Pesta olah raga paling populer di seluruh dunia 2010 selama satu bulan penuh itu telah berakhir. Ada tawa, kecewa, amarah, dan kebahagiaan. Afrika Selatan telah menujukkan diri sebagai tuan rumah yang baik dengan ketersediaan berbagai sarana dan prasarana yang memadai. Kendati ada kekurangan, para peserta yang berlaga umumnya puas atas penyelenggaraan pesta olah raga akbar tersebut. Berbagai spekulasi tentang kekhawatiran banyak pihak sebelum pesta dimulai tidak terbukti. Seakan ingin membalik kekhawatiran tersebut, Afrika Selatan justru menunjukkan sebaliknya. Pesta sepak bola dunia itu pun dianggap sukses dan Afrika menampilkan diri sebagai bangsa berperadaban maju di bidang olah raga dan tidak mau kalah dengan bangsa-bangsa lain yang sebelumnya telah menggelar peristiwa yang sama.
Tidak hanya itu. Sebab, sebagaimana saya tulis pada artikel sebelumnya, Afrika Selatan punya banyak agenda di balik penyeleggaraan pertandingan sepak bola se dunia itu. Beberapa di antaranya yang paling pokok adalah Afrika Selatan ingin menghapus stigma sebagai bangsa yang menjalankan politik apartheid yang sangat diskriminatif sehingga dikucilkan dari percaturan masyarakat internasional dan saat ini sudah bangkit. Buktinya perhelatan akbar itu memerlukan banyak modal, mulai dari ekonomi, politik, teknologi, keamanan dan tentu saja organisasi dan manajemen yang rapi.
Banyak pengamat menilai piala dunia 2010 di Afrika Selatan sukses. Ukuran kesuksesannya adalah tidak ada kejadian yang berarti yang dapat mengganggu pertandingan, jumlah penonton yang langsung menyaksikan pertandingan begitu besar. Menurut berbagai laporan media jumlah penonton mencapai lebih dari tiga juta orang. Selain itu, keuntungan di pihak FIFA mencapai lebih dari 2 miliar pounds. Atas prestasi itu, wajar jika FIFA memberikan apresiasi tinggi kepada Afrika Selatan atas kerja kerasnya selama ini. FIFA tidak salah memilih Afrika Selatan sebagai tuan rumah.
Yang tidak kalah penting dari catatan keberhasilan itu adalah juga kehadiran Bapak Bangsa Afrika Selatan Nelson Mandela bersama istrinya di pertandingan final. Sebagaimana diketahui peran Mandela dalam menggolkan Afrika Selatan sebagai tuan rumah sangat besar. Andai saja tidak ada Mandela, sulit Afrika Selatan akhirnya ditunjuk sebagai tuan rumah. Sebagai politisi senior yang membebaskan Afrika Selatan dari praktik politik apartheid dan pernah memperoleh hadiah nobel perdamaian, Nelson Mandela memang bukan sembarang tokoh. Dia pejuang sejati yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk memperjuangkan kaumnya dari berbagai ketidakadilan, terutama akibat warna kulitnya yang hitam. Saya teringat suatu kali Mandela ketika masih mendekam di penjara pernah mengatakan apa salah kami dengan berkulit hitam sehingga kami diperlakukan secara berbeda dengan manusia lain yang berkulit putih. “Andai saja bisa milih, saya mau berkulit putih”, begitu sloroh Mandela suatu ketika. Perjuangan Mandela membawa hasil gemilang.
Di bawah Mandela, Afrika Selatan tidak saja telah menghapus politik apartheid, tetapi juga model penyelesaian politik lewat rekonsiliasi dengan memaafkan semua mantan lawan politiknya telah menghentak masyarakat internasional dan patut ditiru. Kehadiran Mandela di pertandingan final tak pelak menjadi pemandangan dan kejutan tersendiri. Sebab, tokoh yang sudah sangat udzhur itu tidak bisa hadir pada acara pembukaan.
Berbagai kejutan lain selama pertandingan berlangsung juga banyak terjadi. Beberapa tim unggulan, bahkan juara bertahan Italia, rontok di babak semi final. Tim Amerika Latin yang begitu berjaya hingga sebelum semi final juga berguguran. Tim raksasa Brasil juga tumbang di semi final. Justru tim yang tidak diunggulkan seperti Belanda, Uruguai, bahkan Spanyol yang kalah dengan Swiss pada pertandingan pertama malah masuk final dan akhirnya menjadi juara setelah menghempaskan Belanda dengan angka 1 -0. Kesebelasan Spanyol akhirnya mencatat sejarah dengan menjadi juara dunia yang pertama kali. Tak pelak, rakyat Spanyol berbestapora menyambut kemenangan tersebut. Anggota kesebelasan disambuat bagai pahlawan. Model permainan kesebelasan Spanyol yang tidak emosional menjadi bahan diskusi para pengamat dan pecinta sepak bola di seluruh dunia. Sebab, dengan sikap tersebut Spanyol berhasil meredam gempuran tim Belanda yang sejak semula bermain keras. Pertandingan sepak bola ternyata memerlukan manajemen emosi yang prima. Jika gagal, akibatnya bisa fatal.
