Dunia hukum di Indonesia dibuat terbelalak dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 49/PUU-VIII/2010 tertanggal 22 September 2010 yang menyatakan bahwa Hendarman Supandji tidak lagi sah menjadi Jaksa Agung sejak putusan tersebut dikeluarkan. MK mencermati Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Kejaksaan Agung yang menyatakan bahwa jabatan Jaksa Agung bukan Menteri, tetapi pejabat setingkat menteri. Karena itu, seharusnya masa jabatan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa kepresidenan SBY periode pertama (2004-2009) atau diangkat kembali pada periode kepreidenan SBY yang kedua.
Secara konvensional Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan bersamaan dengan pengangkatan dan pemberhentian Menteri, kendati Kejaksaan Agung bukan lembaga eksekutif. Tetapi nyatanya Hendarman Supandji tetap menjabat sebagai Jaksa Agung sampai saat ini tanpa melalui Surat Keputusan baru. Itulah persoalan pokok uji materi yang diajukan Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra .
Lewat putusan MK tersebut, polemik mengenai keabsahan Hendarman Supandji sebagai Jaksan Agung terjawab sudah. Sejak putusan tersebut dikeluarkan Hendarman Supandji bukan lagi Jaksa Agung kendati produk hukumnya selama ini tetap dianggap sah. Karena itu, banyak pihak, termasuk dari kalangan DPR, meminta pemerintah segera melaksanakan putusan MK tersebut. Bahkan, memperdebatkan keputusan MK dianggap sebagai ketidaktahuan dan ketidakpatuha terhadap lembaga konstitusi. Menariknya, di mata pemerintah sebagaimana disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Hendarman tetap sah sebagai Jaksa Agung, karena pemberhentian dan pengangkatan Jaksa Agung sepenuhnya hak prerogatif presiden. Selain itu, Sudi Silalahi menyatakan pernyataan Ketua MK Mahfud MD hanya tafsir lesan dan tidak disampaikan di ruang sidang. Karena itu, tidak ada yang inkonstitusional yang dilakukan Presiden. Maka, Hendarman Supandji tetap sah sebagai Jaksa Agung. Pendapat senada juga disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, yang notabene merupakan sikap resmi pemerintah terhadap amar putusan MK.
Bagi sebagian pengamat, putusan MK tersebut dianggap sangat prospektif, berani dan ‘berlawanan’ dengan arus, terutama dari pihak pemerintah. Karena itu, tak pelak setiap putusan demikian mengundang polemik. Ada yang berpendapat putusan MK sebagai pejaran sangat berharga bagi dinamika dunia hukum di Indonesia dan menjadi jalan bagi presiden untuk mengganti Jaksa Agung. MK dianggap sebagai lembaga sangat kredibel yang putusan-putusannya sangat berani. Ke depan pemerintah mesti lebih hati-hati dalam mengambil kebijakan. Belum lama ini MK juga membuat putusan mengenai status BHMN bagi beberapa perguruan tinggi negeri yang juga dibatalkan MK. Sebab, status BHMN dianggap tidak memihak kepada rakyat, terutama bagi yang tidak mampu untuk mengenyam pendidikan tinggi. MK juga sudah tak terhitung memberikan putusan mengenai sengketa Pilkada di berbagai daerah.
Sebaliknya ada yang berpendapat MK terlalu jauh mencampuri urusan pemerintah dan mempertanyakan sejauh mana hak MK memberikan sebuah putusan hukum. MK itu lembaga penafsir hukum atau lembaga pemutus masalah hukum. MK dinilai sebagai lembaga super body yang kebablasan karena semua produk putusannya bersifat final, tidak bisa dikasasi. Menarik sekali kan?
Melalui tulisan pendek ini, saya bermaksud menambah polemik mengenai putusan MK tersebut bukan dari sisi hukum karena saya bukan ahli hukum, melainkan dari sisi dunia interpretasi atau tafsir yang dalam filsafat disebut sebagai hermeneutika. Putusan MK tersebut menyadarkan kita betapa pentingnya interpretasi. Hasil interpretasi MK telah menjawab pertanyaan sah tidaknya kedudukan seorang pejabat tinggi negara. Maka tidak berlebihan jika para ahli ilmu tafsir menyatakan bahwa hidup tidak lain adalah proses interpretasi.
