Hajatan tahunan berupa Ujian Nasional tingkat Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan telah berakhir Kamis, 21 April 2011 dengan berbagai pernik-perniknya. Sebagaimana dirilis oleh beberapa media cetak dan elektronik di Tanah Air, dibanding tahun lalu pelaksanaan ujian kali ini tidak lebih baik. Para penyelenggara di pihak sekolah panik. Pasalnya hingga Minggu sore soal belum sampai di lokasi kepolisian terdekat. Padahal, ujian dilaksanakan Senin pagi. Untung pada pukul 22. 00 WIB soal tiba di Polsek terdekat, sehingga kepanikan teratasi.
Sebagai salah seorang anggota tim pengawas ujian, Rabu, 20 April 2011 saya bersama pengawas yang lain melakukan pemantauan langsung ke wilayah pengawasan yang meliputi sekolah di empat kabupaten dan satu kota. Daerah pengawasan cukup luas dengan medan yang menantang. Beberapa hari sebelumnya, semua anggota tim pengawas yang terdiri atas para dosen yang umumnya masih yunior sudah berada di lokasi dan malah ada yang mondar mandir memonitor distribusi soal dari Surabaya ke lokasi ujian. Kami berkumpul di suatu tempat untuk koordinasi dan evaluasi kerja pengawasan dengan semua anggota tim. Satu per satu yang mewakili daerah pengawasan menyampaikan persoalan atau kejadian di lokasi masing-masing.
Dari semua laporan yang disampaikan itu, semua menyatakan bahwa pekerjaan ini menguras tenaga dan waktu. “Benar-benar pengabdian Pak”, begitu pernyataan seorang anggota tim. “Jika tidak dilandasi semangat pengabdian dan membawa nama Universitas, kami tidak sanggup pak”, begitu keluh yang lain. Seorang dosen perempuan yang juga menjadi pengawas mengeluh “Tahun depan saya tidak sanggup lagi menjadi pengawas, Pak”. Dan, masih banyak lagi keluhan yang lain. Semua keluhan saya catat dan dengarkan dengan cermat untuk selanjutnya kami laporkan kepada Rektor selaku Penanggungjawab. Dari berbagai keluhan tersebut, ada satu ungkapan yang menghentak saya. Seorang dosen muda dengan mimik mengatakan “Ini semua bukti betapa mahalnya sebuah kejujuran hingga pemerintah mengeluarkan dana satu trilyun rupiah lebih dan melibatkan banyak pihak untuk sebuah hajatan ujian nasional ini”.
Ungkapan itu saya renungkan secara mendalam. Apa yang dia katakan benar. Bagaimana tidak mahal?. Sebab, dari sisi beaya ujian ini menelan beaya hingga Rp. 1,1 trilyun rupiah lebih. Beaya tersebut setara dengan beaya untuk membangun 32.000 sekolah baru. Dari sisi pihak yang terlibat, selain perguruan tinggi juga ada aparat keamanan dari kepolisian di seluruh Indonesia. Belum lagi beban psikis para pengelola di sekolah. Ada guru yang teledor tidak mengisi berita acara kecurangan harus berurusan dengan pihak keamanan, bahkan diancam akan dipidanakan. Andai saja pihak penyelenggara di sekolah bisa dipercaya sehingga ujian benar-benar memberikan hasil yang objektif, maka keterlibatan perguruan tinggi dan lebih-lebih aparat kepolisian, sama sekali tidak diperlukan. Kenyataannya, kendati pengawasn sudah begitu ketat semangat guru untuk ‘membantu’ siswanya masih saja terjadi. Di benak guru mungkin terlintas beban yang berat jika sampai ada anak didiknya yang tidak lulus, apalagi penyebabnya adalah mata pelajaran yang dia ajarkan. Secara psikologis, ini akan menjadi beban berat.
Kegiatan yang murni akademik ini menjadi polemik berkepanjangan dan mengundang pro-kontra di kalangan para praktisi, pakar, dan pengelola pendidikan sejak beberapa tahun terakhir. Pasalnya, kendati banyak pihak menghendaki ujian nasional ditiadakan, pemerintah tetap berpendirian menyelenggarakan ujian nasional dengan beberapa alasan. Salah satunya adalah untuk mengukur tingkat kemampuan rata-rata anak secara nasional sebagai bahan kebijakan pembangunan nasional lebih lanjut. Yang kontra beranggapan bahwa ujian nasional tidak memberi kesempatan kepada para pengelola pendidikan, terutama guru untuk mengevaluasi sendiri hasil didikannya. Selain itu, dengan ujian nasional sepertinya guru tidak begitu dipercaya oleh pemerintah, lebih-lebih sejak dua tahun terakhir ketika pemerintah meminta perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia untuk terlibat dalam pengawasan ujian dan distribusi sosial.
