Rabu malam, 1 September 2010 Presiden SBY memberikan penjelasan resmi mengenai sikap resmi pemerintah terkait memanasnya hubungan Indonesia-Malaysia di Markas Besar TNI Cilangkap. Presiden merasa perlu segera memberikan penjelasan setelah banyak komponen masyarakat melakukan protes atas perlakuan Malaysia terhadap tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI yang ditangkap oleh polisi Maritim Diraja Malaysia. Penangkapan itu menimbulkan ketegangan karena menurut versi pihak Indonesia ketiga petugas itu adalah aparatur negara yang menjalankan aktivitas pengawasan dalam wilayah kedaulatan Indonesia. Sebelumnya, tujuh nelayan Malaysia menangkap ikan di wilayah perairan RI. Kedua insiden tersebut dianggap sebagai pemicu memanasnya hubungan kedua negara bertetangga dekat ini.
Baik nelayan Malaysia maupun ketiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan RI sebenarnya telah dilepaskan pihak masing-masing. Tetapi karena masalahnya menyangkut kedaulatan wilayah, solusinya tidak begitu mudah. Sebab, di dalamnya ada rasa nasionalisme, harga diri, dan martabat sebuah bangsa. Meminjam istilah dalam psikologi, Malaysia dianggap sedang mengganggu comfort zone Indonesia. Menurut kajian psikologi, siapa pun yang comfort zone-nya terganggu, apalagi sengaja diganggu, pasti akan marah. Bagi sebuah bangsa, wilayah kedaulatan merupakan comfort zone yang sangat dilindungi dan dipertahankan mati-matian. Lihat saja konflik Israel-Palestina yang sudah puluhan tahun berlangsung berakar dari comfort zone masing-masing yang terancam. Karena itu, apa pun dilakukan oleh Israel untuk mempertahankan diri. Begitu juga Palestina berjuang habis-habisan untuk mengembalikan comfot zone-nya yang merasa dirampas oleh Israel.
Tulisan pendek ini bermaksud mengupas pidato SBY dari kaca mata pandang Analisis Wacana. Sebagaimana diketahui, Analisis Wacana merupakan sebuah pendekatan untuk memahami teks dengan menitikberatkan pada bagaimana suatu ujaran disampaikan, apa ragam bahasanya, konteksnya seperti apa, bagaimana bahasa tubuh penyampai pesan, dan pesan penting apa yang dibawa penyampai pesan. Berbeda dengan analisis semantik yang menekankan makna teks secara literal (arti di dalam kamus), atau Analisis Isi (Content Analysis) yang menekankan frekuensi penggunaan kata sebagai penanda pentingya makna kata itu, maka Analisis Wacana mengkaji sebuah narasi atau teks berdasarkan konteks. Menurut penggagasnya, teks (text) lahir dari sebuah kondisi (condition) yang menciptakannya, sehingga muncul konteks (context). Jadi context merupakan kesatuan dari condition dan text(s). Dengan demikian, teks tidak pernah muncul tiba-tiba dan tanpa ada kondisi yang melingkupinya. Kondisi menentukan wujud dan isi teks. Konteks lah yang menentukan makna teks. Karena konteks menyangkut waktu (timing) dan tempat (place), maka pidato SBY bisa dianalisis melalui dua kondisi tersebut.
Berdasarkan timing-nya, pidato SBY muncul karena ada kondisi yang mengantarkannya untuk menyampaikan teks seperti itu. Kondisi itu adalah memanasnya hubungan antara Malaysia-Indonesia yang dipicu oleh insiden yang sebenarnya tidak begitu serius. Insiden itu menjadi serius karena bukan kali ini saja Malaysia ‘meggoda’ Indonesia. Lepasnya dua pulau Ligitan dan Sipadan juga merupakan pra-kondisi yang membuat rasa jengkel dan tidak begitu saja mudah dilupakan dan mengganggu secara psikologis. Sayangnya, Malaysia justru merasa semakin confident setelah kedua pulau itu berhasil dikuasai melalui pengadilan Mahkamah Internasional.
Memperhatikan pidato SBY dengan cermat, diperoleh kesan bahwa pemerintah Indonesia jauh dari niat berkonfrontasi secara fisik melalui kekuatan militer untuk menyelesaikan persoalan dengan Malaysia. Indonesia ingin menyelesaikannya dengan jalur diplomasi politik. SBY memulai pidatonya dengan membawa mindset pemirsa TV ke sebuah kesadaran tentang betapa pentingnya menjaga hubungan baik dengan Malaysia mengingat begitu banyaknya tenaga kerja Indonesia yang saat ini bekerja di sana yang mencapai angka dua juta orang dan menghasilkan devisa negara puluhan trilyun rupiah. Angka dua juta itu merupakan jumlah terbesar tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Menurutnya, hubungan baik dengan Malaysia harus dijaga karena merupakan bangsa serumpun yang sudah puluhan tahun saling berinteraksi.
Implikatur dari statement tersebut ialah Indonesia saat ini sangat tergantung pada Malaysia dalam hal tenaga kerja. Dengan gamblang pidato itu menyiratkan bahwa saat ini Indonesia sangat memerlukan Malaysia, sehingga jika konfrontasi terbuka dengan Malaysia terjadi nasib dua setengah juta tenaga kerja itu akan terancam. SBY sadar betul bahwa kelangsungan tenaga kerja di Malaysia sangat penting. Sebab, jika dua juta tenaga kerja itu pulang sementara lapangan kerja di Tanah Air begitu sulit, maka akan menambah jumlah pengangguran. Karena itu, pemerintah lebih memilih sikap ‘bersabar’ terhadap Malaysia daripada konfrontasi, sebagaimana era Soekarno dulu.
