Semula ada pihak yang khawatir tentang nasib polisi muda itu setelah aksinya dipublikasikan lewat dunia maya. Sempat terdengar berita institusi Polri akan memberikan sanksi ‘pembinaan’ kepada Noorman karena dianggap tidak patut dilakukan oleh seorang anggota polisi yang sedang menjalankan tugas resmi dan dianggap polisi tidak serius menjalankan tugas keamanan dan ketertiban masyarakat. Aksi Noorman dianggap pelecehan institusi Polri yang sedang membangun citra. Karena itu, sanksi bagi Noorman tinggal menunggu hitungan hari. Banyak kolega dan anggota keluarganya was-was menanti sanksi apa yang akan dijatuhkan. Bahkan dalam tayangan di Trans TV pada acara Bukan Empat Mata Tukul, orang yang usil memasukkan aksi Noorman ke facebook sempat ketakutan, kalau ulahnya akan dituntut secara hukum oleh Noorman.
Nasib Briptu Noorman berbalik. Bukan sanksi yang dia peroleh, tetapi malah apresiasi dari masyarakat karena dianggap memiliki bakat yang bisa dimanfaatkan Polri sebagai media komunikasi terkait tugas Polri, selain tentu untuk menghibur masyarakat. Kontan saja undangan untuk Briptu Noorman untuk menyanyikan lagu-lagu India berdatangan bagaikan selebritis. Noorman dielu-elukan dan banyak yang minta tanda tangan dan berfoto bersama serta tidak lupa mengulangi aksinya dengan lagu dan gaya yang sama. Noorman tentu tidak pernah membayangkan bahwa aksinya menjadikan dirinya menjadi sangat populer hanya dalam waktu sekejap. Di daerah kelahirannya, dia disambut bak pahlawan, karena telah mengharumkan dan mempopulerkan Gorontalo.
Apa yang bisa ditarik dari sikap masyarakat yang dengan dengan cepat mengapresiasi Noorman sehingga dia dielu-elukan sebegitu rupa. Fenomena Noorman sejatinya sebuah gambaran di mana masyarakat sudah jenuh dengan berita-berita politik yang tidak ada pangkal dan ujungnya. Masyarakat merasa lelah dengan ketidakpastian, ketidakjujuran dan kepura-puraan. Lewat aksinya, Noorman memecah kebekuan sosial yang selama ini terjadi di masyarakat. Jika ditarik ke belakang, sejak sistem politik berubah dari rezim otoriter era Orde Baru yang berakhir pada 21 Mei 1998 dan memasuki periode demokratisasi hingga hari ini, masyarakat sebenarnya memimpikan sebuah tatanan kehidupan sosial dan politik yang adil dan mensejahterakan. Demokratisasi sebagai pilihan politik dianggap sebagai jalan terbaik menuju cita-cita tersebut. Karena itu, tatkala rezim Orde Baru yang dianggap otoriter dan korup jatuh lewat gelombang demontrasi yang dimotori mahasiswa, semua masyarakat menyambut dengan suka cita yang berlebihan dam masuk dalam suasana eforia.
Suasana eforia tidak terkontrol. Ibarat burung yang baru saja lepas dari sangkar yang selama ini memasungnya, masyarakat dengan begitu bebas berbuat apa saja, termasuk melanggar hukum sekalipun untuk memenuhi hajatnya. Hukum dan tata nilai sosial seolah tinggal teks kosong tanpa makna. Tanpa disadari era eforia menciptakan anomali, yakni suatu situasi di mana masyarakat tidak lagi mengindahkan hukum dan tata nilai sosial yang selama ini dipegang.
Gambaran kesejahteraan dan kehidupan yang dicita-citakan pasca-berakhirnya Orde Baru itu belum terwujud hingga hari ini. jangankan mewujudkan cita-cita masyarakat, ulah para elite politik malah menyakitkan. karena itu, tidak berlebihan jika ada sebagian masyarakat yang merindukan kembalinya sistem seperti era Orde Baru yang dianggap lebih stabil dan menjanjikan. Masyarakat sudah muak dengan hiruk pikuk politik yang dari para elite. Mereka yang selama ini menyebut dirinya sebagai wakil rakyat hanya pepesan kosong. Lihat saja gegap gempita politik para politisi Senayan mulai skandal Bank Century, kasus mafia pajak, belakangan mengenai rencana pembangunan gedung baru DPR, malasnya anggota DPR menghadiri sidang-sidang DPR, hingga kasus video porno anggota DPR saat sidang paripurna dan seterusnya semuanya menjadikan tontonan publik yang membuat citra elite politik rendah di mata masyarakat.
