Pada tataran paling kasat mata, universitas atau apa pun namanya yang sejenjang, adalah lembaga pendidikan tinggi. Kedudukan sebagai lembaga pendidikan menuntut universitas mengemban seluruh fungsi dan tugas pokok dalam bidang penyelenggaraan pendidikan akademik dan atau profesi. Kedudukan perguruan tinggi sebagai lembaga akademik, menuntutnya untuk menjalankan fungsi pengembangan ilmu melalui penelitian. Sedangkan kedudukan perguruan tinggi sebagai sub-organisasi sosial masyarakat, memanggilnya untuk menjalankan fungsi pengabdian kepada masyarakat. Khusus perguruan tinggi negeri, dalam kedudukannya sebagai organisasi pemerintah, dituntut untuk menjalankan tata-pamong yang baik (good governance) seperti keharusan menunjukkan transparansi, akuntabilitas publik, dan partisipatori.
Ketiga fungsi pertama, yang dikenal sebagai Tri Dharma Perguruan Tinggi, sejauh menggunakan perspektif sosiologi fungsional bisa dikategorikan sebagai fungsi-fungsi manifes, yakni segala akibat nyata yang timbul secara disengaja dan disadari (recognized and intended functions).
Namun demikian, secara empirik bukan tidak mungkin perguruan tinggi juga menjalankan fungsi penundaan pengangguran, karena seturut fakta, sejumlah orangtua memasukkan putra-putrinya ke perguruan tinggi dengan pertimbangan daripada menganggur. Juga bukan mustahil perguruan tinggi menjalankan fungsi sebagai “biro perjodohan”, karena seturut fakta banyak pasangan orang bertemu pasangan hidupnya ketika sama-sama sedang menempuh pendidikan tinggi mereka.
Sejumlah fungsi perguruan tinggi yang senarainya bisa diperpanjang nyaris tanpa batas tersebut, sejauh menggunakan perspektif sosiologi fungsional bisa dikategorikan sebagai fungsi-fungsi laten, yakni segala akibat nyata yang timbul secara tak disengaja dan tak disadari (unrecognized and unintended functions).
Walhasil, begitu banyak kegiatan, peran dan fungsi berlangsung atau dijalankan oleh perguruan tinggi, sehingga Clark Kerr (2003) merasa perlu untuk memberikan istilah khusus dengan nada agak plesetan multiversity. Istilah multiversitas ini diajukan untuk menggambarkan kenyataan berbagai universitas besar yang berkembang menjadi “... whole series of communities and activities held together by a common name, a common governing board and related purposes” (Kerr, 2003).
Perspektif sosiologi struktural-fungsional juga mengajarkan bahwa setiap manusia tak sekadar memiliki status tunggal, melainkan banyak status (not a single status, but multi-status). Karena niscaya multi-status, maka bisa dipastikan bahwa manusia senantiasa multi-peran. Kenyataan multi-peran yang seringkali mengakibatkan manusia menghadapi ambivalensi sosial. (Merton, 1976) Salah satu bentuk gejala ambivalensi sosial adalah perbenturan peran (conflicting roles). Pun sebangun dengan logika ini, setiap organisasi senantiasa juga punya struktur dan fungsi, memiliki status dan peran sebagaimana manusia.
Konsekuensinya, selain berkemungkinan salah peran seperti pada manusia, fungsi-fungsi organisasi sosial juga mengalami perubahan, baik karena dinamika internal maupun karena tekanan eksternal. Seperti telah disinggung, sebagian fungsi memang disengaja dan disadari (manifest functions), sedangkan beberapa fungsi lain muncul secara tak disengaja dan tanpa disadari (latent functions). Demikian pula, secara empirik, kegiatan organisasi sosial seperti perguruan tinggi bisa funsional, bisa tidak fungsional, bisa mal-fungsional, dan bahkan bisa pula disfungsional (functional, unfuctional, malfunctional, and disfunctional).
Meretas Fungsi Tradisional Universitas
Bila berkesempatan mengunjungi sejumlah universitas terkemuka di dunia, maka segera terkesan bahwa begitu banyak tradisi pendidikan tinggi telah mapan sejak abad dua belas atau tiga belas. Artinya, meskipun mungkin sejumlah mahasiswa dan bahkan dosen masa kini berpakaian sangat kasual, pada dasarnya yang dilakukan adalah sama dengan yang dilakukan oleh rekan-rekannya pada abad pertengahan, yaitu: belajar, mengajar, dan mengkaji (Ballantine, 1983).
