Sabtu, 12 Juni 2010, saya menghadiri pengukuhan Prof. Dr. H. Tobroni, M.Si., sebagai guru besar Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang. Menurut laporan Dekan FAI, Prof. Tobroni merupakan guru besar ketiga di fakultas yang khusus mengkaji agama Islam tersebut. Dengan tambahan guru besar baru ini, Fakultas Agama Islam itu akan semakin mantap dalam menjalankan visi dan misinya sebagai bagian dari Universitas Muhammadiyah. Sebagai guru besar di Bidang Filsafat Pendidikan Islam, Prof. Tobroni menyampaikan pidato pengukuhan yang sangat menarik dan cukup up to date dengan judul “Rekontsruksi Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”.
Secara garis besar isi pidatonya adalah: 1). Islam merupakan agama yang ajaran dan amalannya yang sangat indah. Sayangnya, selama ini isi ajaran dan pelaksanaannya itu sering direduksi oleh manusia-manusia yang notabebene adalah pengikutnya sendiri yang kurang bertanggung jawab sehingga seolah yang dilakukan hanya untuk memuaskan kepentingan Tuhan, bukan beramal sholeh untuk kepentingan manusia lain sebagai sesama makhluk hamba Allah, 2). Sebagai agama rahmatan lil‘alamin, Islam tentu bermanfaat bukan hanya untuk umat Islam saja, tetapi juga untuk semua umat manusia. Lagi-lagi nilai-nilai ini juga direduksi sedemikian jauh sehingga siapapun di luar Islam dianggap musuh yang harus dihancurkan.
Atas dasar fenomena yang terjadi itu, menurut Prof. Tobroni ada persoalan yang sangat mendasar, bukan pada ajaran dan nilai-nilai Islamnya, melainkan pada metodologi pengajarannya. Karena itu, Profesor baru ini ingin melakukan rekonstruksi metodologi pengajaran agama Islam di sekolah-sekolah sehingga pendidikan Islam dapat disampaikan secara efektif, sesuai visi ajaran dan nilai Islam, dan menyenangkan. Sebab, selain tereduksi sedemikian jauh, menurut Prof. Tobroni, matapelajaran agama Islam di sekolah termasuk matapelajaran momok dan menjemukan, sehingga tidak banyak siswa yang suka. “Yang sudah terlanjur mempelajarinya bosan karena tidak menarik, dan yang akan mempelajarinya takut gak lulus karena tidak menguasai. Dan, kalaupun belajar, mereka sesungguhnya dengan amat sangat terpaksa. Saya sering bertanya sebenarnya yang perlu pelajaran agama itu gurunya atau muridnya”. begitu tandasnya. .
Tulisan ini tidak membahas lebih jauh tentang isi pidato pengukuhan, melainkan banyaknya kata-kata hikmah dan pesan-pesan moral, baik yang disampaikan oleh sang Guru Besar sendiri, maupun para pejabat yang memberikan sambutan. Menurut sang Guru Besar, posisi puncak di bidang akademik ini tidak mungkin diraih tanpa dukungan dari banyak pihak, yaitu para gurunya mulai tingkat sekolah dasar hingga program doktor, orangtua, anak dan istri, kolega, dan tentu pimpinan perguruan tinggi tempat mengabdi. Tak ketinggalan juga pemerintah, sebab gelar profesor hanya diberikan oleh pemerintah sebagai satu-satu institusi yang punya hak mengeluarkan gelar profesor dengan segala implikasinya.
Kendati mencoba untuk menahan rasa haru, Prof. Tobroni tampak tidak kuasa menahan linangan air mata ketika menyampaikan rasa hormat dan terima kasihnya kepada kedua orangtuanya, terutama ibunya yang sudah berusia 84 tahun atas jerih payah dan bimbingannya selama ini sehingga sang anak menjadi Guru Besar. Sang ibu pun terdiam seolah menerawang ke masa 45 tahun lalu ketika sang profesor baru itu dilahirkan. Hadirin di aula DOM UMM pun ikut larut dalam suasana haru dan penuh makna itu. Di dalam acara-acara pengukuhan Guru Besar yang saya hadiri saya jarang menemukan seorang Guru Besar yang kuat menahan rasa harunya tanpa meneteskan air mata tatkala mengenang jasa orang-orang yang telah bermakna dalam hidupnya, terutama kedua orangtuanya.
