Saat ini orang mengenalnya sebagai era globalisasi, di mana arus informasi dan hubungan antarmanusia sedemikian intensif. Dunia terasa semakin sempit dan waktu pun berlalu demikian cepat. Globalisasi telah membuat arus pertukaran atau perjalanan informasi, orang, barang, uang, teknologi, budaya, dan bahasa dari satu tempat ke tempat lain semakin cepat dan intens. Saat ini nyaris tidak ada satu tempat pun di dunia yang steril dari budaya lain yang akhirnya membentuk budaya global. Saling membutuhkan, saling pengaruh dan pinjam meminjam budaya merupakan sebuah proses yang sangat wajar untuk pembentukan budaya baru.
Akibatnya, bagi sebagian orang isu budaya lokal tidak lagi menjadi sesuatu yang dipersoalkan. Tetapi bukan berarti orang begitu saja melupakan budaya yang pernah dimiliki. Buktinya ketika reog dan batik diklaim sebagai budaya Malaysia, masyarakat kita marah karena itu dianggap pelecehan serius. Sebelumnya Malaysia juga pernah mengklaim lagu Rasa Sayange sebagai lagunya. Yang paling serius adalah klaim Malaysia atas dua pulau, yaitu Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di Selat Makassar sebagai bagian dari wilayahnya dan akhirnya benar-benar jatuh ke Malaysia lewat pengadilan di Mahkamah Internasional. .
Apa yang sejatinya terjadi atas kasus pengakuan Malaysia atas reog dan batik tersebut? Belakangan diketahui bahwa orang yang mengkalim reog dan batik sebagai produk budaya Malaysia adalah orang-orang Indonesia, terutama dari Jawa, yang sudah lama bermigrasi ke Malaysia. Bahkan mereka sudah yang menjadi warga negara Malaysia. Mereka sangat menyukai dua produk budaya tersebut sebagaimana masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, di mana reog dan batik berasal. Pertanyaannya apa orang Malaysia yang berasal dari Indonesia itu tidak boleh mengakui bahwa kedua produk budaya itu berasal dari nenek moyang mereka?
Apa yang dialami warga Indonesia yang telah bermukim sekian lama dan menjadi warga negara Malaysia tetapi tetap melestarikan budaya asalnya merupakan fenomena migrasi yang disebut diaspora. Sebagai gejala sosial, diaspora tidak saja terjadi secara fisik dan material, tetapi juga budaya. Kendati tetap melestarikan budaya asal, para migran perlu melakukan negosiasi dengan budaya di tempat baru untuk melahirkan budaya baru. Dalam perspektif diaspora, sedikitnya ada tiga pihak yang terlibat dalam arus pertukaran budaya. Pertama, pelakunya sendiri. Kedua, tempat baru yang dituju, ketiga, generasi penerusnya. Konsep ini mengandung implikasi bahwa acuan terhadap budaya asal di tempat baru masih tetap relevan, walau besar kemungkinan secara terus menerus diproses dan berubah sesuai dinamika yang terjadi di tempat baru. Namun demikian, diaspora akan menampakkan komunitas budaya baru yang berbeda dengan komunitas budaya lain.
Apa yang terjadi dengan warga Malaysia asal Indonesia merupakan gejala menarik untuk dikaji lebih dalam dengan perspektif diaspora. Lazimnya, para peneliti diaspora menggunakan pendekatan lintas disiplin, seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, kependudukan, politik, dan bahasa. Hasilnya, banyak hasil penelitian tentang diaspora dipakai sebagai landasan kebijakan publik, terutama di negara-negara Eropa, Australia, Asia dan negara-negara yang berbasis multikultural dengan makna dan versi mereka masing-masing.
Dalam arti yang lebih luas, konsep diaspora juga mencakup migrasi musiman, seperti yang terjadi pada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di negara lain. Suatu kali saat kunjungan ke Timur Tengah, saya transit di Bandara Dubei, Uni Emirat Arab selama 2 x 24 jam. Selama menginap di bandara tersebut, saya dilayani oleh beberapa petugas hotel bandara yang sangat mewah (bintang 5). Mereka berasal dari Bangladesh, Filipina, dan Nepal. Mereka berbahasa Inggris sangat baik dan melayani tamu dengan sangat profesional, sehingga para tamu puas.
Saya sangat terkejut ketika bertemu dengan petugas hotel yang saya lihat di bajunya tertulis nama orang Indonesia. Saya langsung bertanya dalam bahasa Indonesia. Persis dugaan saya bahwa dia berasal dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah dan sudah bekerja di hotel bandara itu selama tiga tahun. Ketika dia melayani tamu asing, saya lihat dia berbahasa Inggris yang pas-pasan, sehingga sang tamu tampak kebingungan. Akhirnya, petugas yang lain segera menghampirinya dan ambil alih pelayanan tersebut.
Ketika saya tanya mengapa pelayanan itu diambil alih petugas yang lain? Dia menjawab karena tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan baik. Atas pengakuannya sendiri, dia sering ditugaskan hanya untuk membantu membawa koper dan barang-barang bawaan tamu dari mobil kedatangan ke meja resepsionis. Dia mengeluh andai saja bahasa Inggrisnya baik, dia bisa ditempatkan di resepsionis seperti teman-temannya yang dari Filipina, Bangladesh, dan Nepal tadi. Tentu dengan gaji yang lebih tinggi. Ketika saya tanya apa waktu sekolah dulu (dia tamat SMA) tidak serius belajar bahasa Inggris. Sambil tersenyum dia hanya menjawab “ya begitulah pak …”. Saya tidak tahu apa maksud jawaban dia.(bersambung)