Kalau begitu betapa penting dan strategisnya tugas Hermes. Sebab, jika apa yang disampaikan kepada manusia salah atau meleset dari sumber asalnya, yakni Tuhan, akan membawa kesesatan bagi manusia. Karena itu seorang penerjemah tidak boleh meleset sedikitpun dalam mengalihkan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Seorang pakar terjemahan, Mildred L. Larson, pernah mengibaratkan peran seorang penerjemah bagaikan anak panah yang melesat dan menancap tepat di titik tengah sasarannya. Karena itu, terjemahan yang baik ialah jika mampu menampilkan padanan idiomatik dalam bahasa tujuan. Sebaliknya, terjemahan yang tidak baik ialah yang melesat dari sasaran dan apalagi bertentangan dengan sumber asal.
Pertanyaannya ialah bagaimana dengan Hermes? Apakah Hermes bisa berperan sebagai penyampai pesan Tuhan bagaikan anak panah yang menancap tepat sasaran sehingga tidak membawa kesesatan? Sebab, pengalaman saya selama bertahun-tahun menjadi penerjemah amatiran dan penerjemah semi profesional pada saat KTT Non Blok ke X di Jakarta tahun 1992 sebagai petugas bahasa seksi bahasa Inggris, saya merasakan menerjemahkan adalah pekerjaan sangat berat dan cukup menguras tenaga. Mengapa berat? Karena menerjemahkan bukan sekadar memindahkan suatu gagasan atau pesan dari satu bahasa ke bahasa lainnya secara utuh. Tidak boleh sedikitpun pesan yang tertinggal, atau juga tidak boleh sedikitpun menambah pesan. Sebab, penerjemah bukan penafsir. Oleh karena itu, seorang penerjemah dituntut memiliki penguasaan total terhadap bahasa sumber dan bahasa target baik menyangkut aspek gramatika, semantik, pragmatik, dan bahkan aspek-aspek sosial kultural bahasa sumber dan bahasa sasaran. Selain itu, seorang penerjemah juga dituntut memiliki kejujuran bahasa (linguistic honesty).
Menyangkut aspek semantik dan gramatika mungkin tidak terlalu sulit, sebab tersedia kamus dan tata aturan setiap bahasa yang tidak terlalu sulit untuk dipelajari. Tetapi yang menyangkut aspek sosial kultural bahasa tidak mudah, karena seorang penerjemah harus bisa menyelami budaya bahasa tersebut. Penerjemah harus mampu membawa rasa bahasa yang ada pada bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Karena itu, bisa saja terjadi terjemahan, misalnya, dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris tidak bisa dimengerti oleh penutur asli bahasa Inggris. Sebab, terjemahan tersebut masih “rasa” Indonesia.
Ada contoh menarik yang bisa dipetik sebagai pelajaran. Suatu kali seorang mahasiswa bahasa Inggris diminta datang ke rumah dosennya yang kebetulan seorang native speaker bahasa Inggris dengan pertanyaan “Can you come to my home to submit your work tonight? Mahasiswa tersebut dengan entheng menjawab “Yes Sir. God’s willing” ( yang maksudnya insya Allah). Si dosen bule tersebut agak bingung mencari arti God’s willing. Sebab, menurutnya sebagai orang yang lahir di negeri berbahasa Inggris, oleh kedua orangtua yang berbahasa Inggris dan sudah bertahun-tahun menjadi pengajar bahasa Inggris di negerinya belum pernah mendengar ungkapan God’s willing.
Suatu kali dosen tersebut bertanya kepada saya maksud ungkapan tersebut. Saya jelaskan bahwa ungkapan itu lazim dipakai oleh seorang muslim yang artinya bahwa segala sesuatu yang diupayakan manusia toh pada akhirnya Tuhan yang menentukan. Setelah itu si bule mengerti maksud ungkapan tersebut. Dengan arif, si dosen menyampaikan terima kasih dan bahkan mengatakan “I get a new lesson from my student”. Saya sendiri tidak mengerti apa maksud kalimat dosen tersebut, sebab saya bukan dewa Hermes. Bisa saja kalimat itu bernada sindiran, atau memang benar-benar pengetahuan baru bagi dia.