Kata bijak yang lain muncul dari Prof. Mursidi yang mewakili Majelis Dikti Litbang PP Muhammadiyah. Ahli farmasi dari Universitas Gadjah Mada itu menyatakan bahwa di setiap kelahiran orang besar, selalu ada orang besar dan bijak di baliknya. Menurut Profesor senior itu, orang besar dan bijak itu adalah ibu, bukan bapak. Peran ibu sungguh luar biasa dalam mengantarkan sebuah keluarga untuk menjadi sukses atau tidak. Sebagai ilustrasi, Prof. Mursidi menyampaikan acara Kick Andy di sebuah stasiun TV swasta beberapa waktu lalu ada program yang menayangkan kisah seorang ibu dari Makassar yang sudah ditinggal wafat oleh suaminya sejak anak-anak masih kecil dan tidak menikah lagi. Lewat kerja kerasnya, sang ibu berhasil mengantarkan semua anaknya yang berjumlah lima belas menjadi orang-orang yang berhasil dengan memperoleh pendidikan tinggi. Ada beberapa anaknya yang menjadi profesor, dokter, pengusaha dan sebagainya. Padahal, sang ibu hanya tamatan SMP dan tidak memiliki ketrampilan khusus. Atas ilustrasi itu, Prof. Mursidi mengatakan bahwa di balik keberhasilan Bapak Tobroni menjadi profesor ada orang besar yang mengantarkannya, yakni sang ibunda tercinta. Karena itu yang patut diberi ucapan selamat bukan hanya Prof. Tobroni saja, tetapi juga ibunya.
Ditambahkan oleh Prof. Mursidi bahwa dunia dan seisinya ini diciptakan Allah untuk kepentingan manusia. Untuk mengolahnya diperlukan beragam ilmu pengetahuan, sains dan teknologi. Karena itu penting ada umat Islam yang menjadi ahli pendidikan, kimia, fisika, seni, penerbangan, perkapalan, kedokteran dan sebagainya. Untuk itu, menguasai ilmu pengetahuan merupakan salah satu inti ajaran Islam. “Bayangkan andai saja tidak ada ahli kimia, bagaimana kalau ada orang yang sakit. Karena itu, umat Islam harus menguasai semua ilmu pengetahuan ”, begitu tandas Prof. Mursidi.
Sambutan dari BPH Yayasan juga cukup menarik bahwa ayah Pak Tobroni yang sudah almarhum sejak dini tampaknya sudah bercita-cita agar kelak anaknya itu menjadi orang besar, sebagaimana nama yang disandang oleh salah seorang ahli hadits, yakni Tabrani. Cita-cita sang ayah itu kini telah terkabul, kendati tidak lagi bisa menyaksikan acara pengukuhannya. Putranya menjadi guru besar. Prof. Tobroni tidak saja menjadi ahli hadits, tetapi juga menjadi ahli ilmu pendidikan Islam yang peran dan gagasannya ditunggu masyarakat luas. Saya membayangkan alangkah bahagia dan bangganya andai saja ayah Pak Tobroni bisa duduk bersanding dengan ibunya menghadiri perhelatan akademik itu. Perhelatahn itu menjadi sangat bermakna, sebab tidak setiap orang bisa meraih prestasi puncak itu.
Seakan meneguhkan posisi Muhammadiyah sebagai wadah gerakan pembangunan umat, Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si., yang memberikan sambutan selaku Koordinator Kopertais Wilayah IV mengingatkan semua yang hadir untuk belajar dari Muhammadiyah. Menurutnya, ada tiga hal penting yang harus dipelajari dari Muhammadiyah, yakni bagaimana Muhammadiyah mengembangkan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Di tiga hal ini, menurut Rektor IAIN Sunan Ampel ini, Muhammadiyah sangat menonjol.
Selain semua pesan moral itu, ada satu lagi yang penting untuk dicatat bagi penyandang gelar guru besar. Gelar guru besar atau profesor bukan sembarang gelar. Profesor adalah gelar akademik puncak yang dianugerahkan kepada seseorang setelah yang bersangkutan berhasil merampungkan serangkaian akademik tertentu, melalui penulisan karya ilmiah, penelitian, menulis di jurnal ilmiah, dan menyampaikan gagasan-gagasannya di forum-forum ilmiah untuk menunjukkan kepakarannya. Karena itu, profesor bukan sekadar gelar, tetapi sebuah panggilan pengabdian bagi masyarakat luas lewat ilmu pengetahuan yang dikuasainya.
Gelar profesor bukan untuk gagah-gagahan, tetapi sebuah penanda bahwa pemegangnya adalah orang terdidik, ilmuwan yang berdedikasi tinggi bagi pengembangan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan umat manusia. Masyarakat luas menanti peran dan kontribusi profesor, sebab di balik gelar itu ada ilmu, perjuangan, kerja keras, dan dedikasi. Lebih dari itu, di balik sang profesor ada kearifan !
Congratulations for Prof. Tobroni.