(bagian I)
Untuk yang kesekian kalinya Israel berulah. Kali ini menyerang armada kapal Turki “Marvi Marmara” yang membawa bantuan kemanusiaan ke penduduk di Gaza yang mengakibatkan beberapa korban meninggal dan luka, termasuk relawan dari Indonesia. Kecaman masyarakat internasional tak terhindarkan. Kantor-kantor Kedutaan Besar Israel di seluruh dunia tak lepas dari aksi demo. PBB diminta secara khusus bersidang membahas serangan Israel dan mengeluarkan resolusi untuk ditindaklanjuti dengan aksi nyata. Mahkamah Internasional juga diminta menangkap dan mengadili para pemimpin Israel.
Tapi seperti biasanya Israel tidak menggubris hujatan masyarakat dan badan internasional tersebut. Malah dengan pongahnya Israel ingin membentuk tim independen sendiri untuk mengusut pelaku penembakan kapal relawan. Alasannya, sebagai negara berdaulat Israel punya hak untuk melakukan penyelidikan atas apa pun persoalan yang terjadi menyangkut negaranya. Semua kecaman pun dianggap angin lalu saja dan tidak sedikit pun merasa gentar menghadapinya. Anehnya, Israel malah menuduh para relawan sebagai pendukung teoris. Mengapa Israel begitu dablek?
Semua orang tahu bahwa Israel adalah anak emas Barat, terutama Amerika Serikat, dan penjaga kepentingan Amerika Serikat paling setia di Timur Tengah. Selama ini sikap Amerika Serikat atas berbagai ulah Israel yang tanpa batas terhadap rakyat Palestina dingin-dingin saja. Bahkan Amerika sering membela Israel dengan mengatakan sebagai bangsa Israel juga punya hak untuk melindungi warga dan wilayahnya dari serangan teroris. Karena selalu merasa dilindungi, Israel berbuat begitu semena-mena terhadap rakyat Palestina.
Bagi Israel para pemimpin Palestina yang selama ini berjuang untuk kemerdekaan bangsanya, seperti mendiang Yasser Arafat, dianggap teroris kelas satu. Padahal, sesungguhnya siapa yang teroris itu? Berbagai prakarsa perundingan damai dengan Israel sepertinya selalu methok dan tak membuahkan hasil sama sekali. Sepertinya Israel hanya mengulur-ngulour waktu hingga Palestina suatu kali menyerah karena kehabisan tenaga untuk bernegosiasi. Jika dilihat dari sisi waktu, perjuangan bangsa Palestina untuk merdeka di atas tanah mereka sudah berlangsung amat sangat lama. Tetapi sampai hari ini belum ada setitik harapan keberhasilan perjuangan itu. Tak terhitung korban dan nyawa yang hilang dari warga Palestina untuk memperoleh hak hidup sebagaimana manusia yang lain pada umumnya. Sampai saat ini sikap Israel tidak berubah sama sekali, dan bahkan cenderung menentang arus dan kehendak masyarakat internasional. Mengapa demikian?
Memahami perilaku Israel tidak bisa lepas dari konteks sejarah pertikaian panjang dengan Palestina dan dominasi Yahudi di Barat, terutama Amerika Serikat. Ada rentetan sejarah yang bisa dipakai sebagai titik tolak sebagai berikut: Pertama, pertikaian antara bangsa Palestina dan Yahudi sudah berlangsung puluhan abad. Bangsa Yahudi merasa bahwa tanah Palestina dianggap sebagai tanah “yang dijanjikan” oleh Tuhan dalam kitab suci mereka. Bagi Yahudi, perang melawan Palestina merupakan perang suci karena ingin mewujudkan janji Tuhan yakni mengembalikan semua tanah Palestina kepada Israel sebagaimana yang dijanjikan Tuhan. Karena itu, wilayah Tepi Barat dan Gaza yang hanya 365 km2 dan dihuni oleh 1, 5 juta warga Palestina dianggap sikap murah hati Israel bagi warga Palestina. Di benak Israel, bangsa dan tanah, apalagi kemerdekaan Palestina, itu tidak dikenal. Karena itu, warga Palestina yang memperjuangkan kemerdekaan dengan melawan Israel dianggap sebagai teroris. Buntutnya, para relawan yang memberi bantuan kemanusiaan kepada warga Gaza juga dianggap membantu teroris.
Kedua, di dalam kitab suci al Qur’an, Taurut, dan Injil, bangsa Yahudi dikenal sebagai bangsa dengan banyak kelebihan, tetapi suka ingkar janji, suka protes, sombong, dan keras kepala, gak peduli komentar masyarakat luas, alias dablek. Semua itu telah terbukti. Israel tidak pernah peduli dengan hujatan masyarakat internasional atas perilaku mereka selama ini terhadap warga Palestina. Tidak ada rasa belas kasihan bagi Yahudi terhadap Palestina. Israel juga merasa tidak perlu takut dengan siapa pun di dunia ini.
Ketiga, Yahudi dikenal sebagai bangsa yang memiliki organisasi internasional yang sangat kuat, yakni Organisasi Zionisme Internasional, yang didirikan oleh seorang Yahudi bernama Theodor Herzl. Lewat organisasi ini, orang Yahudi yang tersebar di seluruh dunia setelah Perang Dunia ke dua secara diam-diam membangun kekuatan ekonomi dan militer dengan melobi sekutunya di Barat, terutama Inggris dan Perancis, dan menguasai lembaga-lembaga keuangan internasional untuk mendirikan negara Israel di tanah Palestina pada tahun 1948. Sejak saat itu penderitaan masif warga Palestina dimulai. Pada saat yang sama negara baru yang bernama Israel membangun kekuatan untuk bangkit setelah dihancurkan oleh tentara Nazi pada Perang Dunia ke dua. Yang hebat lagi, kendati tidak memiliki perwakilan tetap di semua negara, Israel memiliki kantor-kantor perwakilan perdagangan, seperti Kadin, termasuk di Indonesia, sehingga jaringannya sangat luas.
Keempat, bangsa Yahudi menjadi semakin kejam setelah mereka meninggalkan Taurut dan mengikuti kitab Talmud (kitab yang ditulis oleh para rahi-rahib mereka) yang kemudian dipercaya sebagai kitab suci mereka. Di dalam kitab Talmud, bangsa Yahudi digambarkan sebagai satu-satunya bangsa yang martabat, kedudukan, dan kehormatannya paling tinggi dintara bangsa-bangsa lain di dunia, dan tidak ada satu pun yang menandinginya, termasuk malaikat sekali pun. Karena gambaran dalam Talmud itu, mereka menjadi sangat sombong. Selain itu, diwajibkan atas bangsa Yahudi untuk menghina dan menindas bangsa-bangsa lain. Tidak ada kewajiban bagi bangsa Yahudi untuk berbuat baik kepada bangsa lain di luar Yahudi.
Kelima, sudah bukan rahasia lagi jika perilaku Israel tidak lepas dari lobi dan dominasi Yahudi di Barat yang sangat kuat, baik secara politik, ekonomi, maupun budaya. Sekedar diketahui, Yahudi adalah pemilik saham terbesar media cetak berpengaruh di Amerika Serikat, seperti The Washington Post, Time, Newsweek, sehingga wajar jika tidak ada calon presiden Amerika Serikat yang berhasil menjadi presiden tanpa dukungan media tersebut. Dalam sejarah, banyak tokoh politik jatuh dan bangun karena ulah media. Karena itu, para tokoh politik Amerika harus bisa bermesra-mesra dengan media yang didominasi Yahudi jika ingin melanggengkan kekuasaannya.