Bahasa tidak henti-hentinya menjadi perhatian para ilmuwan sejak dahulu kala. Sebab, bahasa memiliki posisi sentral bagi kehidupan manusia. Melalui bahasa, ilmu pengetahuan berkembang. Bahkan peradaban berkembang juga karena bahasa. Melalui bahasa, manusia tidak saja ingin menyampaikan pemahaman kepada orang lain, tetapi juga ingin dipahami oleh orang lain. Begitu sentralnya posisi bahasa bagi manusia, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahasa adalah pusat memahami dan pemahaman manusia.
Ada pertanyaan mengenai kapan sejatinya bahasa mulai dikaji manusia? Sulit meramal kapan bahasa mulai ada dan dikaji. Tetapi para ahli memperkirakan bahasa mulai ada sekitar 65 000 tahun yang lalu. Orang mengenalnya sebagai bahasa purba. Tetapi bahasa tulis baru dikenal 5000 tahun lalu. Praktis selama 60 000 tahun tidak ada jejak pengetahuan yang bisa direkam karena tidak ada bahasa tulis. Karena itu, bisa dibayangkan selama 60 000 tahun itu pula manusia tidak berbuat apa-apa untuk membawa kemajuan kehidupan.
Seperti disiplin ilmu yang lain, ilmu bahasa juga mengalami pergeseran fokus kajian akibat perkembangan ilmu bahasa itu sendiri dan karena tuntutan dan perkembangan zaman. Sebelum tahun 1900-an, kajian bahasa lebih berpusat pada kajian historis (linguistik historis). Ada yang menyebutnya sebagai linguistik diakronis atau filologi. Kajian demikian begitu dominan hingga abad XIX, yaitu tentang penelitian sejarah bahasa, pencarian tali temali antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, dan bahasa baru yang dihasilkan dari hubungan antar-bahasa yang hasilnya bisa berupa dialek, atau bahkan bahasa baru sama sekali. Asumsinya perubahan budaya, perpindahan penduduk, interaksi busines dan bentuk-bentuk interaksi sosial lainnya berimplikasi terhadap perubahan bahasa.
Tetapi setelah tahun 1900-an kajian bahasa lebih fokus pada analisis bahasa sebagai sistem komunikasi secara utuh yang berlangsung pada masa tertentu tanpa melihat aspek kesejarahannya. Kajian bahasa demikian disebut sebagai kajian bahasa sinkronis atau linguistik sinkronis. Dengan demikian, pada tahun 1900-an telah terjadi pergeseran kajian bahasa dari linguistik diakronis (historis) ke linguistik sinkronis. Tahun 1900-an pun disebut sebagai periode titik tolak kajian linguistik modern.
Sebelum tahun 1900-an, melalui kajian linguistik historis, kerja para ahli sebenarnya lebih pada upaya pemenuhan hasrat pribadi ketimbang pemenuhan hasrat pengembangan teori bahasa secara ilmiah dan universal. Selain itu, mereka juga dipengaruhi oleh keadaan umum ilmu pengetahuan pada saat itu. Sudah menjadi hal yang biasa jika para ahli menggunakan model pencariannya dengan menggunakan model yang sudah ada lebih dahulu. Sebab, ilmu berkembang dengan meneruskan atau mengembangkan ilmu yang telah ada sebelumnya. Ilmu berkembang bukan karena banyaknya pengetahuan di bidang itu, tetapi karena ilmu itu senantiasa direvisi, dikritik, disalahkan (yang menurut Popper disebut falsifikasi) sehingga hanya terdapat sedikit kesalahan. Apa artinya tumpukan ilmu pengetahuan yang campur aduk antara yang benar dan yang salah. .
Sampai akhir 1900-an ilmu pengetahuan didominasi oleh temuan ahli filsafat modern, Thomas Khun, yang menciptakan istilah paradigm (paradigma) untuk menyatakan bagaimana dalam waktu tertentu berpikir tentang suatu masalah banyak dipengaruhi oleh sistem ide koherensi yang bertindak bukan sebagai ajaran teori ilmiah yang disebut secara eksplisit, melainkan sebagai asumsi yang tidak tersurat tentang rentangan hipotesis yang dapat digunakan oleh ilmuwan (Ibrahim, et al, 1985: 12).
Perlu disadari saat itu ilmu pengetahuan dihentakkan dengan temuan-temuan ilmu baru seperti teori informasi, logika matematika, mekanika kwantum, fisika nuklir, kimia nuklir, radiologi, oceanografi, antropologi budaya, psikologi, dsb. Kajian ilmu-ilmu itu lebih terfokus pada kurun waktu tertentu daripada dalam rentangan panjang dalam kurun sejarah. Karena model demikian begitu dominan saat itu, maka wajar jika para pengkaji bahasa menirunya sebagai model kajian kendati wilayah yang dikaji berbeda dengan menitikberatkan fokus perhatian kajian bahasa secara historis.
Ilmu pengetahuan, termasuk bahasa, terus berkembang seiring dengan kemajuan pemikiran manusia. Temuan-temuan baru bermunculan dan ilmu pengetahuan baru diciptakan. Setelah linguistik fungsional dikembangkan para ahli dan hasilnya kajian linguistik menjadi sangat luas dengan kelahiran cabang-cabang baru seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik, neurolinguistik, geolinguistik, politikolinguistik, dan komputasi linguistik, belakangan para pengkaji bahasa menemukan tali temali baru antara genetika dan bahasa, yang mereka sebut dengan genolinguistik.
Genolinguistik merupakan studi interdisiplin antara bahasa dan genetika yang memusatkan perhatian pada pengelompokan populasi manusia, relasi kekerabatan di antara mereka, dan perjalanan historis yang dialami oleh kelompok populasi tersebut melalui pengelompokan dan penelusuran relasi kekerabatan bahasa dan genetika (Mahsun, 2010: 1). Mengutip Olson (2003), Mahsun menyatakan bahwa bahasa dan gen menyebar dari sebuah sumber yang sama. Adalah suatu kemustahilan jika manusia modern yang bermigrasi dari Afrika ke Amerika, misalnya, tanpa membawa sarana komunikasi berupa bahasa sebagai alat komunikasi di tempat baru.
Sangat mustahil pula jika di tempat baru tersebut, mereka langsung berkomunikasi dengan bahasa di tempat baru. Jika kelompok migran baru tersebut tetap berkumpul, hampir dipastikan mereka akan tetap setia menggunakan bahasa asal mereka kendati telah hidup di negara lain. Melalui studi genolinguistik akan bisa dilacak asal usul kelompok manusia dengan melihat bahasa yang dipakai.
Sebagai disiplin baru, wajar jika muncul banyak pendapat mengenai posisinya. Ada yang mengatakan genolinguistik sebagai cabang ilmu genetika, tetapi sebagian yang lain mengatakan sebagai bagian dari ilmu bahasa (linguistik), sebagaimana cabang-cabang ilmu linguistik sebelumnya atau yang sering pula disebut sebagai linguistik makro. Terlepas dari perbedaan posisinya, semua sepakat bahwa genolinguistik merupakan disiplin baru sebagai pertemuan antara genetika dan linguistik.
Studi-studi lintas disiplin seperti genolinguistik tersebut telah membuka peluang kajian bahasa tidak saja menjadi lebih luas, tetapi juga lebih menantang.
___________