Sebagai sebuah social event, pertandingan sepak bola yang mewakili semua benua di planet bumi ini menyiratkan beberapa hal, mulai dari perilaku lebih dari 700 pemain, wasit, hakim garis, ekspresi spontan para pelatih dan penonton menyaksikan tim kesayangannya beradu ketrampilan memainkan bola, ada yang bertukar menukar kaos antar-pemain, hingga perilaku komentator. Semuanya menggambarkan dunia batin masing-masing dan perilaku psikologisnya. Ada yang kecewa jika salah seorang pemain yang didukung melakukan kesalahan. Ada yang menutup wajah menyaksikan gawang tim yang didukung kebobolan, ada yang teriak dan menendang-nendang barang apa saja yang ada di dekatnya, ada juga yang berjoget-joget kegirangan menyaksikan timnya berhasil menjebolkan gawang lawan. Ada pula yang menangis dan tertunduk lesu setelah gagal menyarangkan bola ke gawang lawan.
Itulah sepak bola! Karena itu, dibanding pertandingan olah raga yang lain, sepak bola sangat menarik karena beberapa hal tersebut. Selain itu, ada lagi yang lebih menarik yaitu hasil akhir pertandingan sepak bola unpredictable. Siapa yang mengira tim Brasil tunduk di tangan Belanda, siapa pula yang menyangka tim Argentina yang selama ini digembar-gembirkan sebagai tim kuat karena dilatih oleh mantan maha bintang Diego Aramando Maradona. Dan, siapa pula yang berpendapat bahwa Spanyol akhirnya menjadi finalis melawan Belanda dan tampil sebagai juara dunia. Padahal, sejak awal tim Spanyol tampil tidak begitu meyakinkan dan bahkan menerima banyak cemoohan. .
Di balik semua itu, dari laga sepak bola dunia ini masih satu hal yang layak diperbincangkan, yakni keterlibatan “Paul” si Gurita. Binatang berkaki banyak itu menjadi salah satu “bintang” di World Cup 2010 ini. Bagi tim dan masyarakat Spanyol si gurita dianggap sebagai pahlawan karena berhasil mengganggu tim Belanda secara psikologis. Sebab, sejak awal gurita itu menjagokan Spanyol sehingga menganggu konsentrasi tim Belanda. Tak hanya itu, masyarakat Belanda secara umum juga merasa terganggu atas ramalan gurita itu. Sampai-sampai acara kebaktian di gereja-gereja di Belanda mengangkat tema bagaimana menghilangkan beban psikologis tim Belanda akibat ramalan gurita. Bagi tim yang kalah “akibat”ramalan gurita, binatang itu layak segara dibuang ke laut atau digoreng ramai-ramai saja karena menjadi biang keladi kekalahan.
Entah percaya atau tidak ramalan gurita itu terbukti. Menurut laporan beberapa media, ini bukan kali pertama gurita itu membuat ramalan pertandingan sepak bola dan ternyata benar. Yang sulit diterima nalar sehat adalah bagaimana masyarakat Eropa yang selama ini dikenal berperadaban maju dan rasional serta mengagung-agungkan rasio justru terperangkap pada dunia irasional yang akut. Bagaimana mungkin ulah gurita yang ditempatkan di akuarium dan tidak melihat pertandingan sepak bola secara langsung dianggap sebagai kejelian ramalannya? Para pakar sepak bola yang sangat aktif mengikuti perkembangan setiap tim saja banyak yang salah merawal.
“Sangat tidak masuk akal”, begitu komentar seorang pemirsa TV swasta ketika ditanya pendapatnya tentang ramalan gurita. Sebab, gurita itu tidak melihat pertandingan dan tidak tahu sejarah prestasi tim yang bertanding. Rasanya, kalau pun selama ini prediksinya benar itu hanya kebetulan. Sebab, gerakan gurita itu tidak punya akal yang bisa bernalar sebagaimana manusia. Selain itu, gerakan bagian-bagian tubuhnya yang dianggap sebagai tengara siapa yang menang dan yang kalah hanyalah gerakan berdasarkan insting belaka sebagaimana binatang-binatang yang lain.
Timbul pertanyaan mengapa perhelatan olah raga modern yang melibatkan teknologi tinggi itu memunculkan ramal meramal oleh seekor gurita yang diberi nama ‘Paul’? Saya berpikir apa ini sisi lain dari alam pikiran yang berkembang di masyarakat post-modern sebagaimana digambarkan oleh tokoh-tokoh postmodernism. Ketika sebuah masyarakat sudah jenuh dari berbagai bentuk modernitas di semua sektor kehidupan, mereka akan mencari bentuk kehidupan lain di luar itu. Jika modernitas ditandai dengan penggunaan nalar dan akal yang logis, maka dunia post-modernitas justru sebaliknya. Ia ingin kembali ke alam irasional yang sering tidak masuk akal. Sebab, menurut salah seorang penggagasnya Arnold Toynbee dalam A Study of History, salah satu tanda post-modernisme adalah runtuhnya rasionalisme. Orang menjadi irasional dalam bertindak. Karena itu, menggunakan logika tersebut bisa saja kepercayaan sebagian masyarakat Barat atas ramalan gurita merupakan pernik-pernik dunia post-modern yang menghinggapi hampir seluruh masyarakat dunia saat ini.
Sebagai penutup, saya ingin menyatakan bahwa perhelatan akbar sepak bola se jagad itu telah menjawab pertanyaan siapa tim yang kuat dan akhirnya menjadi pemenang, dan tim yang lemah yang langsung tergusur di babak awal, serta siapa saja yang masuk menjadi sepuluh pemain terbaik piala dunia 2010. tetapi ada satu teka teki yang belum terjawab sampai akhir pertandingan, yakni siapa “Paul” si gurita dan mengapa ada sebagian masyarakat Barat percaya pada ulah si binatang berkaki banyak itu? Mungkin para pembaca bisa menjawabnya.