Ramadan, Bulan Kasih Sayang Allah
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Selasa, 17 Agustus 2010 . in Rektor . 1238 views

Ramadan, Bulan Kasih Sayang Allah

 

Manusia diciptakan Allah tiada lain kecuali untuk beribadah kepadaNya. Beribadah tidak hanya sholat, tetapi juga semua aktivitas kehidupan untuk kemaslahatan baik bagi dirinya maupun orang lain dan dilakukan karena Allah. Orangtua yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, guru yang menyampaikan ilmu pengetahuan dan mendidik siswa dengan baik karena Allah sehingga menjadi pribadi yang berakhkak mulia, ilmuwan yang melakukan penelitian untuk mengungkap misteri alam semesta, polisi yang mengamankan masyarakat sehingga warga bisa merasa hidup tenang dan tenteram dan sebagainya semuanya dimaknai sebagai tindakan beribadah. Di antara serangkaian perintah beribadah itu ada satu yang sangat istimewa di mata Allah, yakni ibadah puasa yang dilakukan pada bulan Ramadan, sebagaimana firman Allah dalam al-Baqoraoh, 2:183, yang artinya:

 

"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Al Baqarah, 2: 183).

Allah sangat menyadari bahwa ibadah puasa yang diwajibkan merupakan ibadah sangat berat. Karena itu, perintah itu tidak ditujukan kepada semua umat manusia, melainkan hanya kepada orang telah-orang beriman. Disebut ibadah berat karena puasa tidak sekadar menghindarkan diri dari makan dan minum serta berkumpul antara suami istri di siang hari, melainkan juga menghindari diri dari seluruh aktivitas indrawi yang tidak berguna serta hati yang dekat dengan Allah. Tidak makan dan minum mungkin tidak terlalu berat, tetapi menjaga lisan agar tidak berbohong, mata agar tidak melihat pemandangan atau hal-hal yang berbau maksiat, dan telinga agar terhindar dari berita-berita gosip serta hati yang selalu husnudhon sungguh bukan pekerjaan gampang.

Karena itu, logikanya jelas bahwa hanya orang yang berbekal iman yang kuat saja dan keyakinan tinggi sanggup menjalankan perintah Allah ini tanpa banyak perhitungan dan penalaran ilmiah. Karena didorong oleh rasa penyerahan diri sebagai hamba Allah dan untuk menggapai kenikmatan hakiki sebagaimana dijanjikan Allah bagi orang-orang yang berpuasa, maka betapa pun beratnya ibadah puasa dijalani dengan ikhlas. Dengan demikian, orang-orang yang beriman memperoleh tempat khusus di mata Allah sehingga dipanggil untuk menjalankan ibadah puasa tersebut.

Namun demikian sebagai makhluk berakal, kita perlu merenungkan perintah puasa ini secara esensial. Mengapa Allah masih memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berpuasa, padahal ibadah sholat saja sudah mengandung demikian banyak hikmah? Bukankah sholat sudah cukup menjadi pembeda apakah seseorang

Itu muslim atau kafir? Dengan kata lain, mengapa Allah memberikan waktu sedemikian istimewa kepada manusia yang telah beriman? Dikatakan istimewa sebab banyak janji Allah bagi orang-orang yang menjalankan puasa dengan ikhlas karena Allah seraya memohon ridho-Nya, yakni diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan dosa-dosanya yang akan datang. Siapa yang tidak senang tatkala dosa-dosanya diampuni Allah sehingga tatkala dipanggil dalam keadaan suci alias tak berdosa? Bagi manusia normal, tiada kebahagiaan melebihi kebahagiaan tatkala dosa dan kesalahannya telah dihapus oleh Allah swt.

Sebagian ulama menyebut bulan Ramadan sebagai bulan rahmat atau bulan kasih sayang Allah. Dengan sifat rahman dan rohim-Nya, Allah memberikan bonus khusus kepada orang-orang yang beriman suatu keistimewaan, yakni sebuah masa selama satu bulan di mana Allah curahkan berbagai nikmat berupa kasih sayang dan ampunan kepada orang-orang yang menjalankan puasa. Begitu istimewanya, sampai-sampai Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis bersabda barang siapa yang senang dengan datangnya bulan Ramadan, maka akan dihapus dosa-dosannya. Karena itu, Allah sangat murka kepada orang yang tidak mempedulikan keistimewaan yang telah diberikan itu, apalagi meninggalkannya begitu saja.

