Sambil setengah tidur, dengan kepala saya sandarkan di jendela pesawat, saya mendengarkan obrolan seorang penumpang perempuan yang duduk tepat di belakang saya. Dia mengobrol dengan temannya yang ada di belakangnya dalam bahasa Jawa dicampur dengan bahasa Indonesia. Saya mendengar obrolan mereka dengan sangat jelas. Saya tidak tahu apakah mereka berdua berteman sejak lama, atau baru saja kenal di pesawat itu. Tetapi dari nada bicaranya, tampaknya mereka sudah berteman lama. “Aku wis gak mbalik maneh. Wis cukup. Moso urip dadi babu terus”, begitu obrolan awal yang saya dengar. Maksudnya “Saya sudah tidak akan kembali lagi. Sudah cukup. Masa hidup menjadi pembantu rumah tangga terus menerus”.
Teman yang di belakangnya menimpali sambil bertanya dalam bahasa Jawa “la nyapo lho, opo majikanmu jahat?”. Maksudnya, “la mengapa, apa majikanmu jahat?”. Dia menjawab “gak, majikanku apik kok. Malah mangan turah-turah, sering tak wehne koncoku. Yo gak tahu nesu nyang aku, sebabe kabeh pekerjaanku beres. Nyapo nesu. Gak iso nesu nyang aku. Mben telung wulan gajiku naik 10%. Jane enak banget. Sangking aku ae sing pingin mulih, wis gak kerasan. Aku gak tenang. Aku pingin mbantu bojoku kerjo dodol nasi goreng. Aku yo arep usaha jahit. Iki ono duwit thithik arep tak tukokne mesin”. Maksudnya “ gak, majikannku baik kok, malah makanan berlebih-lebih, sering saya berikan ke teman-teman saya. Ya gak pernah marah ke saya. Sebab semua pekerjaanku beres. Untuk apa marah. Gak bisa marah ke saya. Setiap 3 bulan gajiku naik 10%. Sebenarnya enak sekali. Saking saya saja yang ingin pulang, sudah gak kerasan. Saya tidak tenang. Saya ingin bantu suami bekerja jualan nasi goreng. Saya juga ingin usaha menjahit. Ini ada uang sedikit akan saya belikan mesin”.
Ada beberapa ungkapan penting yang saya tangkap dari obrolan tersebut, yaitu “masa selamanya jadi pembantu, tidak kerasan walau enak, dan ingin bantu suami”. Pesan singkatnya adalah bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak enak, walau gajinya bagus dan majikannya baik. Bekerja tidak sekadar mencari uang. Bekerja merupakan amanah setiap insan manusia, karena itu melekat pada diri seseorang. Tetapi, bekerja memerlukan ketenangan dan kenyamanan.
Bekerja adalah ibadah. Karena itu, dalam Islam orang yang bekerja keras untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarganya dan meninggal di tengah-tengah kerja keras tersebut digolongkan sebagai mati syahid. Bahkan Allah SWT secara khusus memerintahkan manusia untuk bekerja lewat firmanNya dalam surat Attaubah ayat 105, yang artinya: Dan katakanlah “Bekerjalah kamu, maka Allah SWT dan Rasul Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Ayat itu menegaskan perintah kepada manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan untuk bekerja. Perintah bekerja hanya diperuntukkan bagi manusia. Sebab, manusia dibekali dengan berbagai alat atau perangkat hidup yang sangat sempurna. Perangkat hidup itu tidak saja organ tubuh, tetapi juga akal pikiran. Lewat akal dan pikirannya, manusia bisa bekerja dengan hebat sehingga mampu mengubah sejarah peradabannya sendiri.
Bekerja juga menyangkut martabat atau harga diri. Karena itu, mestinya harga diri seseorang tidak bisa dibeli atau digadaikan dengan uang. Ungkapan TKW itu tulus dan tidak ada yang menyuruh, apalagi merekayasa. Saya sangat apresiatif terhadap pilihannya yang tidak ingin menggantungkan pada orang lain dengan menjadi pembantu rumah tangga terus menerus. Berbekal uang yang dia peroleh dari gaji selama menjadi pembantu rumah tangga, dia ingin menjadi penjahit. Karena itu, uang itu dibelikan mesin jahit. Dia tidak menghambur-hamburkan uangnya untuk kepentingan yang bersifat konsumtif. Pilihannya sangat sederhana, yakni hanya ingin menjadi tukang jahit baju, tetapi maknanya sangat dalam. Dia memutuskan untuk pulang, karena menjaga martabat dan ingin bisa hidup mandiri.
Terungkap juga dia ingin membantu suaminya yang bekerja jualan nasi goreng. Dengan kepulangannya, dia bisa berkumpul lagi dengan suaminya yang sekian lama berpisah. Menjaga keutuhan rumah tangga tentu tujuan sangat mulia bagi setiap keluarga. Perempuan TKW itu tidak silau dengan berita-berita besar tentang keberhasilan beberapa TKW yang pulang dengan membawa jutaan rupiah. Dia tidak tahu apa di balik keberhasilanya mengumpulkan uang hingga jutaan rupiah mereka bisa hidup tenang. Sebab, dengan bekerja sebagai TKW di luar negeri, mereka pasti meninggalkan keluarga (anak, suami, dan juga orangtua).
Tampaknya peribahasa “Hujan batu di negeri sendiri tetap lebih baik daripada hujan emas di negeri orang” masih sangat relevan untuk menggambarkan gejolak hati seorang TKW yang satu pesawat dengan saya sore itu. Karena itu, agar martabat bangsa ini terjaga, sebaiknya pemerintah melakukan moratorium pengiriman TKW atau TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang. Sebaliknya, pemerintah mengirim tenaga-tenaga terdidik ke luar negeri agar harkat dan martabat diri kita sebagai bangsa terangkat.
Betapa malunya jika di luar negeri, kita dikenal sebagai bangsa pemasuk TKW terbesar di dunia, sebagaimana selama ini kita miliki. Label itu harus segera dihentikan. Salah satu caranya ialah pemerintah membekali warga masyarakat yang tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan tinggi dengan ketrampilan yang memadai. Saya tahu ini tugas sangat berat. Tetapi harus dilakukan, dan jika berhasil sejarah akan mencatat pemerintahan saat ini dengan tinta emas, karena bisa menjaga harkat dan martabat bangsanya dengan mengirimkan tenaga-tenaga terdidik ke negeri orang, bukan tenaga-tenaga kasar yang tidak punya ketrampilan memadai, kecuali ketrampilan mengabdi kepada majikan yang mungkin tidak bersahabat dan manusiawi.
___________
Yogyakarta, 9 Februari 2015