Sejak kapan universitas merambah fungsi-fungsi baru di luar fungsi tradisional pengalihan pengetahuan? Tinjauan sejarah menunjukkan bahwa sejak abad ke sembilan belas, universitas mengalami perluasan misi dan fungsi. Selain fungsi tradisional pengalihan pengetahuan, universitas masa kini juga menjalankan fungsi penelitian, pelayanan masyarakat, dan bahkan penciptaan masyarakat demokratik.
In the nineteenth century, a new mission or function was added to the traditional one of transmitting knowledge. Research became an end in itself. This new mission created tension between teaching and research, causing strains on the teacher-student relationship and between faculty members with different orientations and interests. This tension is familiar to us today. Two further missions or purposes have developed during the present century: providing services to the community, and creating an ideal democratic community within the institution. Both have created dilemmas for the university, as we shall see (Ballantine, 1983).
Bagi masyarakat akademik di Indonesia, memang hanya dikenal tiga dharma perguruan tinggi, yaitu: pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Soal penciptaan suatu masyarakat demokratik ideal baik di dalam lembaga yang bersangkutan maupun pada masyarakat secara luas, tampak memang juga dilakukan tetapi lazim untuk sekedar diajukan sebagai dharma baru perguruan tinggi Indonesia. Bisa diduga, misalnya, seandainya ada prakarsa untuk menyertakannya dalam dharma perguruan tinggi, pasti terjadi perdebatan cukup panjang. Kemungkinan tersebut masih sangat normal, karena memang setiap perubahan akan menimbulkan tanggapan baik negatif maupun positif (Ballantine, 1983).
Sejumlah universitas dikenal memiliki tradisi penelitian sangat kuat. Tampaknya, luas dan arah program penelitian sebagian besar ditentukan oleh dukungan keuangan yang diberikan oleh lembaga pemerintah, dunia usaha dan industri. Ternyata, pengaruh terhadap arah penelitian ini telah memunculkan semacam kritik yang mempertanyakan untuk siapa pengetahuan tersebut dihasilkan. Lebih jauh, karena baik pemerintah, dunia usaha, dan industri lebih memiliki kepentingan terhadap ilmu-ilmu terapan, jenis penelitian murni menjadi tersisihkan. Karena itu, kepentingan utama ilmu untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dasar menghadapi kendala cukup berat.
The function of research. Expanding knowledge is a generally accepted purpose of higher education, especially in universities with strong research components. The direction and extent of research programs has been determined largely by the financial support provided by business, industry and government. This influence on the direction of research efforts has led some researchers to ask "knowledge for whom?" Some research, especially in pure rather than applied science, is being eliminated because it is not a priority in this time of cutbacks. This could lead to future gaps in our knowledge, some argue (Ballantine, 1983).
Fungsi lain universitas adalah memberikan layanan umum untuk masyarakat luas. Perguruan tinggi, melalui fungsi ini diharapkan menyebar-luaskan pengetahuan yang dikembangkan dari program-program penelitian melalui berbagai saluran, seperti penerbitan, media massa, pengajaran dan perkuliahan. Penyebaran gagasan-gagasan ini memiliki pengaruh luas, hingga merangsang perubahan sosial di berbagai negara di belahan dunia. Namun demikian, lagi-lagi masyarakat perguruan tinggi tidak pernah kehilangan sikap kritisnya, sehingga memunculkan pertanyaan sampai sejauh mana para ahli harus begitu terlibat dalam usaha untuk mengubah pendapat umum melalui kesadaran sosial, atau bertindak melakukan perubahan.
The function of service. Another function or purpose of the university is that of public service in the wider community. The faculty are expected to disseminate knowledge developed in research programs through such channels as publications, the media, and teaching and lecturing. This diffusion of ideas has wide repercussions, even to the point of stimulating social change in countries around the world. The degree to which scholars should become involved in attempts to sway opinions through social awareness or, act to bring about changes is a matter of debate (Ballantine, 1983).
Demikian gambaran tentang perubahan fungsi perguruan tinggi di berbagai negara lain yang hampir semuanya melampaui fungsi tradisional pengajaran. Pada intinya, meskipun dengan sebutan yang berbeda, dan harus senantiasa direnungkan tentang porsi sewajarnya untuk masing-masing fungsi, tanggungjawab perguruan tinggi tidak terbatas hanya pengajaran, tetapi juga pengembangan ilmu, dan pelayanan kepada masyarakat, yang di Indonesia dikenal sebagai Pengabdian kepada Masyarakat.
(tulisan ini akan berlanjut pada artikel yang berjudul ”Sejarah Sosial Pengabdian kepada Masyarakat” atau dapat anda lihat di link ini: www.mudjiarahardjo.com)