Dibanding hubungan dengan negara tetangga yang lain, hubungan Indonesia dengan Malaysia tergolong paling rawan konflik. Pasang surut hubungan dimulai dari masalah TKI dan TKW yang diperlakukan kasar dan tidak dibayar sesuai kesepakatan oleh para majikan, klaim batik, reog, tempe, lagu Rasa Sayange, angklung, pulau Sipadan dan Ligitan (yang akhirnya benar-benar jatuh ke tangan Malaysia) hingga yang paling akhir masalah penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan RI yang sedang berpatroli oleh Polisi Marin Diraja Malaysia dan semapat ditahan. Walau akhirnya dibebaskan, tak pelak ulah Malaysia mengundang protes sejumlah elemen masyarakat, mulai aksi membakar bendera Malaysia, melempari Kantor Kedubes Malaysia di Jakarta, tuntutan untuk menarik Duta Besar RI di Kuala Lumpur, hingga nota protes diplomatik Kemenlu RI di Jakarta ke pemerintah Malaysia. Muncul juga tuntutan agar Menlu RI Marti Natalegawa segera diganti karena dianggap tidak becus mengurusi diplomasi RI di luar negeri.
Reaksi masyarakat itu wajar karena ulah Malaysia mengusik rasa nasionalisme warga negara Indonesia. Ada kesan Malaysia memang sengaja mengganggu Indonesia atau memancing emosi masyarakat Indonesia. Tetapi setiap kali ada masalah dengan Malaysia masyarakat Indonesia sangat reaktif dan emosional. Mereka tidak mencari akar masalahnya dan berupaya memberikan solusi kepada pemerintah. Misalnya mencari akar masalah bagaimana awal mula kain batik, kesenin reog, makanan tempe, lagu Rasa Sayange, kesenian tradisional angklung itu bisa diklaim sebagai produk asli Malaysia. Agar tidak merambah ke produk budaya yang lain apa yang mesti segera dilakukan. Sedangkan menyangkut klaim pulau Sipadan dan Ligitan diketahui bahwa ternyata dua pulau itu selama ini tidak terurus oleh Indonesia. Dengan mudahnya Malaysia mengakui sebagai bagian dari wilayahnya dan masalahnya dibawa ke Mahkamah Internasional yang akhirnya memutuskan bahwa dua pulau itu wilayah sah Malaysia. Sejak saat itu sebenarnya benih-benih konflik akibat ketidakpuasan masyarakat Indonesia atas lepasnya dua pulau itu sudah mulai muncul. Oleh karena itu, isu sekecil apa pun dengan Malaysia cepat menjadi isu besar. Bahkan sejarah ‘ketegangan’ Indonesia-Malaysia sudah ada sejak zaman Bung Karno. Dengan sangat lantang Bung Karno menggunakan jargon ‘Ganyang Malaysia’ untuk melawan kesewenang-wenangan Malaysia saat itu. Sampai saat ini jargon politik Bung Karno masih tersimpan rapi dalam memori masyarakat kedua Negara serumpun itu.
Penangkapan tiga petugas Indonesia oleh polisi maritim Malaysia sesungguhnya menyangkut batas wilayah kedua negara. Bagi polisi laut Malaysia, ketiga petugas Indonesia itu telah masuk ke wilayah Malaysia. Sedangkan bagi petugas Indonesia, wilayah yang dilalui masih masuk wilayah laut Indonesia. Menentukan garis batas laut antara dua negara bukan pekerjaan gampang. Bayangkan saja panjang garis pantai Indonesia mencapai 81. 000 km, luas daratan 1,9 juta km2, dan luas perairan 3,1 juta km2, jumlah pulau yang sudah bernama mencapai 17. 500. Masih ada sekian banyak pulau yang belum diberi nama dan tidak berpenghuni. Dari sisi ukuran panjangnya, wilayah Indonesia mulai Sabang-Merauke itu hampir sama dengan London di Inggris hingga Moskow di Russia atau dari London hingga Kairo di Mesir. Tak pelak, secara fisik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
Wilayah kepulauan yang sedemikian luas dengan sepuluh negara yang langsung berbatasan dengan Indonesia memang rentan konflik, terutama menyangkut garis perbatasannya. Karena keutuhan wilayah dan kedaulatan sebuah negara merupakan masalah sangat prinsip dan menyangkut harkat dan martabat bangsa, maka sudah sangat mendesak bagi pemerintah Indonesia untuk menentukan batas-batas darat dan laut dengan semua negara tetangga secara tuntas dengan melibatkan berbagai kementerian dan para ahli. Jika tidak, bukan mustahil masalah yang sama akan terjadi dengan negara lain selain Malaysia. Belajar dari sejarah hubungan antar-bangsa, konflik antar-negara bertetangga sering terjadi karena masalah perbatasan yang tidak jelas.
Bagi Indonesia yang berbatasan dengan setidaknya sepuluh negara tetangga, isu sensitif menyangkut perbatasan sebenarnya tidak saja dengan Malaysia, tetapi juga dengan NTT-Timor Leste dan Morotai (Provinsi Maluku Utara) - Filipina. Jika tidak segera diselesaikan batas-batas wilayah antar kedua negara itu, bukan mustahil wilayah perbatasan RI dengan kedua negara itu menjadi bola liar yang sewaktu-waktu meletus. Sejak Timor Leste lepas dari RI lewat jajak pendapat, batas kedua negara masih belum tuntas. Untuk wilayah darat barangkali tidak terlalu sulit karena sebelum masuk menjadi wilayah RI. Timor Leste merupakan wilayah tersendiri sebagai bekas jajahan Portugal. Tetapi menyangkut wilayah laut, batasnya belum jelas. Ada kekhawatiran suatu saat isu perbatasan kedua negara mengemuka menjadi konflik karena diperkirakan adanya kandungan sumber alam berupa minyak di laut celah Timor.
Menyangkut perbatasan Morotai-Filipina juga rentan karena pengamanan di wilayah utara Indonesia itu sangat lemah. Akibatnya praktik penyelundupan barang, orang dan pencurian ikan oleh kapal asing terus berlangsung. Menurut informasi para nelayan asing dengan leluasa masuk ke wilayah Morotai (RI) dan dengan mudah melarikan diri ke wilayah Filipina jika dihalau. Ini artinya wilayah perbatasan laut Morotai-Filipina belum dijaga dengan ketat, sehingga bisa saja suatu saat Filipina --- sebagaimana Malaysia