Keistimewaan itu diberikan Allah karena Allah sangat menyadari bahwa manusia adalah makhluk sangat lemah dan sering tidak konsisten. Iman juga naik dan turun "al Imanu Yazidu wayankushu". Naik karena meningkatnya amal sholeh dan turun karena perbuatan maksiat yang dilakukan. Tatkala iman sedang naik, mudah diajak beribadah dan beramal sholeh. Tetapi di saat imannya sedang turun, ada perasaan malas beribadah. Menyadari keadaan demikian, Allah sediakan waktu di mana manusia bisa memanfaatkannya sebaik mungkin untuk memperoleh kasih sayang-Nya. Sebab, tanpa kasih sayang tersebut, sulit bagi manusia masuk surga.

Masuk surga tidak bisa dihitung secara matematis melalui timbangan: yang amal sholehnya banyak akan masuk surga dan yang sedikit akan masuk neraka. Ada kisah di zaman Nabi hidup seorang yang tekun beribadah. Semua perintah Allah dijalani, dan semua larangan-Nya dihindari. Dia sangat yakin amal sholehnya banyak dan karenanya akan masuk surga. Bahkan dia tidak takut mati, sehingga waktu sakit tidak mencari upaya penyembuhan, tetapi justru memanggil malaikat untuk segera mencabut nyawanya. Atas izin Allah, malaikat pun mencabut nyawa orang itu sehingga mati. Setelah dikubur, dia memperoleh siksa kubur dan bertanya kepada malaikat mengapa dia disiksa. Padahal, selama hidup dia sangat taat beribadah. Malaikat menjawab karena dia sombong dalam hidupnya.

Al Qur’an banyak bercerita tentang kisah makhluk yang sombong. Iblis adalah contoh makhluk ciptaan Allah yang sangat sombong, karena tercipta dari api sehingga tidak mau bersujud kepada Adam yang terbuat dari tanah. Padahal, semua makhluk bersujud kepada Adam. Karena kesombongannya, Iblis yang sebelumnya makhluk malaikati dilaknat Allah sebagai calon penghuni neraka selama-lamanya. Karena itu, kata Nabi kesombongan adalah salah satu penyebab manusia jatuh.

Selain kesombongan, kata Nabi, keserakahan juga menjadi penyebab manusia jatuh sehingga tidak terhormat. Nabi Adam AS yang sangat dicintai Allah diberi hak untuk menikmati semua isi surga bersama istrinya Siti Hawa, kecuali buah quldi, juga akhirnya jatuh dan diusir Allah dari surga. Adam tidak kuat menerima godaan setan untuk tidak memakan buah quldi. Di sini muncul sifat keserakahan yang berakibat fatal. Adam memerlukan waktu 100 tahun bertaubat kepada Allah. Setelah taubatnya diterima Allah, baru Adam bisa kembali ke surga.

Kesombongan dan keserakahan masih menjadi pemandangan umum di masyarakat kita sekarang ini. Pangkal kesombongan adalah kekuasaan, kekayaan, kepandaian, ketampanan atau kecantikan dan kelebihan-kelebihan yang dimiliki seseorang. Karena kekuasaannya, orang bisa semena-mena terhadap yang lain. Padahal, kekuasaan adalah amanah yang mesti dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Bagi orang beriman, kekuasaan justru bisa menjadi lahan berbuat amal sholeh dengan berbuat adil dan mengayomi umatnya. Tetapi kenyataannya masih jauh dari harapan. Penguasa kita justru terjebak dalam tindakan menikmati kekuasaan. Perhatikan saja perilaku para penguasa atau kepala daerah. Aturan dicari celah kelemahannya sebagai upaya melanggengkan kekuasaan. Hati nurani dan rasa malu tampaknya tidak lagi menjadi ukuran memperoleh kekuasaan. Ada semangat aji mumpung untuk berkuasa di masyarakat kita.

Kesombongan melahirkan sikap semena-mena dan keserakahan melahirkan ketidakpedulian terhadap sesama. Keduanya menjadi sumber petaka di masyarakat. Karena itu, Ramadan mesti dijadikan momentum untuk menghilangkan sifat-sifat sombong dan serakah agar kita memperoleh rahmat atau kasih sayang Allah. Sepanjang sikap sombong dan serakah masih menyelimuti masyarakat kita, terutama para pemimpinnya, kasih sayang Allah masih jauh diperoleh. Ramadan pun hanya berlalu begitu saja.

 

____________

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up