Sebenarnya ketika pemerintah (c/q Kementerian Pendidikan Nasional) meminta perguruan tinggi ikut serta dalam pengawasan, hampir semua perguruan tinggi merasa keberatan. Pasalnya, selain beban kerja di perguruan tinggi sudah banyak, mengapa harus terlibat dalam urusan yang bukan wilayahnya. Belum lagi beaya pengawasan untuk honorarium juga sangat rendah dan tidak sebanding dengan tenaga dan waktu yang dihabiskan. Beberapa perguruan tinggi malah menombok kekurangan beaya pengawasan. Tetapi pemerintah berhasil meyakinkan betapa pentingnya peran perguruan tinggi untuk ikut menjaga mutu pendidikan nasional yang bagaimana pun lulusan sekolah menengah atas itu dalam waktu tidak lama akan menjadi input perguruan tinggi. ‘Karena itu apa salahnya jika perguruan tinggi terlibat” kata salah seorang pejabat teras Kementerian Pendidikan Nasional suatu ketika.
Kebijakan pemerintah untuk tetap menyelenggarakan ujian nasional tidak tiba-tiba. Sebab, ketika beberapa tahun lalu ujian nasional ditiadakan, lulusan sekolah tidak terkontrol. Masing-masing berlomba-lomba untuk mencapai lulusan 100%. Jarang sekali ada siswa yang tidak lulus, kecuali memang tidak ikut ujian. Ibaratnya asal ikut saja mesti lulus. Tolok ukur pencapaian pendidikan tingkat nasional tidak ada. Mutu pendidikan tidak terkontrol. Tidak ada bedanya antara sekolah yang benar-benar bekerja keras menjaga mutu pendidikan dengan sekolah yang asal jalan. Toh ujian dilaksanakan sendiri dan kelulusannya juga ditentukan sendiri. Ketika pemerintah mengambil alih kebijakan dengan menyelenggarakan ujian nasional, tentu ada yang merasa kaget.
Dampak langsung dari ujian nasional adalah banyak sekolah yang tidak siap menyelenggarakan ujian nasional sehingga angka ketidaklulusan tinggi. Akibatnya, sekolah demikian tidak memperoleh kepercayaan masyarakat, sehingga dari tahun ke tahun jumlah muridnya berkurang, hingga akhirnya tutup. Tidak sedikit sekolah yang mengalami nasib harus tutup karena tidak ada murid yang mendaftar, terutama sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat. Masyarakat sendiri yang akan menilai kelayakan apakah sebuah satuan pendidikan bermutu atau tidak. Karena itu, ujian nasional menjadi peringatan bagi setiap pengelola satuan pendidikan untuk selalu berupaya meningkatkan mutu pendidikannya, tidak melalui praktik kecurangan saat ujian dengan memberikan jawaban soal kepada siswa dan membocorkan naskah ujian, tetapi melalui proses belajar mengajar yang baik.
Sayangnya, dari pengamatan saya pada ujian nasional dua tahun terakhir semangat ‘curang’ tersebut masih tampak, sehingga keterlibatan perguruan tinggi dan aparat kemananan masih diperlukan. Saya berharap suatu saat ujian nasional tidak diperlukan lagi, sehingga para penyelenggara pendidikan merasa hak-haknya dihargai. Mereka bisa mengajar dan menilai sendiri hasil pengajarannya. Dengan ujian sendiri, keterlibatan perguruan tinggi dan aparat keamanan tidak diperlukan lagi. Namun, syaratnya adalah semua penyelenggara pendidikan berlaku jujur dalam menilai anak didik, sehingga diperoleh hasil seobjektif mungkin yang bisa dipakai untuk mengukur standar hasil belajar secara nasional.
Sekolah harus menjadi institusi pengembang nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan kearifan. Ini semua dimulai dari perilaku para pendidiknya. Bagaimana mungkin sekolah berharap anak didiknya menjadi pribadi jujur, sementara pendidiknya sendiri tidak memberikan tauladan kejujuran?. Karena itu, selama kejujuran belum bisa didapatkan di sekolah, selama itu pula kepercayaan masyarakat belum diperoleh. Dan, untuk itu harus dibayar mahal.
__________
Malang, 22 April 2011