Selain contoh tersebut saya juga pernah punya pengalaman menarik. Pada saat KTT Non Blok ke X di Jakarta saya pernah mewancarai tokoh Khmer Merah Kamboja, Khiu Sampan, yang juga mengikuti acara KTT walau tidak diundang. Khiu Sampan tidak bisa berbahasa Inggris, sehingga wawancara saya lakukan melalui ajudannya. Sang ajudan menyampaikan pertanyaan saya ke Khiu Sampan. Saya memperoleh jawaban dari sang ajudan. Jawaban yang saya peroleh tersebut saya teruskan ke seorang wartawan Jepang yang bahasa Inggrisnya juga pas-pasan. Sebelum dimuat di medianya, sang wartawan menunjukkan draf naskah hasil wawancara tersebut ke saya. Saya sangat terkejut. Sebab, isi draf tidak agak berbeda dengan pesan yang saya berikan.
Saya juga bertanya-tanya jangan-jangan jawaban sang ajudan yang diberikan ke saya tidak sesuai dengan yang dimaksudkan bosnya. Sebab, bahasa Inggris ajudan tersebut tidak begitu baik. Walaupun dia sering mengangguk belum tentu dia mengerti benar apa yang saya tanyakan. Sebab, bisa jadi mengangguk adalah kebiasaan bahasa tubuhnya. Dalam peristiwa ini terjadi 4 (empat) tahap proses pemindahan pesan di mana distorsi pesan tidak bisa dihindari. Kesulitannya ialah ukuran yang dipakai apakah suatu terjemahan tepat sasaran atau meleset jauh dari pesan awal. Begitulah liku-liku tugas seorang penerjemah.
Kalau begitu, pertanyaannya adalah bisakah sebuah ide dari satu bahasa ditransfer atau dipindahkan ke bahasa yang lain secara utuh? Bisa secara semantik, tetapi tidak bisa secara sosial dan kultural. Sementara, setiap bahasa niscaya memiliki aspek-aspek sosial dan kulturalnya sendiri sebagaimana dikaji oleh cabang ilmu bahasa yang disebut sosiolinguistik. Sekadar contoh. Ungkapan bahasa Inggris “Good morning” tidak sama secara sosial dan kultural dengan “Selamat pagi”, apalagi dengan “Sugeng enjang”. Saya tidak tahu apa terjemahan “Good morning” dalam bahasa Jawa Ngoko. Saya juga tidak tahu secara persis bagaimana menerjemahkan “Selamat siang” ke dalam bahasa Inggris. Sebab, bahasa Inggris hanya mengenal “Good morning” dan “Good afternoon”, walau kadang-kadang juga ditemukan “Good day”.
Begitu juga ketika seorang penerjemah berdialog dengan bahasa tulis (teks), maka di dalam teks tersebut juga terkandung nilai-nilai sosial dan kultural dalam bahasa sumber dan itu harus ditransfer ke dalam bahasa target. Jika tidak, maka dipastikan ada pesan atau makna yang hilang. Dalam ilmu terjemahan, penerjemah demikian disebut penerjemah yang tidak loyal.
Sebegitu jauh kita tidak tahu apakah Hermes termasuk penerjemah yang loyal atau tidak. Jika tidak, bisa saja yang disampaikan Hermes ke manusia sebagai pesan Tuhan dikurangi atau ditambah sesuai kemauan Hermes atau malah semuanya hanyalah karangan dia sendiri. Tetapi sebetulnya kita tidak terlalu pusing dengan dewa Hermes. Sebab, ini hanya sebuah mitos. Anehnya, walau hanya mitos, nama Hermes diabadikan sebagai nama disiplin ilmu cabang ilmu filsafat yang disebut hermeneutika, yakni ilmu tafsir untuk memahami teks dengan pendekatan filsafat.
Menutup tulisan ini saya tidak bermaksud menyurutkan semangat para penerjemah. Justru saya mendorong penerjemah untuk terus berkembang dan menjadi penerjemah handal sebagaimana digambarkan oleh Mildred. L. Larson yang bagaikan anak panah tadi. Karena itu, walau sulit dan menguras tenaga, sebagai kegiatan akademik terjemahan sah-sah saja. Namun, selain loyal dan jujur, seorang penerjemah dituntut sabar dan siap menerima kritik dari siapapun yang membaca hasil terjemahan. Mengritik bukan karena tidak suka, melainkan rasa simpati karena tidak setiap orang sanggup dan mau menjadi penerjemah. Kita mesti memberi apresiasi tinggi kepada orang yang sanggup menjalankan tugas sebagaimana yang dijalankan oleh dewa Hermes !
_____________