Sebelumnya masyarakat berharap begitu banyak akan hadirnya tatanan sosial yang tertib dan kehidupan yang sejahtera sebagaimana diperkirakan. Mereka mengira dengan sistem kehidupan sosial dan politik yang demokratis, harapan-harapan mereka akan segera terwujud. Mereka tidak menyadari bahwa demokrasi tidak serta merta menghasilkan kesejahteraan hidup dengan cepat. Diperlukan waktu yang cukup untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Perubahan sistem politik hakikatnya adalah perubahan sosial. Untuk mewujudkan cita-cita perubahan diperlukan sebuah periode waktu yang disebut masa transisi. Studi yang saya lakukan pada 1996 menunjukkan bahwa perubahan sosial memerlukan waktu cukup lama, karena menyangkut nilai-nilai budaya.
Bisa dipahami jika masyarakat tidak sabar, sebab memang sudah lama merindukan ketenangan dan kesejahteraan hidup. Akibatnya, mereka bersikap emosional. Wujudnya mudah marah jika melihat hal-hal yang tidak pantas. Ingat bagaimana reaksi masyarakat ketika kasus Ariel dengan video pornonya mencuat. Hal yang sama juga terjadi ketika kasus mafia pajak Gayus Tambunan terbongkar. Sebaliknya, masyarakat cepat memberikan reaksi positif ketika melihat hal-hal yang mereka sukai, seperti aksi dan joget Briptu Noorman.
Semuanya menggambarkan sikap emosional masyarakat kita. Ciri lain masyarakat demikian adalah kolektif memorinya rendah. Dengan munculnya fenomena Briptu Noorman, masyarakat seolah lupa, atau setidaknya tidak mempersoalkan lagi persoalan yang menyeret Ariel, Antasari Azhar, Sumiati, TKW asal NTB yang akan dihukum mati di Saudi, Ketua Umum PSSI Nurdin Halid yang memanipulasi aturan FIFA untuk melanggengkan kekuasaannya, Malinda yang ngemplang dana nasabahnya sendiri di City Bank hingga milyaran rupiah, dan peristiwa-peristiwa yang menyedot perhatian publik lainnya. Masyarakat seolah tidak peduli dengan peringatan hari kelahiran salah seorang putri terbaik negeri ini, R.A. Kartini tanggal 21 April, yang setiap tahun kita peringati. Kepergian wartawan senior Rosihan Anwar dan penyanyi Ari Wibowo untuk selamanya kalah terpublikasikan dibanding dengan fenomena Briptu Noorman.
Dampak fenomena Briptu Noorman yang lebih hebat adalah untuk sementara hiruk pikuk rencana pembangunan gedung baru DPR setidaknya reda. Karena itu, Ketua DPR Marzuki Alie patut berterimakasih kepada Briptu Noorman. Dengan begitu banyaknya apresiasi dan undangan manggung, mungkin Briptu Noorman sendiri bingung akan melanjutkan karier apa dalam hidupnya; tetap sebagai polisi atau penyanyi. Apa pun pilihannya, Briptu Noorman perlu cermat untuk menentukan. Masyarakat kita emosional. Bisa saja saat ini dia dielu-elukan karena kepiawiannya menyanyikan lagu India, tetapi jika suatu saat berbuat salah sedikit saja siap-siap memperoleh hujatan.
Sebenarnya fenomena Noorman mirip dengan yang dialami oleh penyanyi dangdut Inul Daratista beberapa tahun silam. Bedanya diawal kemunculannya, Noorman diapresiasi masyarakat, sebaliknya Inul dihujat bertubi-tubi karena aksi goyang ‘ngebor’nya saat bernyanyi, hingga Inul stress berat menghadapi hujatan tersebut. Model goyang Inul dianggap sangat seronok dan memancing syahwat penonton. Bahkan beberapa daerah menolak kehadirannya untuk menyanyi. Di tengah-tengah hujatan. Inul tetap meneruskan profesinya. Mungkin Inul berpikir paling-paling para penghujat itu nanti bosan sendiri. Prediksi Inul benar. Sekarang tidak lagi ada hujatan walaupun Inul tetap dengan gaya ngebornya. Begitu sekilas gambaran masyarakat kita. Mudah marah dan mudah apresiatif serta pelupa. Semua menjadi renungan kita bersama.
__________
Jakarta, 16 April 2011