Dalam penjelasannya, SBY juga menyelipkan informasi mengenai pelajar dan mahasiswa Indonesia yang saat ini belajar di Malaysia mencapai angka 13 000 orang, dan mahasiswa Malaysia di Indonesia mencapai 6000 orang. Tetapi angka mengenai jumlah mahasiswa di kedua belah pihak hanya merupakan informasi aksesoris untuk membungkus informasi mengenai jumlah TKI dan TKW Indonesia di Malaysia.
Mengawali pidato dengan memaparkan jumlah tenaga kerja yang demikian banyak dan jumlah devisa yang dihasilkan demikian tinggi bukan tanpa kesengajaan. Sebab, menurut Analisis Wacana tidak ada ucapan yang tiba-tiba dan tanpa tujuan. Tidak saja kata selalu bermakna, tata urutan penyampaian pesan dan penjelasan pun juga membawa makna tersendiri. Tata urutan menunjukkan tingkat kepentingan makna. Dengan demikian, implikatur pidato SBY akan jauh berbeda jika diawali dengan penyampaian jumlah kekuatan militer Indonesia saat ini berikut pesawat tempur F16 yang dimiliki. Dengan menggambarkan kekuatan militer dapat diartikan pemerintah siap konfrontasi fisik dengan Malaysia.
Tetapi perlu juga diperhatikan dari sisi konteks fisik tempat pidato disampaikan. Mengapa SBY menyampaikannya tidak di Istana Negara, tetapi memilih di Markas Besar TNI Cilangkap. Tentu itu juga bukan tanpa pertimbangan. Makna pidato itu akan berbeda jauh dengan kalau, misalnya, disampaikan di Monas atau Taman Mini. Implikatur dari tempat penyampaian pidato itu ialah kendati Indonesia sangat membutuhkan Malaysia, utamanya mengenai ketersediaan lapangan kerja, tidak berarti Indonesia begitu saja menerima perlakukan Malaysia menyangkut kedaulatan wilayah. Jika terpaksa, maka demi kedaulatan negara dan keutuhan NKRI apa pun siap dilakukan oleh Indonesia dengan kekuatan militer sekalipun.
Ragam bahasa SBY ialah bahasa baku, karena merupakan pernyataan resmi. Ragam bahasa baku menggambarkan keseriusan pemerintah Indonesia menanggapi masalah tersebut. Selain baku, gaya bahasa yang dipakai SBY juga tampak tenang dengan sesekali menggunakan bahasa tubuh melalui gerakan tangan untuk menegaskan pesan yang disampaikan. Sorotan mata SBY juga tampak jelas bahwa persoalan dengan Malaysia tidak bisa dipandang remeh, kendati harus tetap dengan kepala dingin. Dari sisi efektivitas penggunaan kata, SBY sangat cermat menggunakan kata. Hampir tidak ada kata yang mubadzir tanpa makna. Kalimatnya tertata rapi dengan struktur dan tata bahasa yang tepat dan lugas.
Menggunakan perspektif ‘Language and Power’ ala Bourdieu pesan secara simbolik SBY sudah sangat tegas. Cilangkap adalah Markas Besar TNI, sekaligus merupakan simbol kekuatan militer Indonesia. Para petinggi militer juga hadir semua di tempat itu. Karena itu, secara simbolik sikap pemerintah sudah tegas dan jelas dan bisa dibaca dari tempat penyampaian pidato tersebut. Implikatur itu didukung oleh pernyataan SBY “ ….kedaulatan negara dan keutuhan wilayah adalah kepentingan nasional yang sangat vital”. Jika dicermati, kalimat itu mengandung implikatur pentingya menjaga keutuhan wilayah NKRI dengan cara apa pun jika diperlukan. Kata ‘vital’ cukup menjelaskan hal itu. Karena itu, agak mengherankan jika masih ada sebagaian orang yang menganggap pidato SBY datar-datar saja dan normatif. Banyak orang berharap pidato SBY tegas dan jika perlu agak konfrontatif sebagaimana Bung Karno pernah melakukannya. SBY tentu berbeda dengan Soekarno. Bukankah masing-masing orang memiliki cara dan ragam bahasa sendiri untuk menyampaikan pesan yang dalam studi sosiolinguistik disebut ideolek?
Pakaian yang dikenakan SBY juga bisa dianalisis lebih jauh. Ketika menyampaikan pidato, SBY mengenakan baju batik dan berkopiah hitam. Apa artinya? Pakaian batik memberi makna bahwa sebagai pemimpin negara SBY menunjukkan rasa nasionalisme. Rasa nasionalisme perlu diangkat karena ketegangan dengan Malaysia sebenarnya menyangkut isu nasionalisme, sekaligus penegasan bahwa batik yang juga sempat diklaim sebagai produk Malaysia merupakan produk asli dan pakaian khas Indonesia.
Sedangkan kopiah hitam yang dikenakan merupakan bentuk empati SBY kepada masyarakat muslim yang saat itu sedang menjalankan ibadah puasa. SBY dikenal sangat memperhatikan jenis dan warna pakaian untuk selalu disesuaikan dengan konteks di mana harus tampil. Karena itu, batik dan kopiah merupakan teks yang ‘berbicara’ kendati tidak lewat kata-kata.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan bahwa dari perspektif Analisis Wacana pidato SBY cukup efektif untuk meredam gejolak masyarakat yang memprotes arogansi Malaysia. Sebab, dari segi timing, place, psychological condition telah terpenuhi. Ungkapan ‘menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah’ kiranya tepat untuk menggambarkan dunia batin SBY dalam menyelesaikan ketegangan Indonesia-Malaysia. Tetapi bagaimana pun tulisan ini juga hasil sebuah tafsir yang bisa ditafsir lagi, terutama oleh para peminat studi wacana !.
__________
Malang, 23 September 2010