Kita tidak bisa menghindar dari interpretasi. Terungkap tidaknya persoalan kehidupan dan kemanusiaan yang lebih dalam dan luas tergantung interpretasi yang dilakukan. Kehidupan kita sebagai makhkluk ciptaan Tuhan di muka bumi juga tidak lepas dari tafsir atau interpretasi kita terhadap perintah-perintah Tuhan lewat kitab suci-Nya. Pun kehidupan kita berbangsa dan bernegara merupakan wujud olah interpretasi kita terhadap falsafah negara kita, yakni Pancasila. Persoalannya siapa yang berhak membuat tafsir, bagaimana dilakukan, bagaimana memperoleh makna objektif sebuah tafsir? Dan objektif menurut siapa? Itu adalah pertanyaan-pertanyaan seputar dunia interpretasi /tafsir yang menarik dikaji lebih dalam.
Polemik mengenai keabsahan status Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung tidak lain sebenarnya merupakan tarik menarik dunia tafsir antara tafsir versi pemerintah dan tafsir versi MK. Keduanya berbeda pandangan karena berbeda kepentingan dan horizon yang dipakai. Pihak pemerintah tentu tidak mau disalahkan dan bertahan bahwa yang dilakukan presiden terkait jabatan Jaksan Agung Hendarman tidak melanggar hukum. Sebab, itu memang mutlak hak presiden. MK sebagai lembaga paling sah yang menafsirkan masalah hukum juga tidak ngawur. Dia memiliki instrumen akademik yang lazim dipakai untuk memaknai sebuah aturan hukum yang tidak lain adalah teks, yakni hermeneutika. Ketua MK Mahfud MD mengakui hal itu. Dalam perbincangan di suatu kesempatan, beliau menyatakan salah satu alat tafsir yang dipakai MK adalah hermeneutika, selain juga aspek hukum, evidensi, dan sosiologis.
Di sini saya teringat dengan teori ilmu tafsir/ hermeneutika beserta aliran-aliran dan para penggagasnya. Ada dua aliran besar dalam hermeneutika, yakni hermeneutika intensionalisme yang digagas oleh Schleiermacher hingga Martin Heidegger dan hermeneutika Gadamerian yang digagas oleh Hans-Georg Gadamer dan para pengikutnya. Menurut hermeneutika intensionalisme, makna objektif teks hanya bisa ditelusur dari pengarangnya. Produser teks merupakan pihak yang paling sah menafsirkan teksnya, karena dia yang membuat, dan arena itu dia yang paling tahu.
Sebaliknya, hermeneutika Gadamerian berpandangan makna teks ada di tangan pembacanya. Sebab, hakikatnya ketika teks sudah di lempar di ruang publik, keberadaan produsernya tidak penting lagi. Karena itu, makna betul-betul tergantung pada bagaimana pembaca memahaminya. Hermeneutika Gadamerian merupakan sejarah penting bagi studi hermeneutika. Sebab, aliran hermeneutika ini memberikan dimensi yang sangat luas kepada setiap pembaca teks untuk lebih kreatif dan menjelajah dunia makna dengan sangat luas. Bagi hermeneutika makna tidak saja ada di belakang teks (meaning behind the texts), melainkan juga di depan teks (meaning before the texts). Makna di balik teks , berarti dibuat (created), sedangkan yang di depan teks berarti ditemukan (invented) .
Dunia interpretasi ala hermeneutika tidak terbatas pada pemaknaan dari apa yang tertulis. Interpretasi hakikatnya merupakan upaya meng-kata-kan, menuturkan, mengungkapkan, menampakkan, dan membuka realitas yang tersembunyi dan tidak tampak menjadi terang benderang. Namun demikian, kendati pembaca bisa leluasa memberikan pemaknaan terhadap teks, tidak berarti dia begitu saja bebas menafsirkan teks semaunya. Sebab ada rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar, yakni jauh dari segala distorsi, bertumpu pada evidensi objektif, berpikir dialektif, dan jernih. Saya sangat yakin sebagai lembaga yang kredibel, MK telah melakukan semua itu.
Atas dasar pandangan tersebut, apa yang dilakukan MK sejatinya merupakan pemaknaan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang keberadaan Kejaksaan Agung dengan menggunakan perspektif hermeneutika Gadamerian. MK memang merupakan lembaga paling sah yang menafsirkan teks Undang-Undang tersebut. Dengan menggunakan hermeneutika Gadamerian, MK memang tidak perlu bertanya kepada produser undang-undang yakni pemerintah dan DPR tentang makna Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 tersebut sebagaimana dimaksudkan. Secara akademik, tafsir MK sah, kendati secara hukum masih bisa dipolemikkan.
____________
Malang, 26 September 2010