkis berbagai upaya yang mengancam kohesivitas mereka. Apa yang  dimaksudkan sebagai masyarakat oleh Durkheim tentu masyarakat dalam arti luas, termasuk masyarakat  pendidikan.

Emile Durkheim sadar sepenuhnya bahwa di setiap  masyarakat selalu ada perbedaan di antara anggotanya, tetapi pada saat yang sama juga ada kesamaannya. Dalam konteks modal sosial ini, kesamaan lebih ditonjolkan daripada  perbedaan. Ini tidak mudah, karena itu, diperlukan upaya penyadaran dari tokoh atau pemimpin masyarakat bahwa tatkala masyarakat ingin mencapai tujuan bersama  maka ego dan kepentingan pribadi selayaknya ditanggalkan dulu. Masyarakat harus disadarkan bahwa ada tujuan bersama yang hanya bisa dilakukan jika warga merasa dalam sebuah ikatan kuat untuk menjalankan peran secara bersama-sama. Ada “others” dan “otherness” yang bisa diperankan  kelebihan-kelebihannya dan selanjutnya dihargai. Kuncinya eksistensi orang dihargai.

Jika apa yang dimaksudkan oleh Durkheim sebagai masyarakat meliputi masyaratakat apa saja, maka menurut saya “modal sosial” juga diperlukan di institusi pendidikan tinggi seperti UIN Malang ini. Saya membayangkan bahwa Universitas Islam  yang format pendidikannya sudah on the right track ini, meminjam istilah Mantan Mendikbud di era Orde Baru, Prof. Wardiman Djojonegoro ketika berkunjung ke UIN Malang beberapa waktu lalu, akan lebih maju pesat dan mampu mencapai cita-cita besarnya, yakni menjadi pusat keunggulan (center of excellence) dan pusat peradaban Islam (center of Islamic Civilization), jika kita memiliki “modal sosial” yang kokoh. Warga kampus perlu menyadari bahwa cita-cita bersama ini hanya bisa dicapai jika ada kebersamaan dalam memaknai, merancang dan menjalankan agenda besar itu.

Modal sosial warga kampus ini berupa intelektualitas dan religiusitas yang relatif mapan harus dirajut dengan kokoh untuk mengantarkan menjadi kampus kebanggaan umat. Kampus bisa menjadi contoh dan praktik terajutnya “modal sosial” untuk melakukan agenda bersama. Semoga !

 

_________

Malang, 14 Mei 2010

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up